Profil Sharma Oli, Eks PM Nepal yang Mundur Didemo Gen Z

- K.P. Sharma Oli, eks PM Nepal, menghabiskan 14 tahun di penjara dan terlibat dalam politik militan sejak usia muda.
- Pemerintahannya dinilai cenderung otoriter dan diwarnai konflik internal partai yang kontroversial.
- Oli mendekatkan Nepal ke China, tegang dengan India, dan dikritik karena lamban dalam menjalankan sistem federalisme.
Jakarta, IDN Times - Perdana Menteri Nepal, Khadga Prasad (K.P.) Sharma Oli, mengundurkan diri dari jabatannya pada Selasa (9/9/2025). Sharma Oli mundur dari PM Nepal menjadi puncak dari gelombang protes massa yang digerakkan oleh kaum muda (Gen Z) di Nepal.
Ketidakpuasan rakyat Nepal atas kinerja pemerintah kian menumpuk di tengah maraknya korupsi, nepotisme dan tingginya angka pengangguran. Protes akhirnya pecah ketika pemerintah memblokir 26 platform media sosial, termasuk Facebook dan Instagram. Berikut adalah profil K.P. Sharma Oli, dari seorang aktivis hingga digulingkan oleh muda-mudi Nepal.
1. Pernah menghabiskan 14 tahun di penjara
K.P. Sharma Oli lahir pada 22 Februari 1952 di Nepal Timur dari keluarga petani. Ia pertama kali terjun ke dunia politik pada 1966 sebagai aktivis mahasiswa yang menentang sistem monarki absolut. Pada usia 18 tahun, ia mengambil langkah berani dengan bergabung dalam faksi pecahan Partai Komunis Nepal.
Keterlibatannya dalam politik militan memuncak saat ia menjadi salah satu pemimpin Pemberontakan Jhapa pada 1971. Pemberontakan ini merupakan gerakan perlawanan bersenjata yang membuatnya dicap sebagai pemberontak oleh rezim. Akibat aktivitasnya, ia ditangkap dan dipenjara selama 14 tahun berturut-turut, dari tahun 1973 hingga 1987.
Pengalaman panjang sebagai tahanan politik justru menjadi modal utama dalam kariernya. Kisah ini membangun citranya sebagai pejuang demokrasi yang rela berkorban. Setelah bebas, Oli kembali ke panggung politik dan menjadi salah satu pendiri Partai Komunis Nepal (UML) pada 1991.
Kariernya terus menanjak hingga ia terpilih sebagai Ketua CPN (UML) pada 17 Juli 2014. Posisi ini mengukuhkan statusnya sebagai salah satu politisi paling berpengaruh di negara itu. Sebelumnya, ia juga pernah memegang jabatan-jabatan kunci seperti Menteri Dalam Negeri dan Wakil Perdana Menteri, dilansir Deccan Herald.
2. Pemerintahannya dinilai cenderung otoriter

Oli pertama kali menjabat sebagai Perdana Menteri pada periode 2015-2016. Popularitasnya meroket saat ia mengambil sikap tegas melawan India yang saat itu memberlakukan blokade perbatasan. Sikap nasionalis ini membuatnya dipandang sebagai pemimpin yang berani melawan hegemoni negara tetangga.
Pada periode keduanya (2018-2021), ia kembali berkuasa dengan kemenangan mayoritas di parlemen. Di masa inilah ia meluncurkan visi "Nepal Sejahtera, Rakyat Nepal Bahagia". Namun, gaya kepemimpinannya dinilai cenderung otoriter karena ia jarang menerima kritik dan sering melontarkan pernyataan sinis kepada media, dilansir Indian Express.
Pemerintahannya juga diwarnai oleh konflik internal partai yang berujung pada manuver kontroversial. Oli tercatat pernah membubarkan parlemen, sebuah tindakan yang kemudian dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Agung. Ia juga memusatkan beberapa lembaga investigasi penting langsung di bawah kendali Kantor Perdana Menteri.
Untuk kembali berkuasa pada Juli 2024, ia terpaksa berkoalisi dengan partai saingannya, Nepali Congress. Koalisi yang rapuh ini menandai terkikisnya dominasi politik yang pernah ia nikmati.
3. Mendekatkan Nepal ke China
Dalam hal kebijakan luar negeri, Oli aktif memperkuat hubungan dengan China. Langkah ini diambil sebagai upaya untuk menciptakan penyeimbang atas pengaruh tradisional India di Nepal. Di bawah kepemimpinannya, beberapa proyek infrastruktur besar yang didanai China mulai berjalan.
Hubungannya dengan India sering kali tegang. Puncak ketegangan terjadi ketika pemerintahannya mempublikasikan peta baru Nepal yang mencakup wilayah sengketa Kalapani, Lipulekh, dan Limpiyadhura. Tindakan ini sempat memicu krisis diplomatik yang serius dengan India.
Di dalam negeri, pemerintahannya dikritik karena dianggap tidak serius dalam menjalankan sistem federalisme. Ia dinilai lamban dalam mendelegasikan kekuasaan dan sumber daya kepada pemerintah provinsi. Sikap ini membuatnya kerap dicap sebagai "federalis yang enggan".
Selain itu, Oli juga memiliki hubungan yang sangat kontroversial dengan komunitas Madhesi, kelompok etnis besar di wilayah selatan Nepal. Ia beberapa kali dituduh melontarkan pernyataan yang merendahkan dan dianggap tidak sensitif terhadap komunitas tersebut.
4. Mengundurkan diri usai didemo Gen Z

Kejatuhan Oli merupakan akumulasi dari berbagai masalah yang sudah lama menggerogoti Nepal. Pemerintahannya berulang kali diterpa kritik karena dianggap gagal memberantas korupsi dan menormalkan praktik nepotisme. Ketidakpuasan ini memuncak di kalangan anak muda yang kesulitan mencari pekerjaan.
Sebelum protes meletus, kampanye online "#NepoKid" viral di TikTok. Kampanye ini menyoroti gaya hidup mewah anak-anak pejabat yang kontras dengan kesulitan hidup rakyat biasa. Konten-konten ini berhasil membangkitkan kemarahan publik.
Keputusan pemblokiran media sosial pada 4 September 2025 menjadi pemantik akhir. Kebijakan ini justru menyatukan berbagai kelompok masyarakat untuk turun ke jalan pada 8 September. Protes dengan cepat meluas dari ibu kota ke seluruh negeri.
Respons aparat keamanan yang menggunakan kekerasan dan menyebabkan puluhan korban jiwa justru semakin memanaskan situasi. Tuntutan yang awalnya hanya soal media sosial, berubah menjadi seruan agar seluruh pemerintah mundur. Pada 9 September, setelah demonstran membakar gedung-gedung negara, Sharma Oli akhirnya mengumumkan pengunduran dirinya.



















