WHO Minta Taliban Izinkan Tenaga Kesehatan Perempuan Bertugas

- Kelangkaan tenaga medis perempuan di daerah terdampak gempa
- 90% tenaga medis di wilayah terdampak adalah laki-laki, sulit bagi perempuan untuk mendapat perawatan
- Sebanyak 11.600 wanita hamil mengalami kesulitan akses layanan kesehatan akibat kerusakan gempa dan pemotongan dana
Jakarta, IDN Times - Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Senin (8/9/2025), mendesak pemerintah Taliban di Afghanistan untuk mencabut pembatasan yang membatasi pergerakan pekerja bantuan perempuan. Permintaan ini muncul pasca gempa dahsyat yang menewaskan lebih dari 2.200 jiwa di wilayah timur negara tersebut.
Keterbatasan tersebut menghambat tenaga medis perempuan dalam memberikan bantuan kepada korban, khususnya perempuan, yang sangat membutuhkan pelayanan kesehatan. WHO menilai pencabutan pembatasan ini sangat penting demi mempercepat penanganan darurat di daerah terdampak.
1. Kelangkaan tenaga medis perempuan di daerah terdampak gempa
Dr. Mukta Sharma, wakil perwakilan WHO di Afghanistan, menyampaikan bahwa masalah besar saat ini adalah minimnya staf perempuan di wilayah yang terdampak gempa. Sekitar 90 persen tenaga medis di lokasi tersebut adalah laki-laki, sementara 10 persen sisanya adalah bidan dan perawat, bukan dokter yang dapat menangani luka serius.
"Pembatasan ini sangat besar, masalah mahram (pendamping laki-laki) masih berlangsung dan belum ada pengecualian resmi dari pihak berwenang," ujar Dr. Sharma, dilansir Malay Mail.
Kondisi ini menyulitkan perempuan untuk mendapat perawatan karena banyak yang merasa tidak nyaman atau takut berinteraksi dengan tenaga medis laki-laki dan melakukan perjalanan sendirian.
2. Taliban larang perempuan di LSM bekerja di luar rumah
Pemerintahan Taliban sebelumnya telah melarang pekerja perempuan di organisasi non-pemerintah (LSM) bekerja di luar rumah tanpa pendamping laki-laki. Meskipun ada beberapa pengecualian terbatas di sektor kesehatan dan pendidikan, hal ini dinilai tidak cukup untuk meningkatkan jumlah staf perempuan terutama saat keadaan darurat seperti gempa bumi.
“Kami berupaya mengadvokasi agar saat ini lebih banyak tenaga kesehatan perempuan dapat hadir di wilayah tersebut dan kami juga berusaha mencari dari tempat lain yang tersedia,” kata Dr. Sharma, dikutip The Straits Times.
Pembatasan perjalanan ini semakin memperburuk krisis layanan kesehatan di Afghanistan yang sudah mengalami pemotongan dana bantuan luar negeri.
3. 11 ribu perempuan hamil kesulitan akses layanan kesehatan
WHO juga memperingatkan risiko jangka panjang, terutama pada layanan kesehatan mental dan perawatan ibu hamil. Sekitar 11.600 wanita hamil di wilayah yang terdampak gempa mengalami kesulitan akses layanan kesehatan.
Dr. Sharma menunjukkan bahwa banyak fasilitas kesehatan di daerah gempa terpaksa ditutup akibat kerusakan gempa dan pemotongan dana, sehingga pelayanan mental dan perawatan ibu menjadi sangat terdampak. Kondisi ini diperparah dengan aturan Taliban yang menghalangi dokter perempuan berperan aktif dalam penanganan korban gempa.