Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Jepang Akan Beri Kompensasi untuk Korban Sterilisasi Paksa 

ilustrasi bendera Jepang. (unsplash.com/Roméo A.)
Intinya sih...
  • Mahkamah Agung Jepang memerintahkan pemerintah membayar kompensasi kepada 25 ribu korban sterilisasi paksa.
  • Undang-undang eugenika dianggap inkonstitusional karena melanggar martabat individu dan dilakukan tanpa persetujuan.
  • Pemerintah diminta untuk menyusun kerangka kompensasi baru setelah nilai kompensasi dinilai terlalu kecil.

Jakarta, IDN Times - Mahkamah Agung Jepang mengeluarkan putusan bersejarah yang memerintahkan pemerintah untuk membayar kompensasi kepada korban sterilisasi paksa pada Rabu (3/7/2024). Putusan ini menyatakan bahwa undang-undang eugenika yang kini sudah tidak berlaku tersebut inkonstitusional.

Keputusan bersejarah ini mencakup lima gugatan serupa yang diajukan di Osaka, Tokyo, Sendai, Kobe, dan Sapporo. Menurut laporan parlemen, sekitar 25 ribu individu mengalami operasi sterilisasi di bawah undang-undang eugenika. Dari jumlah tersebut, 16.500 operasi dilakukan tanpa persetujuan individu yang bersangkutan.

"Undang-undang eugenika sangat bertentangan dengan ide penghormatan terhadap martabat dan kepribadian individu," kata Mahkamah Agung dalam putusannya, dilansir dari The Japan Times pada Kamis (4/3/2024).

1. Sejarah undang-undang eugenika Jepang

Undang-undang eugenika diberlakukan pada tahun 1948 sebagai respons terhadap pertumbuhan populasi pasca perang yang pesat. Undang-undang ini memungkinkan pemerintah untuk mensterilisasi individu dengan cacat keturunan, mental, atau fisik dengan tujuan mencegah kelahiran keturunan yang dinilai inferior.

Dokumen pemerintah tahun 1953 mengungkapkan bahwa penahanan fisik, anestesi, dan bahkan penipuan dapat digunakan untuk melangsungkan operasi sterilisasi. Lebih mengejutkan lagi, beberapa korban bahkan masih berusia sembilan tahun ketika mengalami sterilisasi paksa.

Undang-undang ini baru direvisi menjadi undang-undang perlindungan ibu pada tahun 1996, di mana klausul eugenika dihapuskan. Namun, dampak dari kebijakan ini telah meninggalkan luka mendalam bagi ribuan korban selama puluhan tahun.

2. Mahkamah Agung tolak argumen pemerintah

Pengadilan dengan tegas menolak argumen pemerintah bahwa korban tidak dapat mencari kompensasi karena batas waktu 20 tahun telah berlalu. MA menyebut argumen tersebut bertentangan dengan ide keadilan dan kesetaraan.

Lebih lanjut, Mahkamah Agung mengkritik pembayaran kompensasi sekaligus sebesar 3,2 juta yen (sekitar Rp323 juta). Nilai yang ditawarkan kepada korban dinilai terlalu kecil dan tidak cukup untuk jadi pertanggungjawaban dari pemerintah atas apa yang terjadi.

Dilansir dari The Guardian, putusan ini juga menandai sesi Mahkamah Agung pertama di mana juru bahasa isyarat disediakan menggunakan dana publik. Hal ini menunjukkan kemajuan akses peradilan bagi penyandang disabilitas

3. PM Jepang akan minta maaf secara langsung kepada para korban

Menanggapi putusan tersebut, Perdana Menteri Fumio Kishida meminta maaf kepada para korban. Kishida menyatakan rencananya untuk bertemu dengan mereka secara langsung guna menyampaikan permintaan maaf pribadi pada akhir bulan ini.

"Saya telah menginstruksikan menteri Kato untuk mempertimbangkan langkah-langkah untuk menyusun kerangka kompensasi baru dengan cepat," ujar Kishida, merujuk pada Ayuko Kato, menteri negara yang bertanggung jawab atas permasalahan inklusifitas. 

Hingga akhir Mei, pembayaran telah disetujui untuk 801 wanita dan 309 pria. Namun, putusan terbaru ini kemungkinan akan menekan pemerintah untuk mengambil tindakan lebih lanjut.

Jepang bukanlah satu-satunya negara yang menghadapi masalah ini. Jerman dan Swedia juga memiliki tindakan serupa di masa lalu, tetapi kedua negara tersebut telah meminta maaf kepada korban dan memberikan kompensasi. 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us