Taiwan Sebut China Lakukan Operasi Laut Besar-besaran

- Taiwan memantau penuh setiap pergerakan militer China.
- Beijing merespons isu operasi laut tanpa memberi kejelasan.
- China menegaskan latihan angkatan laut di laut lepas dilakukan sesuai hukum internasional dan tak diarahkan kepada pihak mana pun.
Jakarta, IDN Times – Taiwan pada Jumat (5/12/2025) menyebut China tengah menjalankan operasi angkatan laut berskala besar yang merentang ratusan kilometer di berbagai perairan. Aktivitas ini mencakup Laut Kuning sampai Laut China Selatan yang menjadi jalur strategis kawasan. Rentang wilayah tersebut membuat Taipei menilai gerakan militer ini berdampak langsung pada stabilitas regional.
“Ini memang menimbulkan ancaman dan dampak bagi Indo-Pasifik dan seluruh kawasan,” ujar juru bicara Kantor Kepresidenan Taiwan, Karen Kuo, dikutip dari CNA.
China tercatat mengerahkan lebih dari seratus kapal Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat (PLA Navy) serta armada Penjaga Pantai di sejumlah titik penting. Gelombang pengerahan itu masuk sebagai salah satu operasi maritim terbesar yang pernah dilakukan Beijing. Pada Kamis (4/12/2025) pagi, lebih dari sembilan puluh kapal masih berada di laut. Skala pemutaran kekuatan kali ini bahkan melewati rekor Desember 2024 yang sempat mencapai hampir seratus kapal di sepanjang Rantai Pulau Pertama.
1. Taiwan memantau penuh setiap pergerakan militer China

Kementerian Pertahanan Nasional Taiwan (MND) bersama Badan Keamanan Nasional terus mengawasi langkah Beijing secara menyeluruh. Dua lembaga itu mengeklaim situasi tetap berada dalam kendali mereka. Walau angka resmi belum diumumkan, sumber intelijen menyebut jumlah kapal yang terlibat sangat besar. Taiwan kemudian meminta China meredam tensi sambil memastikan pulau itu memiliki kapasitas menghadapi tekanan tersebut.
Pada 26 November 2025, Presiden Taiwan Lai Ching-te mengumumkan anggaran pertahanan khusus senilai 38,7 miliar dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp643 triliun yang berlaku hingga 2033. Keputusan itu disampaikan bersamaan dengan peringatannya bahwa China terus memperluas kekuatan militernya demi tujuan reunifikasi paksa.
Menghadapi perkembangan terbaru, Kantor Kepresidenan menyebut Lai telah memerintahkan evaluasi menyeluruh. Mereka juga menilai langkah militer China menciptakan ancaman serius bagi Indo-Pasifik sekaligus mendorong Beijing bersikap lebih bertanggung jawab.
2. Beijing merespons isu operasi laut tanpa memberi kejelasan

Beijing yang masih menganggap Taiwan sebagai salah satu provinsinya belum mengeluarkan konfirmasi maupun bantahan terkait operasi tersebut. Tak ada penyataan resmi dari Tentara Pembebasan Rakyat (PLA) maupun media pemerintah China.
Juru bicara Kementerian Pertahanan Nasional China, Jiang Bin, hanya menegaskan latihan angkatan laut di laut lepas dilakukan sesuai hukum internasional dan tak diarahkan kepada pihak mana pun.
Kementerian Luar Negeri China menyampaikan bahwa Beijing tetap menjalankan kebijakan pertahanannya seperti biasa. Mereka meminta pihak lain tak memberikan respons berlebihan maupun menciptakan kegaduhan yang tak berdasar. China juga tetap membuka kemungkinan penggunaan kekuatan untuk menyatukan Taiwan. Selain itu, Beijing terus mengklaim hampir seluruh Laut China Selatan sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya.
3. Ketegangan meningkat seiring reaksi Jepang dan perubahan strategi AS

Dilansir dari Japan Forward, gelombang aktivitas maritim China mulai tampak meningkat sejak pertengahan November. Saat itu Beijing memanggil Duta Besar Jepang sebagai protes terhadap pernyataan Perdana Menteri Sanae Takaichi. Takaichi menyebut setiap krisis di Taiwan berpotensi langsung mengancam keamanan Jepang.
Sejak pemanggilan tersebut, kapal-kapal Penjaga Pantai China terdeteksi aktif di sekitar Kepulauan Senkaku. Kepala Badan Keamanan Nasional Taiwan (NSB), Tsai Ming-yen, melihat periode Oktober–Desember sebagai musim puncak evaluasi latihan tahunan China. Ia tak menampik kemungkinan aktivitas rutin ini dialihkan menjadi latihan khusus yang mengarah ke Taiwan dalam waktu dekat.
AS, pendukung utama sektor keamanan Taiwan, kini mengisyaratkan perubahan pendekatan. Pemerintahan Presiden Donald Trump merilis dokumen strategi terbaru. Dokumen itu menekankan Jepang dan Korea Selatan perlu mengambil porsi lebih besar dalam menopang pertahanan kawasan.
















