New York Times Sorot MBG: Rapor Merah dan Ambisi Politik di Atas Piring Siswa

- Ambisi besar namun rapuh dalam pengawasan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada awal 2025, dengan misi mulia, memastikan seluruh anak Indonesia, terutama di daerah tertinggal, mendapatkan asupan gizi yang layak.
- Fakta Angka: Program Raksasa Bernilai Triliunan Sejak awal, program ini memang menuai pro kontra. Program raksasa ini menyamber penerima manfaat sebanyak 30 juta anak dan ibu hamil pada 2025, dengan target akhir tahun 2026 ada 83 juta penerima manfaat.
- Rapor Merah dari Lapangan Dalam beberapa laporan sebelumnya, IDN Times juga mencatat sejumlah persoalan yang
Jakarta, IDN Times - Media Amerika Serikat (AS) The New York Times, turut mengupas permasalahan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang terjadi di Indonesia. Hasil penelusuran, masih banyak yang harus dibenahi dari program ini.
Mewawancarai orang tua yang anaknya menjadi korban keracunan MBG di sebuah sekolah, The New York Times melaporkan kisah sedih itu.
Cucu Mulyati tidak pernah menyangka bahwa kabar tentang makan siang gratis di sekolah anaknya bisa berubah jadi mimpi buruk. Siang itu, akhir September lalu, telepon berdering di rumahnya di Saguling, Kabupaten Bandung Barat. “Bu, Acep sakit parah,” kata seseorang di ujung telepon.
Acep Sulaeman (17) mendadak pusing dan mual usai menyantap menu makan siang sekolah—nasi, ayam goreng, selada, dan stroberi—bagian dari program MBG yang digalakkan pemerintah. Tak lama kemudian, ia dibawa ke klinik darurat yang jaraknya setengah jam dari desanya.
“Ada ratusan anak sakit di sana. Saya keliling dari tandu ke tandu mencari Acep,” kenang Cucu dengan mata yang masih sembab.
Acep butuh waktu hampir dua minggu untuk pulih. Ia hanyalah satu dari lebih dari 1.300 anak di Kecamatan Cipongkor, Jawa Barat, yang jatuh sakit karena keracunan makanan dalam satu pekan.
1. Ambisi besar namun rapuh dalam pengawasan

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto pada awal 2025, dengan misi mulia, memastikan seluruh anak Indonesia, terutama di daerah tertinggal, mendapatkan asupan gizi yang layak. Namun, di balik niat baik itu, sejumlah masalah serius muncul ke permukaan.
Dari laporan media AS tersebut, berdasarkan data yang dihimpun Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI), hampir 11.500 kasus keracunan makanan sejak program ini dimulai. Di beberapa provinsi, siswa bahkan menemukan belatung di lauk, nasi bercampur pecahan kaca, hingga air cuci peralatan yang digunakan kembali tanpa disterilkan.
“Masalah utama adalah tidak adanya kerangka regulasi yang jelas,” ujar Diah Saminarsih, pendiri CISDI.
“Tidak ada aturan main, tidak ada panduan baku. Semuanya serba interpretasi di lapangan,” lanjut dia.
Meski demikian, Presiden Prabowo Subianto tetap membela program unggulannya itu. “Kami sudah memberi makan 30 juta penerima manfaat. Kalau dihitung, deviasinya hanya 0,00017 persen,” katanya pada 29 September lalu.
Namun, pernyataan itu langsung menuai kritik.
“Margin of error itu mungkin wajar di pabrik sepatu. Tapi ini nyawa manusia,” sindir Tan Shot Yen, pakar gizi klinis.
Sementara itu, Wakil Kepala Badan Gizi Nasional Nanik S. Deyang, mengakui adanya kelalaian. “Kami lalai dalam pengawasan. Kami minta maaf sebesar-besarnya,” katanya.
Ia menegaskan, kini dilakukan inspeksi mendadak di dapur-dapur penyedia makanan, memastikan bahan segar dan alat masak steril.
2. Fakta angka: program raksasa bernilai triliunan

Sejak awal, program ini memang menuai pro kontra. Program raksasa ini menyamber penerima manfaat sebanyak 30 juta anak dan ibu hamil pada 2025, dengan target akhir tahun 2026 sebanyak 83 juta penerima manfaat.
Sementara itu, program ini juga menargetkan jumlah dapur komunitas sebanyak 32.000 dan anggaran sebesar Rp335 triliun.
Program ini dianggap monumental karena selain bertujuan memperbaiki gizi anak, juga memberdayakan petani dan membuka lapangan kerja.
Namun, para pengamat ekonomi mempertanyakan apakah APBN Indonesia yang rapuh sanggup menopang beban sebesar itu, apalagi di tengah ancaman resesi global.
3. Rapor merah dari lapangan

Dalam beberapa laporan sebelumnya, IDN Times juga mencatat sejumlah persoalan yang konsisten muncul dalam pelaksanaan MBG di berbagai daerah, seperti keterlibatan aparat TNI/Polri dalam distribusi makanan yang dinilai tidak sesuai fungsi sipil, kualitas dapur penyedia makanan yang jauh dari standar higienis, minimnya pelatihan petugas dapur mengenai penanganan bahan mentah dan kebersihan alat masak, juga kurangnya transparansi tender dan distribusi anggaran, terutama di daerah terpencil.
Beberapa kepala sekolah bahkan mengaku kewalahan karena harus menanggung risiko hukum bila terjadi keracunan massal, meskipun makanan disuplai pihak ketiga. “Kami hanya penerima. Tapi kalau ada anak keracunan, orang tua datang ke sekolah, bukan ke penyedia,” ujar seorang kepala sekolah di Gresik yang enggan disebut namanya kepada IDN Times.
Meski banyak persoalan dan dihantui rasa takut, banyak keluarga seperti Cucu Mulyati masih merasa MBG sangat membantu. The New York Times mencatat, harga bahan pangan yang terus naik membuat makan gratis jadi penyelamat ekonomi rumah tangga.
“Anak saya yang perempuan masih ikut makan gratis. Tapi setiap hari saya khawatir,” katanya pelan.
Dilema itu mencerminkan kontradiksi besar: di satu sisi program ini menjawab kebutuhan dasar rakyat miskin, tapi di sisi lain mengancam keselamatan anak-anak jika dibiarkan tanpa pengawasan ketat.
Namun, Dr. Tan Shot Yen menegaskan, menghentikan program bukan solusi, tapi reformasi total pengawasan dan pelaksanaan adalah hal mendesak. “Gunakan bahan lokal, latih koki sekolah, dan jangan pilih makanan ultraprocessed hanya demi selera anak,” katanya.
Kini, Acep sudah kembali bersekolah, tapi ibunya masih menyiapkan bekal sendiri dari rumah.
Program MBG terus berjalan, bahkan diperluas. Tapi bagi banyak orang tua di pelosok Indonesia, setiap kali anak mereka makan siang di sekolah, rasa syukur bercampur was-was.
Karena di balik slogan “Makan Bergizi Gratis untuk Semua”, masih ada pertanyaan besar yang belum terjawab: Apakah negara benar-benar mampu memberi makan anak-anaknya dengan aman?