Kala Lagu Jadi Doa Luka bagi Bencana Sumatra di Mimbar Orasi Sarinah

- Paduan Suara Gitaku menghadirkan aksi solidaritas bagi korban bencana Sumatra di Sarinah Thamrin.
- Aksi ini juga digelar sebagai upaya mendesak agar pemerintah segera menetapkan status bencana nasional di Sumatra.
- Gitaku menolak narasi yang menyebut bencana sebagai ujian Tuhan atau akibat cuaca ekstrem semata, dan menyerukan penghentian impunitas, penetapan status bencana nasional, dan investigasi independen.
Jakarta, IDN Times - Di tengah lalu-lalang warga dan kilau etalase pusat perbelanjaan, anjungan Sarinah Thamrin mendadak berubah rupa pada Sabtu (6/12/2025) siang.
Lokasi yang biasa digunakan sebagai panggung hiburan itu mendadak jadi mimbar orasi, ketika Paduan Suara Gitaku menghadirkan aksi solidaritas bagi korban bencana Sumatra. Tanpa spanduk besar dan tanpa pengeras suara, mereka memilih cara sederhana dengan bernyanyi.
Paduan suara ini merupakan kelompok yang sering tampil saat Aksi Kamisan di depan Istana Kepresidenan Jakarta yang rutin digelar setiap pekan.
1. Dua tembang dengan makna mendalam

Tembang pertama yang dilantunkan "Ada yang Hilang". Lagu itu melayang perlahan, seperti potongan kabar duka yang belum sempat disampaikan. Sejenak, langkah kaki pengunjung melambat. Wajah-wajah yang semula sibuk mendadak menoleh, seolah ikut merasakan kehilangan yang tak seluruhnya terucap.
Lagu kedua mengubah suasana. Dentuman "We Will Rock You" menggema, membuat lantai Sarinah berguncang oleh hentakan kaki dan tepukan tangan. Pengunjung dan pejalan kaki larut menyanyikan bait yang sederhana namun berulang, seakan irama kolektif itu adalah penanda rasa peduli masih hidup.
Aksi ditutup dengan tembang "Do You Hear the People Sing?", sebuah pertanyaan yang melayang di udara Jakarta, menagih jawaban dari mereka yang memegang kuasa.
Di Sumatra, pertanyaan itu terasa jauh lebih nyata. Sejak akhir November 2025, banjir bandang dan longsor melanda Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat. Air bercampur lumpur dan kayu-kayu gelondongan dari hulu menghapus kampung-kampung, mengubah desa menjadi aliran sungai. Ribuan orang terdampak, ratusan keluarga kehilangan tempat pulang. Namun hingga kini, status bencana nasional belum juga ditetapkan.
2. Desak pemerintah segera menetapkan status bencana nasional di Sumatra

Koordinator Aksi Gitaku, Arief Bobhil, mengatakan aksi ini juga digelar sebagai upaya mendesak agar pemerintah segera menetapkan status bencana nasional di Sumatra.
Menurut Arief, yang terjadi di Sumatra adalah kejahatan ekologi—buah dari tata kelola lingkungan yang mengabaikan perspektif ekologis.
"Kami turut mendesak status bencana nasional, karena bencana ini tak sekedar bencana, tapi juga kejahatan ekologi,” kata dia, di lokasi.
Nada serupa juga disampaikan Anna Hape dari Gitaku. Ia menyebut situasi di Sumatra sebagai keadaan darurat yang ditanggapi seolah remeh.
“Sebagai warga, kita telah dan sedang berusaha sejauh yang kita bisa menjadi relawan atau menggalang donasi. Bagi kita, situasi ini darurat. Tapi, negara berjalan seolah-olah bencana ini seperti genangan air di jalan raya Jakarta,” katanya.
3. Soroti dua bencana selama November 2025

Dalam pernyataan sikap yang dibacakan, Gitaku menyebut, November sebagai bulan dua bencana. Bencana pertama merusak sejarah dan memori kolektif bangsa saat Soeharto ditetapkan menjadi pahlawan nasional. Kedua, bencana menghantam ruang hidup rakyat Sumatra.
Mereka menolak narasi yang menyebut bencana sebagai ujian Tuhan atau akibat cuaca ekstrem semata. Bagi Gitaku, keputusan politik—izin tambang, pembalakan, dan perkebunan—juga berperan dalam kerusakan ekologi. “Yang terjadi adalah pembunuhan ekologis,” tegas mereka, seraya menyerukan penghentian impunitas, penetapan status bencana nasional, dan investigasi independen.
Di Sarinah, lagu-lagu itu akhirnya usai. Namun gema pesannya tertinggal. Di antara hiruk-pikuk kota, nyanyian Gitaku menjadi doa bersama—doa bagi Sumatra yang terluka, dan pengingat bahwa suara rakyat, betapapun lirihnya, tak bisa ditenggelamkan.
"Pertama, hentikan impunitas terhadap korporasi, pejabat serta bekas penjabat yang berkongsi merusak lingkungan. Kedua, status bencana nasional bagi tragedi pembunuhan ekologis di Sumatra," kata seorang perempuan membacakan tuntutan dengan pengeras suara.
"Ketiga, investigasi independen, betul-betul independen—yang artinya terbuka untuk melibatkan ahli-ahli lintas negara, atas penghancuran kehidupan yang disengaja ini," sambungnya.


















