WHO: 15.600 Pasien di Gaza Butuh Evakuasi Medis Segera

- Situasi di Gaza sudah melampaui bencana, dengan sistem kesehatan yang hancur dan kelaparan meluas.
- Bantuan yang masuk sangat sedikit, menyebabkan kelaparan parah dan kematian warga Palestina, termasuk anak-anak.
- Israel menuntut Hamas meletakkan senjata dan membebaskan sandera, sementara kampanye militer brutal telah menewaskan ribuan warga Palestina.
Jakarta, IDN Times - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pada Sabtu (23/8/2025), memperingatkan bahwa lebih dari 15.600 pasien di Gaza, termasuk 3.800 anak-anak, membutuhkan evakuasi medis lebih cepat.
Dalam unggahan di X mengenai evakuasi medis baru-baru ini ke Uni Emirat Arab (UEA), Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyoroti penderitaan mereka yang tidak dapat mengakses perawatan khusus di Gaza.
“Kami berterima kasih kepada UAE yang kembali mendukung evakuasi medis terhadap pasien kritis dari Gaza. Namun, lebih dari 15.600 pasien membutuhkan perawatan khusus, termasuk 3.800 anak-anak. Kami menyerukan peningkatan akses untuk membantu meningkatkan evakuasi dari Gaza dan mendorong lebih banyak negara agar menyediakan perawatan yang menyelamatkan jiwa," kata Tedros, seraya mendesak gencatan senjata segera.
1. Situasi di Gaza lebih dari sekadar bencana
Dilansir dari Press TV, seorang pejabat senior dari lembaga medis internasional Dokter Lintas Batas (MSF) menyebut situasi di Gaza sudah melampaui bencana. Pasalnya, wilayah tersebut tidak lagi memiliki sistem kesehatan yang berfungsi dan tengah menghadapi kelaparan meluas.
“Situasinya benar-benar sudah tidak bisa lagi digambarkan sebagai bencana. Kata ‘bencana’ kini terdengar terlalu sederhana, terlalu ringan. Keadaannya jauh lebih buruk daripada sekadar bencana,” ungkap Mohammed Abu Mughaiseeb, wakil koordinator medis MSF di Gaza.
Ia mengatakan bahwa sektor kesehatan di Gaza telah dihancurkan secara sistematis selama hampir 22 tahun perang. Sebagian besar rumah sakit kini rusak atau tidak dapat beroperasi, sementara klinik lapangan dan bangsal darurat yang tersisa kewalahan menampung pasien yang terluka maupun sakit kritis.
Menurut Kementerian Kesehatan di Gaza, kapasitas rumah sakit telah melonjak hingga 300 persen, menyebabkan banyak pasien terpaksa dirawat di lantai. Sejumlah operasi juga ditangguhkan akibat minimnya fasilitas dan peralatan medis.
2. Bantuan yang masuk sangat sedikit
Abu Mughaiseeb menuturkan bahwa jumlah truk bantuan yang masuk belakangan ini sangat sedikit sehingga hampir tidak dapat mampu meredakan kelaparan yang semakin parah di Gaza.
“Tidak ada makanan, tidak ada obat-obatan, tidak ada bantuan kemanusiaan yang nyata,” ujarnya.
Sejauh ini, lebih dari 280 warga Palestina, termasuk lebih dari 110 anak-anak, telah meninggal dunia akibat kelaparan. Pada Jumat (22/8/2025), sistem Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) melaporkan bahwa 514 ribu orang, hampir seperempat penduduk Gaza, mengalami kelaparan parah.
“Anak-anak yang meninggal akibat kelaparan sebenarnya juga memiliki penyakit bawaan. Mereka bisa diobati dan mereka tidak seharusnya mati. Maksud saya, jika mereka mendapat makanan, mereka akan hidup. Jika Anda memiliki suplemen khusus protein dan susu, mereka dapat bertahan hidup," tambah Abu Mughaiseeb.
3. Israel tuntut Hamas letakkan senjata dan serahkan sandera
Dilansir dari Al Jazeera, serangan Israel di Gaza telah menewaskan sedikitnya 62.622 warga Palestina dan melukai 157.673 lainnya terluka. Kampanye militer brutal ini dimulai setelah kelompok Palestina Hamas melancarkan serangan ke Israel selatan pada 7 Oktober 2023, yang menyebabkan 1.139 orang tewas di Israel dan lebih dari 200 lainnya disandera.
Meski Hamas telah menyetujui proposal gencatan senjata terbaru, Israel masih belum berniat mengakhiri perangnya di Gaza. Pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu kini bahkan bertekad melakukan pendudukan penuh atas wilayah tersebut.
Pada Jumat, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, bersumpah akan menghancurkan Kota Gaza jika Hamas menolak meletakkan senjata dan membebaskan sisa sandera sesuai dengan syarat yang ditetapkan Tel Aviv, dilansir dari The New Arab.