The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda 

Negara harus segera sahkan aturan perlindungan data pribadi

London, IDN Times - "Putri saya berusia delapan tahun, dan putra saya empat tahun. Setiap aplikasi sangat diawasi dengan penuh kehati-hatian sebelum diinstal. Dan saya sekarang ayah yang membaca kebijakan privasi dan berkata, tidak, kamu lihat di sini, mereka membaca pesan-pesanmu. Apakah kamu tidak masalah dengan ini?"

Pertanyaan Profesor David Caroll dari Parsons School of Design di New York itu membuka dokumenter produksi Netflix berjudul The Great Hack, yang rilis minggu lalu. Dokumenter tersebut menceritakan kisah di balik skandal penyalahgunaan data pengguna Facebook oleh Cambridge Analytica, yang terungkap awal 2018 lalu.

Baca Juga: Seorang Profesor Gugat Cambridge Analytica Terkait Data Pribadi

1. Jurnalis Inggris jadi salah satu tokoh utama pembongkar skandal ini

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda Christopher Wylie. ANTARA FOTO/REUTERS/Hendry Nicholls

IDN Times menulis masalah Cambridge Analytica dengan cukup intensif pada tahun lalu. Tapi, salah satu sosok yang hilang saat itu adalah Carole Cadwalladr. Jurnalis di media Inggris, The Observer, tersebut awalnya adalah penulis fitur. Seperti digambarkan dalam The Great Hack, temuan mengenai kaitan antara kampanye Brexit dan Cambridge Analytica mengubahnya menjadi wartawan investigasi.

Cadwalladr bertemu dengan salah satu pendukung Brexit yang dekat dengan politisi sayap kanan Inggris, Nigel Farage. Dari sini, perempuan asal Wales itu mendapat bukti yang menguatkan temuannya. Selama beberapa bulan, Cadwalladr mencari tahu mantan karyawan Cambridge Analytica. Beruntung baginya, Christopher Wylie bersedia menjadi whistleblower dan mengungkap apa aktivitas mantan perusahaannya.

2. Bermula dari Brexit, Cambridge Analytica dikontrak oleh tim sukses Donald Trump

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda Protes terhadap Facebook di Amerika Serikat setelah terungkapnya skandal Cambridge Analytica pada 2018. ANTARA FOTO/REUTERS/Leah Millis

Dalam wawancara eksklusif dengan The Observer, Wylie mengatakan, "tidak benar kalau menyebut Cambridge Analytica murni sebagai sejenis perusahaan ilmu data atau sebuah perusahaan algoritma. Anda tahu, ini adalah mesin propaganda yang memberikan layanan penuh." Pernyataan itu ia lontarkan ketika mayoritas publik masih bingung dengan apa yang sebenarnya dilakukan oleh Cambridge Analytica.

Di salah satu titik dalam The Great Hack, Cadwalladr menjelaskan bahwa Cambridge Analytica mengerjakan kampanye Brexit karena si mantan bos, Steve Bannon, kenal dengan Farage. Bannon, eks pemimpin redaksi situs sayap kanan Amerika Serikat bernama Breitbart, kemudian diangkat jadi salah satu ketua tim kampanye Donald Trump.

Wylie punya testimoni menarik terkait Bannon. "Dia mengikuti ide soal Doktrin Breitbart yang mana jika kamu ingin mengubah masyarakat secara fundamental, kamu harus merusaknya lebih dulu. Begitu rusak, kamu bisa membentuknya menjadi sesuai visimu soal masyarakat yang baru," kata Wylie.

"Ini adalah senjata yang Steve Bannon ingin bangun untuk memerangi perang budayanya, dan saya bisa membangunnya untuk dia." Senjata itu dibangun dengan bahan berupa jutaan data pengguna Facebook, yang diperoleh melalui aplikasi kuis kepribadian kreasi Aleksandr Kogan dari University of Cambridge.

3. Mantan karyawan Cambridge Analytica lainnya ikut angkat bicara

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda Brittany Kaiser. Netflix

Pernyataan Wylie diamini oleh mantan Direktur Pengembangan Bisnis Cambridge Analytica, Brittany Kaiser. "Saat ini data adalah aset paling berharga, lebih berharga dibandingkan minyak," ucapnya sembari menikmati pemandangan laut di sebuah resor di Thailand.

Oleh karena itu, menurut Kaiser, tidak heran perusahaan teknologi seperti Facebook jadi sangat kuat dan pemiliknya mengantongi banyak uang.

Seperti Wylie, Kaiser juga menjadi saksi dalam sidang di parlemen Inggris untuk menyelidiki kaitan antara Cambridge Analytica, Facebook, dan kampanye Brexit. Kaiser membenarkan bahwa data-data yang dicuri dan disalahgunakan oleh Cambridge Analytica diubah menjadi "teknologi berkemampuan seperti senjata militer".

