Lesotho Gelar Pemilu di Tengah Krisis Politik dan Ekonomi

Jakarta, IDN Times - Lesotho pada Jumat (7/10/2022) mengadakan pemilu untuk memilih 120 legislator. Pemilu di negara berpopulasi 2,14 juta orang itu diikuti oleh lebih dari 60 partai politik yang terdaftar.
Lesotho, yang wilayahnya dikelilingi Afrika Selatan, telah bertahun-tahun mengalami ketidakstabilan politik. Krisis ekonomi juga sedang melanda negara itu yang menyebabkan tingginya tingkat pengangguran.
1. Reformasi konstitusi gagal dilakukan
Melansir Reuters, Konvensi Semua Basotho (ABC), pemimpin pemerintahan sejak 2017, telah mengalami perpecahan di dalam partai dan menyebakan dua perdana menteri berbeda memimpin sebelum lima tahun pemerintahan berakhir. ABC akan bersaing ketat dengan Kongres Demokrat (DC) dan Revolusi baru untuk Kemakmuran (RFP).
"Pemilu ini akan sangat diperebutkan, DC dan RFP akan saling bersaing," kata Lefu Thaela, analis politik, menambahkan bahwa DC kemungkinan akan mendapatkan suara terbanyak, tapi jika mereka tidak memenangkan mayoritas langsung, ABC kemungkinan akan memimpin.
Thomas Thabane, pemimpin ABC, mengundurkan diri sebagai perdana menteri pada 2020. Hal itu dilakukan setelah ditetapkan sebagai terdakwa dalam pembunuhan mantan istrinya. Tuduhan itu telah dibatalkan.
Posisi Thabane sebagai perdana menteri digantikan Moeketsi Majoro, yang mendeklarasikan keadaan darurat pada Agustus. Keputusan itu diambil setelah parlemen gagal meloloskan reformasi konstitusi untuk mengubah segala sesuatu mulai dari peran partai politik, aturan tentang persilangan di parlemen, hingga penunjukan pejabat senior dan jabatan perdana menteri.
Reformasi itu diharapkan dapat membantu Lesotho tidak terlalu rentan terhadap kebuntuan politik, tapi saat ini justru terjebak dalam kebuntuan itu sendiri. Bulan lalu, pengadilan tertinggi Lesotho memutuskan keadaan darurat yang diumumkan tidak sesuai konstitusional.
2. Lesotho telah empat kali mengalami kudeta militer

Lesotho telah empat kali mengalami kudeta militer sejak merdeka dari Inggris pada 1966.
Pada 1998, negara itu mengalami kerusuhan oposisi di ibu kota Maseru, yang mendorong tetangga Afrika Selatan untuk mengerahkan pasukan untuk membantu memulihkan ketertiban.
Mantan PM Thabane meninggalkan Lesotho sementara pada 2014, setelah menuduh militer berusaha menggulingkannya, yang memaksa Afrika Selatan untuk menengahi perselisihan untuk memulihkan ketertiban dan mengizinkannya kembali.
3. Banyak orang Lesotho membutuhkan pekerjaan

Melansir Associated Press, banyak pemilih termasuk Tseliso Seutlwadi berharap pemimpin baru akan membawa perubahan dalam menghadapi tingkat pengangguran yang tinggi, meningkatnya kejahatan, dan ketidakstabilan politik.
“Kami membutuhkan perubahan dan itu hanya akan kami bawa melalui suara kami. Pada dasarnya pengangguran di negara ini terlalu tinggi. Kami memiliki gelar universitas tetapi kami tahu bahwa hanya 10 persen orang yang dipekerjakan. Apa yang terjadi dengan sisanya?” tanya Seutlwadi.
“Sebagai anak muda, kami ingin memberikan dampak bagi masa depan negara ini. Kita bisa melihat pabrik tutup, pemerkosaan terhadap perempuan meningkat, kita harus berdiri sebagai orang muda dan memengaruhi apa yang terjadi di negara ini,” kata Ntsoaki Lenea, seorang pemilih berusia 37 tahun.
Industri pembuatan garmen adalah perusahaan terbesar Lesotho, yang memiliki lebih dari 45.500 pekerja tekstil pada awal 2020. Tetapi, sekitar 25 persen dari pekerjaan itu hilang akibat COVID-19. Mereka yang kehilangan pekerjaan di pabrik beberapa beralih melakukan kejahatan dan prostitusi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Berdasarkan penilaian Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu, ada sekitar 320 ribu orang di Lesotho saat ini mengalami krisis pangan parah dan sangat membutuhkan bantuan untuk menyelamatkan nyawa, mengurangi kesenjangan pangan, melindungi dan memulihkan mata pencaharian, dan mencegah kekurangan gizi akut.