Taliban ke PNS Afghanistan: Jangan Panik, Ayo Kembali Bekerja!

Jakarta, IDN Times – Ashraf Haidari, seorang ekonom yang bekerja di Kementerian Keuangan, memperoleh telepon dari Taliban. Dia mengaku diperintahkan untuk kembali bekerja seperti biasa untuk membantu perekonomain Afghanistan.
Haidari merasa cemas bekerja di bawah administrasi Taliban, sama seperti ribuan warga lainnya. Dia khawatir bakal menjadi target pembalasan Taliban karena bekerja untuk lembaga pemerintah, sekalipun mereka telah berjanji untuk memberi amnesti kepada pasukan asing dan pegawai negeri.
"Dia mengatakan jangan panik atau mencoba bersembunyi, para pejabat membutuhkan keahlian Anda untuk menjalankan negara setelah orang asing gila pergi," ungkap lelaki berusia 47 tahun itu, yang tugas utamanya adalah mengalokasikan dana ke 34 provinsi di Afghanistan, sebagaimana diberitakan Reuters.
Haidari tidak memiliki pilihan lain kecuali menuruti panggilan tersebut. Dia memutuskan untuk menumbuhkan janggut, sebuah kewajiban yang dibebankan Taliban kepada setiap laki-laki sebagai intepretasi hukum Islam. Dia juga menukar jasnya dengan jubah tradisional Afghanistan demi menemui bos barunya.
1. Taliban menghubungi pegawai di sektor-sektor penting untuk kembali bekerja

Reuters juga berbicara dengan tiga pejabat tingkat menengah lainnya di Kementerian Keuangan dan bank sentral Afghanistan. Mereka juga mengaku telah dihubungi Taliban untuk kembali berkantor. Saat ini, negara tengah menghadapi pergolakan ekonomi dan kekurangan uang tunai.
Sohrab Sikandar, yang bekerja di Departemen Pendapatan Kementerian Keuangan, mengatakan bahwa dia tidak melihat rekan perempuannya sejak kembali ke kantor. Padahal, Taliban berjanji akan menghormati hak-hak perempuan, termasuk mengizinkan mereka untuk bekerja dan bersekolah.
Juru bicara Taliban Zabihullah Mujahid menyampaikan, penguasa de facto itu untuk sementara meminta perempuan untuk berdiam diri di rumah. Dia tidak ingin perempuan menjadi korban kekerasan tentara Taliban, yang belum terbiasa dengan hukum moderat.
"Kami khawatir pasukan kami yang baru dan belum terlatih dengan baik akan menganiaya perempuan. Kami tidak ingin pasukan kami melakukannya, Tuhan melarang untuk menyakiti atau melecehkan perempuan. “Sampai kami memiliki prosedur baru, gaji mereka (pekerja perempuan) akan dibayarkan di rumah mereka,” tutur Mujahid pada Selasa (24/8/2021) dikutip dari New York Times.
2. Taliban mulai menghadapi krisis ekonomi

Kehancuran yang meluas akibat perseteruan dua dekade antara pemerintah Afghanistan, yang didukung Amerika Serikat (AS), kontra Taliban berdampak terhadap krisis ekonomi dan jatuhnya nilai mata uang.
Seorang pejabat bank sentral Afghanistan, yang telah kembali bekerja dan ingin tetap anonim, mengatakan bahwa Taliban sejauh ini hanya memanggil beberapa pejabat, terutama di kementerian keuangan dan dalam negeri.
Taliban telah memulai pembicaraan tentang pembentukan pemerintahan. Mereka telah berdialog dengan beberapa mantan musuh dan pemerintahan sebelumnya, termasuk mantan presiden Hamid Karzai.
Haidari tidak memberi tahu keluarganya ketika dia meninggalkan rumah untuk hari pertama kembali ke kantor. Dia tidak ingin keluarganya menjadi panik.
"Mereka tidak membawa senjata di dalam gedung dan salah satu dari mereka mengatakan kami (Taliban) bisa belajar dari keahlian Anda," kata Haidari.
3. Sekitar 14 juta warga Afghanistan terancam kelaparan

Direktur Eksekutif Program Pangan Dunia (WFP), David Beasley, menyebut jutaan warga Afghanistan terancam kelaparan karena konflik, kekeringan dan pandemik COVID-19. Beasley berharap para pemimpin dunia bertindak cepat untuk menghindari bencana kemanusiaan tersebut.
Kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), WFP mengaku membutuhkan uang senilai 200 juta dolar AS (sekitar Rp2,8 triliun) pada September 2021 untuk menangani musibah kelaparan di Afghanistan.
"Ada bencana hebat yang datang karena beberapa tahun kekeringan, konflik, kemerosotan ekonomi, diperparah oleh COVID. Jumlah yang yang kepalaran telah melonjak menjadi 14 juta orang sekarang,” kata Beasley di Doha pada Selasa (24/8/2021), dikutip dari The Straits Times.