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda IDN Times/Muhammad Rahmat Arief

4. Jutaan warga Amerika Serikat digiring untuk memilih Donald Trump

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda ANTARA FOTO/REUTERS/Jonathan Ernst

Menurut Kaiser, berbekal data sebagai senjata, Cambridge Analytica membantu tim sukses Trump pada Pilpres 2016 untuk "menciptakan konten yang sudah dipersonalisasi" bagi orang-orang yang ia sebut sebagai "the persuadables" atau yang masih bisa dibujuk. "Sejujurnya kami tidak menargetkan setiap pemilih Amerika secara merata," ucap Kaiser.

"Mayoritas sumber daya kami ditujukan untuk mereka yang pikirannya kami yakini masih bisa diubah." Kaiser mengaku Cambridge Analytica "membombardir mereka dengan video, artikel, iklan, dan sebagainya, sampai mereka melihat dunia seperti yang kami inginkan, sampai mereka memilih kandidat yang kami dukung". 

Tidak semua simpatik dengan keputusan Kaiser untuk maju ke hadapan publik dan membuka isi dapur mantan bosnya, Alexander Nix, yang berkali-kali membantah bahwa Cambridge Analytica menangani kampanye Brexit. Salah satunya adalah Carroll. "Dia merupakan narator yang tak bisa dipercaya," tuturnya kepada The Guardian.

Kemunculan Kaiser membuatnya menyetujui sebuah biografi yang akan dirilis tahun ini. Ia pun disebut mendapatkan pembayaran awal senilai jutaan dolar. "Saya harap orang-orang bisa melihat perbedaan antara mereka yang melakukan monetisasi terhadap cerita Cambridge Analytica, dan mereka yang mengerjakannya," tambah Carroll.

5. Teknologi menjadi lokasi terjadinya kejahatan

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda Alexander Nix. twitter.com/camanalytica

Skandal pencurian data untuk memengaruhi hasil pemungutan suara dalam sebuah masyarakat demokratis ini adalah teritori yang tidak terjamah sebelumnya. Ketika mengisi TED Talk pada April 2019 lalu, Cadwalladr menegaskan CEO Facebook, Mark Zuckerberg, menolak hadir di parlemen Inggris untuk memberikan kesaksian.

Padahal, kata Cadwalladr, Facebook punya jawaban atas semua pertanyaan yang muncul. "Teknologi yang Anda ciptakan sangat luar biasa," katanya. "Namun, ini sekarang menjadi lokasi terjadinya kejahatan, dan Anda punya buktinya." Ia pun berargumen bahwa apa yang sedang terancam di sini adalah sebuah proses politik yang bebas dan adil.

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda IDN Times/Muhammad Arief Rahmat

6. Muncul pertanyaan apakah sistem demokrasi liberal sudah tidak cocok

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda David Carroll. Netflix

Dalam wawancara dengan NPR, jurnalis Sarah McCammon bertanya kepada sutradara The Great Hack, Jehane Noujaim dan Karim Amer, apakah ini kenyataan dunia yang kita huni saat ini, di mana teknologi akan semakin kuat dan pintar. Di saat bersamaan, meski pemerintah mampu meregulasinya, tapi tak ada jaminan proses politik tidak akan terpengaruh secara negatif.

"Itu adalah poin yang valid," jawab Amer. "Saat ini kita beroperasi dalam suatu sistem di mana kita tak punya hubungan konsensual dengan platform-platform tersebut. Kita tak tahu bagaimana data kita digunakan. Kita tak tahu ke mana perginya," tambah dia.

Ia mengingatkan, dalam waktu dekat manusia akan memasuki periode saat kecerdasan buatan yang memiliki "algoritma tidak bermoral" menjadi umum.

7. Fokus meluas kepada isu soal perlindungan terhadap data pribadi

The Great Hack: Kisah Penyalahgunaan Data Facebook untuk Propaganda Facebook. ANTARA FOTO/REUTERS/Dado Ruvic/Illustration/File Photo

Kini topik pembicaraan tak lagi tentang Cambridge Analytica atau Facebook saja. Publik yang melek teknologi mulai memikirkan soal perlunya perlindungan data pribadi. Mereka kian percaya bahwa perusahaan teknologi tidak bisa dibiarkan lepas dari tanggung jawab atau dibuat meregulasi diri sendiri. 

Kongres Amerika Serikat, misalnya, mulai membahas tentang hukum federal untuk memproteksi masyarakat dari penyalahgunaan serta pencurian data oleh perusahaan teknologi.

Sedangkan saat ini Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia mengatakan, pemerintah akan menyerahkan pembahasan RUU Perlindungan Data ke DPR.

Baca Juga: 6 Hal Yang Harus Ada di UU Perlindungan Data Pribadi Versi Elsam

Topik:

  • Sunariyah
  • Bella Manoban

Berita Terkini Lainnya