Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Olaf Scholz Sengaja Menjatuhkan Diri Lewat Mosi Tidak Percaya

Kanselir Jerman, Olaf Scholz. (Vlada Republike Slovenije from Ljubljana, Slovenia, Public domain, via Wikimedia Commons)
Kanselir Jerman, Olaf Scholz. (Vlada Republike Slovenije from Ljubljana, Slovenia, Public domain, via Wikimedia Commons)

Jakarta, IDN Times - Kanselir Jerman Olaf Scholz kalah dalam pemungutan suara mosi tidak percaya di parlemen pada Senin (16/12/2024). Voting menunjukkan 394 anggota parlemen menentang kepemimpinan Scholz, sementara 207 mendukung dan 116 memilih abstain, dikutip dari NPR. 

Kekalahan ini merupakan bagian dari strategi Scholz. Langkah taktis ini bertujuan memicu pemilihan umum lebih awal yang dijadwalkan pada 23 Februari 2025. Pemilu semula direncanakan berlangsung September 2025.

Parlemen Jerman atau Bundestag akan segera dibubarkan oleh Presiden Frank-Walter Steinmeier. Scholz meyakini pemilu dini menjadi jalan terbaik bagi masa depan negara.

"Tujuan saya adalah memajukan pemilihan federal. Ini tentang memiliki kepercayaan pada negara kami dan tidak membahayakan masa depan kami," ujar Scholz dalam pidatonya di parlemen, dilansir The Guardian. 

1. Latar belakang runtuhnya pemerintahan Scholz

Pemerintahan koalisi tiga partai pimpinan Scholz runtuh pada November lalu. Partai Demokrat Bebas (FDP) memutuskan mundur dari koalisi setelah Scholz memecat pemimpinnya, Christian Lindner, dari posisi Menteri Keuangan.

Koalisi "lampu lalu lintas" Scholz  telah mengalami perpecahan internal sejak lama. Melansir BBC, perpecahan bermula dari perselisihan serius mengenai manajemen utang negara. Ketegangan terjadi antara SPD dan Partai Hijau yang menginginkan pelonggaran aturan utang negara, melawan FDP yang mengutamakan pengurangan utang. 

Saat ini Scholz masih memimpin pemerintahan sementara yang terdiri dari Partai Sosial Demokrat (SPD) dan Partai Hijau. Pemerintahan minoritas ini mengalami kesulitan menyetujui undang-undang baru karena harus bergantung pada dukungan oposisi konservatif.

Krisis politik diperparah lesunya ekonomi dan ketidakpastian geopolitik yang dihadapi Jerman. Lindner menyalahkan koalisi yang gagal membangkitkan ekonomi lesu Jerman sebagai penyebab menurunnya dukungan publik. Bertahan hingga pemilu reguler September 2025 dinilai akan berisiko memperburuk kepercayaan publik terhadap pemerintah.

2. Peta persaingan politik Jerman menuju pemilu Februari

Jajak pendapat terkini menunjukkan Partai Persatuan Kristen Demokrat/Kristen Sosial (CDU/CSU) pimpinan Friedrich Merz memimpin perolehan suara dengan 32 persen dukungan. Sementara, partai sayap kanan Alternatif Jerman (AfD) berada di posisi kedua dengan 18 persen suara, dilansir CNN.

SPD pimpinan Scholz tertinggal di posisi ketiga dengan hanya 16 persen, diikuti Partai Hijau 14 persen. Tiga partai lain yaitu FDP, BSW, dan Die Linke masih belum mengumumkan calon kanselir mereka.

Merz, mantan pengacara korporasi dan eksekutif BlackRock, menjanjikan pemotongan pajak serta dorongan investasi besar di sektor pertahanan. Menurutnya, pemilu akan menjadi hari yang melegakan. 

Persaingan diprediksi akan sengit mengingat sistem proporsional Jerman mengharuskan pembentukan koalisi untuk memimpin pemerintahan. CDU/CSU masih akan membutuhkan mitra koalisi meski unggul.

Seluruh partai arus utama menolak berkoalisi dengan AfD meski dukungannya menguat. Sementara, Merz berpeluang mengajak SPD atau Partai Hijau sebagai mitra koalisi seperti era Angela Merkel sebelumnya.

3. Tantangan ekonomi dan politik Jerman di 2025

Bank Sentral Jerman baru saja merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 turun 0,2 persen. Ekonomi terbesar Eropa ini diprediksi akan stagnan hingga pertengahan tahun depan.

Industri otomotif yang menjadi tulang punggung ekonomi Jerman sedang menghadapi masalah serius. Perusahaan besar seperti Volkswagen berencana melakukan pemutusan hubungan kerja besar-besaran dan menutup sejumlah pabrik.

Tantangan ekonomi diperparah ketidakpastian kebijakan Amerika Serikat di bawah Donald Trump yang baru terpilih. Jerman khawatir AS akan menerapkan tarif perdagangan tinggi dan mengkaji ulang bantuan militer ke Ukraina.

Sementara, posisi AfD yang berhaluan kanan jauh semakin kuat di peta politik domestik Jerman. Partai ini mendapat momentum dari ketidakpuasan publik terhadap pemerintah, terutama terkait kebijakan migrasi.

"Pemilu datang di saat yang tepat bagi AfD. Saat ini masyarakat sangat tidak puas dengan pemerintah sehingga mereka cenderung memilih partai ekstrem untuk mengekspresikan kekecewaan mereka," kata Leonie von Randow.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Leo Manik
EditorLeo Manik
Follow Us

Latest in News

See More

HUT ke-80 TNI, DLH DKI Terjunkan 2.100 Petugas Kebersihan

03 Okt 2025, 23:17 WIBNews