Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Uni Eropa Setujui Aturan Migrasi dan Suaka yang Lebih Ketat

Bendera Uni Eropa. (Unsplash.com/ALEXANDRE LALLEMAND)
Bendera Uni Eropa. (Unsplash.com/ALEXANDRE LALLEMAND)

Jakarta, IDN Times - Parlemen Eropa menyetujui reformasi besar-besaran yang memperketat peraturan migrasi dan suaka Uni Eropa (UE) pada Rabu (10/4/2024). Aturan baru itu dirancang untuk mempercepat proses suaka dan meningkatkan deportasi migran ilegal.

Pakta Suaka dan Migrasi UE ini akan mulai berlaku pada 2026. Reformasi tersebut mulai disusun sejak 2015 setelah 1,3 juta orang, sebagian besar yang melarikan diri dari perang di Suriah dan Irak, mencari perlindungan di Eropa pada tahun itu.

1. Perubahan yang akan diterapkan

Bendera Uni Eropa. (Unsplash.com/Guillaume Périgois)
Bendera Uni Eropa. (Unsplash.com/Guillaume Périgois)

Dilansir DW, sistem baru itu menerapkan migran yang datang secara ilegal akan menjalani pemeriksaan identitas, kesehatan dan keamanan, termasuk pembacaan biometrik wajah dan sidik jari dalam tujuh hari. Pemeriksaan untuk menentukan migran yang permohonan suaka dipercepat atau normal, dan migran mana yang harus dipulangkan ke negara asal atau transitnya.

Prosedur terhadap anak-anak harus dengan perlakuan khusus, dan diwajibkan untuk menerapkan mekanisme pemantauan independen untuk memastikan hak-hak mereka ditegakkan.

Pencari suaka dari negara-negara yang permohonan warga negaranya umumnya ditolak, seperti Tunisia, Maroko, dan Bangladesh, misalnya harus dilacak dengan cepat di pusat-pusat penahanan yang dekat dengan perbatasan luar. Hal itu agar mereka dapat dengan cepat dideportasi.

Pusat-pusat tersebut, yang terletak di perbatasan darat, pelabuhan dan bandara, akan mampu menampung hingga 30 ribu orang setiap saat, dan blok Eropa itu memperkirakan hingga 120 ribu migran akan melewati fasilitas tersebut setiap tahunnya.

2. Prinsip negara pertama tetap berlaku

Ilustrasi kamp pengungsi. (Unsplash.com/Julie Ricard)
Ilustrasi kamp pengungsi. (Unsplash.com/Julie Ricard)

Reformasi ini terutama mengenai mekanisme “Dublin III” UE yang menentukan negara anggota mana yang bertanggung jawab memproses permohonan suaka individu. Secara umum, negara pencari suaka pertama kali tiba bertanggung jawab menangani proses sehingga memberikan tekanan lebih besar pada negara-negara selatan seperti Italia, Yunani, dan Malta.

Di bawah peraturan baru ini, prinsip negara pertama akan tetap berlaku. Namun, ada langkah-langkah tambahan termasuk “mekanisme solidaritas wajib”, yang mewajibkan negara-negara anggota lainnya untuk memikul beban yang lebih adil.

Solidaritas menetapkan jika  negara-negara lainnya tidak mau atau tidak mampu menampung pencari suaka secara fisik saat pengajuan mereka diproses, maka dapat membantu secara finansial atau dengan menyediakan personel tambahan.

Setidaknya 30 ribu pencari suaka per tahun diperkirakan akan mengikuti sistem relokasi ini. Kompensasi finansial tahunan sebesar 600 juta euro (Rp10,3 triliun ) akan ditetapkan bagi mereka yang lebih memilih membayar daripada menampung.

3. Penolakan terhadap aturan

Dilansir BBC, meski reformasi disetujui, tapi beberapa negara menolaknya. Hungaria berjanji untuk tidak menerima migran gelap terlepas dari perjanjian migrasi apa pun. Perdana Menteri Polandia Donald Tusk menolak mekanisme penerimaan sejumlah pencari suaka atau membayar dana untuk negara-negara garis depan karena dianggap tidak dapat diterima.

Kelompok sayap kiri dan sayap kanan menentang aturan migrasi. Jordan Bardella dari Reli Nasional sayap kanan Perancis menganggap pakta migrasi itu "mengerikan" dan mendesak masyarakat Eropa memberikan suara menentang Presiden Prancis Emmanuel Macron, yang mendukung perjanjian tersebut, pada pemilu Eropa mendatang pada 9 Juni.

Pada saat pemungutan suara di parlemen terjadi demonstrasi untuk menentang pakta suaka. Banyak organisasi masyarakat mendesak anggota parlemen menolak reformasi tersebut, dan Amnesty International memperingatkan perubahan itu akan menyebabkan lonjakan penderitaan bagi migran.

Salah satu keberatan yang umum adalah para pencari suaka yang peluangnya rendah untuk diterima akan diproses di pulau-pulau kecil di perbatasan atau di fasilitas penahanan di negara-negara garis depan, dan kurang memiliki akses terhadap prosedur yang adil.

Federasi Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah mengatakan khawatir dengan normalisasi penahanan dan proses yang lebih cepat di perbatasan. Kelompok tersebut menganggap keputusan yang cepat berisiko memulangkan orang-orang yang seharusnya diberikan suaka.

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us