Turki Sebut Pengiriman Pasukan Internasional ke Gaza Harus Ada Mandat PBB

- Mandat DK PBB diperlukan untuk legitimasi pasukan internasional di Gaza
- Gencatan senjata goyah akibat Israel terus melakukan pelanggaran
- Israel tidak mau Turki gabung pasukan internasional di Gaza
Jakarta, IDN Times- Turki meminta adanya Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) yang jelas sebelum mempertimbangkan pengiriman pasukan stabilisasi internasional ke Gaza. Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan menyatakan bahwa keputusan untuk mengerahkan tentara sangat bergantung pada definisi dan mandat yang ditetapkan oleh DK PBB.
Permintaan ini muncul usai pertemuan para menteri luar negeri negara-negara Arab dan mayoritas Islam di Istanbul pada Senin (3/11/2025) untuk membahas gencatan senjata. Fidan menekankan bahwa misi ini harus memiliki dasar hukum dan legitimasi yang jelas.
1. Mandat DK PBB diperlukan untuk legitimasi pasukan internasional di Gaza
Negara-negara yang terlibat dalam diskusi pasukan stabilisasi internasional telah menyepakati bahwa pembentukan pasukan ini harus didefinisikan secara eksplisit dalam kerangka resolusi PBB. Mandat yang terperinci dan jelas dibutuhkan untuk memberikan legitimasi yang kuat pada misi tersebut.
“Saya yakin akan sulit bagi mereka untuk mengirim pasukan jika mandat bertentangan dengan prinsip dan kebijakan mereka sendiri,” tutur Hakan Fidan, dilansir The Guardian.
Kekhawatiran juga muncul mengingat Israel masih kerap melanggar gencatan senjata dan melanjutkan pengeboman. Oleh karena itu, calon anggota pasukan ingin mendapatkan kejelasan mengenai aturan keterlibatan dan bagaimana mereka akan melindungi diri dari serangan.
2. Gencatan senjata goyah akibat Israel terus melakukan pelanggaran
Pertemuan di Istanbul dihadiri menteri luar negeri dari tujuh negara, termasuk Indonesia, untuk membahas pembentukan pasukan internasional. Meskipun ada kesepakatan gencatan senjata sejak 10 Oktober, Israel masih terus melakukan pelanggaran.
Israel berulang kali melancarkan serangan mematikan yang menewaskan lebih dari 100 orang dalam satu minggu. Secara total, setidaknya 236 warga Palestina telah terbunuh oleh Israel sejak gencatan senjata dimulai.
Selain serangan militer, Israel juga menghambat pengiriman bantuan kemanusiaan ke Gaza, termasuk mencegah masuknya mesin berat untuk mencari korban di bawah reruntuhan. Israel juga dilaporkan tidak memenuhi kewajiban mereka untuk mengizinkan jumlah truk bantuan yang disepakati memasuki wilayah tersebut. Pelanggaran Israel ini dinilai telah menciptakan krisis kepercayaan antara negara-negara Arab dan Tel Aviv.
"Kita semua melihat bahwa rekam jejak Israel dalam masalah ini sangat buruk. Kita menghadapi sebuah pemerintahan yang telah membantai lebih dari 200 orang tak bersalah sejak perjanjian gencatan senjata dan melanjutkan pendudukan serta serangan mereka di Tepi Barat,” kata Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, dilansir Al Jazeera.
3. Israel tidak mau Turki gabung pasukan internasional di Gaza

Turki telah menyatakan kesiapannya untuk ambil bagian dalam pasukan internasional. Namun, ide tersebut ditolak oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan Menteri Luar Negeri Gideon Saar.
Sementara itu, Turki juga ingin Palestina mengelola pemerintahan dan menjamin keamanan mereka sendiri dengan dukungan komunitas internasional.
“Pada akhirnya, negara Palestina dengan batas wilayah tahun 1967 dan penerapan solusi dua negara, sejujurnya, merupakan definisi yang diakui secara internasional mengenai masalah Palestina, baik berdasarkan hukum maupun praktik internasional,” ujar Fidan, dilansir Anadolu Agency.
Dalam pertemuan tersebut, beberapa masalah lain diangkat, termasuk mekanisme deeskalasi konflik dan batas waktu penarikan penuh militer Israel dari Gaza. Yordania, yang hadir di Istanbul, mengingatkan pentingnya menghubungkan komisi teknokratis yang akan dibentuk dengan Otoritas Palestina untuk memastikan Gaza tetap menjadi bagian dari wilayah Palestina.


















