Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Perempuan Ini Dirikan Yayasan "Donor Pembalut"

lovinghumanity.org.uk

Seorang perempuan bernama Gabby Edlin punya kekhawatiran lain terhadap pengungsi di Inggris. Ia memikirkan bagaimana para pengungsi perempuan yang tak sanggup membeli pembalut, padahal bagi perempuan ini adalah kebutuhan esensial. Karena begitu mendesak, Edlin bahkan mendirikan sebuah organisasi non-profit bernama Bloody Good Period.

Ia membantu mendonasikan pembalut kepada pengungsi.

Default Image IDN

Dikutip dari BuzzFeed, kepedulian Edlin kepada para pengungsi berkaitan erat dengan latar belakangnya sebagai orang Yahudi. 

"Ini ada dalam darah kami - ide menjadi pengungsi. Buyut laki-lakiku berasal dari Polandia, Lithuania dan Rusia, dan buyut perempuanku kehilangan saudara-saudaranya ketika Holocaust, jadi pengalaman tentang menjadi pencari suaka hanya berjarak beberapa generasi dari sebagian besar kami," ujarnya.

Bloody Good Period sendiri punya misi untuk mengumpulkan donasi-donasi produk-produk pembalut dan perlengkapan mandi. Kemudian, mereka memberikannya kepada para pengungsi perempuan di London Utara.

Edlin memahami bahwa para pencari suaka di Inggris, terutama London, tak mungkin bekerja dan lebih rentan terhadap kemiskinan. Mereka pun kesulitan untuk membeli pembalut yang disia-siakan oleh kebanyakan orang karena kemudahan dalam membelinya.

Bahkan, tak sedikit orang yang luput dalam mempertimbangkan ada pengungsi perempuan yang menstruasi dan sulit mendapatkan pembalut. Situs Bloody Good Period menuliskan,"Ini gila bahwa para perempuan tersebut tak diberikan barang yang sangat mereka butuhkan. Banyak yang kemudian terpaksa memakai tisu toilet, kain perca, atau bahkan tak memakai apapun sama sekali."

Cerita tentang kebutuhan pembalut pengungsi bukan hal baru.

Default Image IDN

Tak hanya pengungsi yang sudah berada di negara maju, mereka yang masih tinggal di kamp pengungsi seperti di Yordania juga kesulitan mendapatkan pembalut. Dengan uang bantuan sangat minim dari badan pengungsi dunia UNHCR, fokus mereka adalah memenuhi kebutuhan pangan terlebih dulu.

Akibatnya, pembalut jadi barang mewah bagi para perempuan. Edlin pun bukan perempuan Inggris satu-satunya yang peduli akan persoalan ini. Amy Peake, pendiri Loving Humanity, juga memiliki perhatian yang sama.

Pada 2015 lalu, Peake berinisiatif mengirimkan 12 mesin pembuat pembalut dan beberapa bahan yang diperlukan ke kamp tersebut. Satu mesin seharga sekitar Rp 23 juta bisa dipakai oleh 10 perempuan. Mereka tak hanya memenuhi kebutuhan esensial itu, tapi juga bisa mendapat upah dari UNHCR.

Share
Topics
Editorial Team
Rosa Folia
EditorRosa Folia
Follow Us