Negara yang Dilanda Perang dan Bencana Kena Tarif Trump

- Presiden AS Donald Trump mengumumkan tarif baru pada mitra dagangnya, termasuk tarif 10 persen untuk semua impor dan tambahan tarif timbal balik.
- Negara Asia Tenggara dan Afrika yang tengah berjuang dengan perang dan bencana menerima tarif tinggi, seperti Myanmar (45%), Lesotho (50%), Kamboja (49%), Laos (48%), dan Vietnam (46%).
- Tarif AS ini menandai perubahan drastis dari kebijakan perdagangan sebelumnya, bertujuan untuk menekan China melalui negara-negara Asia Tenggara, serta memaksa negara terkena tarif mencari pasar alternatif.
Jakarta, IDN Times - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif baru kepada seluruh mitra dagangnya pada Rabu (2/4/2025). Kebijakan ini mencakup tarif dasar 10 persen untuk semua impor dan tarif timbal balik tambahan yang jumlahnya berbeda tiap negara.
Negara berkembang dan miskin di Asia Tenggara dan Afrika justru menerima tarif tertinggi meski sedang menghadapi perang dan bencana. Para ahli ekonomi memperingatkan tarif ini akan menambah beban negara-negara termiskin dunia yang tengah berjuang dengan berbagai masalah ekonomi.
Myanmar yang baru saja dilanda gempa bumi dengan korban jiwa lebih dari 3.000 orang kini dihadapkan pada tarif 45 persen. Negara Asia Tenggara ini sudah dilanda perang saudara selama beberapa tahun sejak kudeta militer 2021, dan kini semakin terpuruk dengan bencana alam dan tekanan ekonomi baru.
Beberapa negara Afrika yang dihantam konflik dan krisis kemanusiaan juga terkena tarif tinggi. Afrika Selatan dimasukkan dalam daftar pelanggar terburuk dengan tarif 30 persen, sementara Nigeria menerima tarif 14 persen.
1. Tarif Trump hantam negara konflik dan korban bencana
Lesotho, negara kecil di Afrika Selatan, dikenakan tarif yang sangat tinggi sebesar 50 persen. Sekitar seperempat orang dewasa di Lesotho terinfeksi HIV, tertinggi kedua di dunia. Negara Afrika lain termasuk Madagaskar (47 persen) dan Botswana (37 persen).
Tarif AS ini hadir disaat banyak negara sudah kesulitan menghadapi dampak pengurangan bantuan USAID. Bantuan ini biasanya memberikan dukungan kemanusiaan untuk wilayah rawan bencana alam dan mendukung aktivis demokrasi di negara-negara represif.
Stephen Olson, mantan negosiator perdagangan AS, memperkirakan negara-negara terdampak akan mempertimbangkan ulang hubungan mereka dengan Washington.
"Sulit memiliki hubungan yang konstruktif dengan negara yang baru saja menjatuhkan batu berton-ton di kepala Anda. Mereka mungkin akan bergeser lebih dekat ke China," kata Olson, dikutip dari The Guardian.
2. Negara miskin pengekspor terkena dampak berat
Kamboja menerima tarif tertinggi di Asia sebesar 49 persen. Penduduk negara ini rata-rata berpenghasilan sekitar 6,65 dolar AS (sekitar Rp110 ribu) per hari, kurang dari seperlima rata-rata global. Kamboja sangat bergantung pada ekspor garmen dan alas kaki ke pasar AS, dengan lebih dari setengah pabriknya dimiliki oleh pengusaha China.
Sementara itu, Laos menerima tarif 48 persen. Menurut Bank Pembangunan Asia, negara yang terkurung daratan ini memiliki tingkat kemiskinan hingga 18,3 persen. Vietnam dengan tarif 46 persen juga termasuk negara yang terkena tarif sangat tinggi.
Bangladesh, produsen garmen besar dunia, menerima tarif 37 persen yang bisa berdampak signifikan pada ekspor garmen mereka ke AS. Pemerintah Bangladesh kini mengkaji ulang tarifnya untuk produk-produk AS.
"Bangladesh sedang meninjau tarifnya untuk produk yang diimpor dari AS. Dewan Pendapatan Nasional sedang mengidentifikasi opsi untuk merasionalisasi tarif secepat mungkin," kata Shafiqul Alam, sekretaris pers pemimpin sementara Bangladesh Muhammad Yunus, dilansir dari Strait Times.
Tarif-tarif ini menandai perubahan drastis dari kebijakan perdagangan AS yang selama ini mendukung negara berkembang. Pada tahun 2000, Presiden Bill Clinton mendorong Undang-Undang Pertumbuhan dan Peluang Afrika. Kebijakan ini seharusnya memberikan akses bebas bea untuk negara-negara Afrika yang memenuhi syarat untuk lebih dari 1.800 produk.
3. Trump serang negara Asia Tenggara untuk menekan China

Dr. Siwage Dharma Negara, peneliti senior di Institut ISEAS-Yusof Ishak Singapura, berpendapat bahwa tarif terhadap negara-negara Asia Tenggara sebenarnya bertujuan untuk menekan China.
"Pemerintahan Trump sebenarnya ingin menyerang China melalui negara-negara ini. Mereka berpikir dengan memberi tarif tinggi ke Kamboja, Laos, Myanmar, dan Indonesia, mereka bisa menekan investasi China di sana. Tujuan akhirnya adalah melemahkan ekspor dan ekonomi China," jelas Siwage.
Deborah Elms, kepala kebijakan perdagangan di Yayasan Hinrich, menjelaskan bahwa banyak negara yang terkena dampak tarif ini sebelumnya menikmati bebas bea masuk ke pasar AS karena status mereka sebagai negara miskin. Sekarang mereka terpaksa mencari pasar alternatif seperti Eropa, Jepang, dan Australia.
Negara-negara Asia juga khawatir pasar mereka akan kebanjiran produk murah dari China akibat pengalihan ekspor yang tidak bisa masuk ke AS.