UEA Tunjuk Sultan al Jaber sebagai Presiden Negosiasi Iklim PBB

Jakarta, IDN Times - Uni Emirat Arab telah menunjuk seorang teknokrat veteran menjadi Presiden Negosiasi Iklim PBB yang akan digelar di Dubai dalam pengumumannya pada Kamis (12/1/2023) waktu setempat.
Dilansir dari AP News, otoritas UEA menominasikan Sultan al Jaber, yang tak lain merupakan orang kepercayaan dari Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan, pemimpin UEA. Latar belakangnya sebagai pemimpin tinggi di perusahaan minyak, namun ia pernah dipercaya memimpin sebuah proyek yang berkaitan dengan iklim.
1. Ia merupakan orang kepercayaan dari pemimpin UEA, Sheikh Mohammed bin Zayed Al Nahyan
Kini, Sultan al Jaber menjabat sebagai CEO Abu Dhabi National Oil Co. Perusahaan yang dipimpinnya itu memompa sekitar 4 juta barel minyak mentah dalam sehari dan berharap bisa berkembang menjadi 5 juta barel dalam sehari.
Akan tetapi, al Jaber juga pernah dipercaya memimpin proyek ambisius untuk memiliki kota "netral karbon" senilai 22 miliar dolar AS atau setara dengan Rp336,3 triliun di pinggiran Abu Dhabi. Ini adalah upaya yang kemudian dikupas kembali setelah krisis keuangan global yang melanda Emirates sejak 2008 lalu.
Bahkan, ia juga saat ini memimpin perusahaan Masdar, perusahaan yang bergerak di bidang energi bersih yang berkembang dari proyek yang beroperasi di lebih dari 40 negara. Untuk KTT COP28 sendiri akan digelar pada 30 November 2023 hingga 12 Desember 2023 ini.
2. Meski memiliki latar belakang mentereng, ada juga yang menentang pencalonannya
Kepala Strategi Politik Global di Climate Action Network International, Harjeet Singh, mengatakan al Jaber memegang gelar CEO di perusahaan minyak negara yang dapat menimbulkan konflik kepentingan yang mengkhawatirkan dan belum pernah terjadi sebelumnya.
"Tidak boleh ada tempat bagi pencemar di konferensi iklim," ungkap pernyataan yang disampaikan oleh Singh yang dikutip dari AP News.
Kantor berita setempat yang dikelola Emirates, WAM, mencatat tahun-tahun al-Jaber yang menjabat sebagai utusan iklim.
"Ini akan menjadi tahun yang kritis dalam dekade kritis untuk aksi iklim. UEA mendekati COP28 dengan rasa tanggung jawab yang kuat serta tingkat ambisi setinggi mungkin," ungkap pernyataan dari kantor berita WAM yang juga dikutip dari AP News.
3. Pada 2022 lalu, COP27 menyepakati biaya kerusakan dan kerugian akibat perubahan iklim
Pertemuan COP27 yang digelar pada November 2022 lalu di Mesir menciptakan kesepakatan bersejarah. KTT ini menghasilkan negara-negara kaya akan membayar negara-negara miskin atas kerusakan dan kerugian ekonomi yang disebabkan oleh perubahan iklim.
Hal ini mengakhiri penantian sekitar hampir 30 tahun lamanya oleh negara-negara yang menghadapi dampak iklim yang sangat besar.
Perdana Menteri Inggris, Rishi Sunak, menyambut baik kemajuan yang dibuat COP27 tetapi mengatakan lebih banyak yang harus dilakukan untuk mengatasi perubahan iklim. Kesepakatan menyeluruh terakhir tidak mencakup komitmen untuk menghentikan atau mengurangi penggunaan bahan bakar fosil.