Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Melodi Perlawanan: Saat 'Bayar Bayar Bayar' Menggema di Negeri Korupsi

ilustrasi politikus (unsplash.com/@huntersrace)
ilustrasi politikus (unsplash.com/@huntersrace)

Di tengah lanskap musik Indonesia, sebuah lagu kembali menggetarkan kesadaran publik. “Bayar Bayar Bayar” karya band punk new wave asal Purbalingga, Sukatani muncul sebagai cermin yang memantulkan realitas praktik suap di berbagai sektor. Dengan lirik yang tajam dan ironi yang menggigit, lagu ini menjadi representasi keresahan masyarakat terhadap praktik pungutan liar yang masih terjadi.

Sebagian besar pendengar langsung terhubung dengan liriknya yang berbunyi, “Mau bikin SIM bayar polisi, ketilang di jalan bayar polisi.” Sebuah narasi yang akrab di telinga banyak orang. Musik, dalam hal ini, bukan sekadar hiburan, tetapi juga ekspresi sosial yang memiliki kekuatan untuk mengkritisi dan mendorong perubahan.

Namun, setelah lagu ini viral, kontroversi pun bermunculan. Pihak kepolisian menanggapi dengan memanggil para personel band. Dalam sebuah video yang diunggah pada 20 Februari 2025, para anggota band menyampaikan permintaan maaf kepada Kapolri dan institusi Polri. Hal ini menimbulkan pro dan kontra di masyarakat: apakah ini bentuk klarifikasi atau justru cerminan dari terbatasnya kebebasan berekspresi di Indonesia?

  • Musik Sebagai Alat Kritik Sosial

Sejarah menunjukkan bahwa musik telah lama menjadi medium perlawanan. Iwan Fals, misalnya, pada era Orde Baru kerap menyuarakan kritik sosial melalui lagu-lagu seperti “Bongkar” dan “Surat Buat Wakil Rakyat.” Di ranah internasional, band seperti Rage Against the Machine atau Sex Pistols juga menggunakan musik sebagai alat perlawanan terhadap ketidakadilan.

Dalam bukunya “Music as Social Life: The Politics of Participation” (2008), Thomas Turino menekankan bahwa musik bukan hanya hiburan, tetapi juga alat untuk membentuk identitas dan solidaritas sosial. Lagu-lagu seperti “Bayar Bayar Bayar” memiliki peran penting dalam menyuarakan keresahan publik terhadap isu-isu yang mereka alami sehari-hari.

Namun, kebebasan berekspresi dalam musik sering kali berbenturan dengan regulasi dan sensitivitas institusi tertentu. Di Indonesia, fenomena ini bukanlah hal baru. Pada 2019, grup musik folk Sisir Tanah mengalami pembatalan konser setelah dianggap menyuarakan kritik yang terlalu tajam. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun reformasi telah membuka ruang kebebasan, seniman masih menghadapi tantangan dalam menyuarakan aspirasi mereka.

  • Dimensi Hukum: Antara Kritik dan Batasan

Kasus Sukatani menarik untuk dikaji dari aspek hukum. Dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, disebutkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Sementara itu, dalam Pasal 19 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi Indonesia melalui UU No. 12 Tahun 2005 disebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk menyatakan pendapat tanpa gangguan.

Namun, kebebasan ini tidak bersifat mutlak. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sering menjadi rujukan dalam menangani kasus-kasus yang dianggap mencemarkan nama baik atau menyerang institusi negara. Dalam konteks ini, perlu ada keseimbangan antara perlindungan kebebasan berekspresi dan tanggung jawab dalam menyampaikan kritik.

Dominique Nicky Fahrizal, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), menyatakan bahwa “Respon reaktif terhadap kritik dalam bentuk karya seni dapat berdampak pada iklim demokrasi yang sehat. Alih-alih membatasi, negara seharusnya memperkuat mekanisme dialog yang konstruktif.” (Kompas, 22 Februari 2025).

Dari perspektif hukum, jika suatu kritik berbasis pada fakta dan bukan fitnah, maka hal tersebut termasuk dalam kebebasan berekspresi yang harus dilindungi. Tantangannya adalah bagaimana pemerintah dan aparat menanggapi kritik dengan cara yang lebih demokratis, bukan represif.

  • Reaksi Publik: Solidaritas dan Polemik

Setelah kontroversi ini mencuat, reaksi publik pun beragam. Tagar #KamiBersamaSukatani sempat trending di media sosial, menunjukkan solidaritas masyarakat terhadap kebebasan berekspresi. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa lirik lagu ini terlalu generalisasi dan bisa merugikan citra aparat yang bekerja dengan integritas.

Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, dalam pernyataannya, menyebut bahwa tidak ada larangan terhadap lagu tersebut dan bahwa kontroversi ini hanyalah “miskomunikasi yang telah diluruskan.” (Tempo, 23 Februari 2025). Pernyataan ini diharapkan bisa menjadi sinyal positif bagi seniman untuk terus berkarya tanpa takut diintimidasi.

Namun, yang menjadi pertanyaan: apakah pernyataan ini akan diikuti dengan kebijakan nyata yang lebih melindungi kebebasan berekspresi? Ataukah kasus ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak contoh di mana kritik dibungkam secara halus?

  • Menjaga Ruang Ekspresi di Indonesia

Kasus Sukatani memberikan pelajaran penting bahwa kebebasan berekspresi masih menjadi isu krusial di Indonesia. Agar demokrasi tetap sehat, penting bagi negara untuk:

  1. Meningkatkan toleransi terhadap kritik, terutama yang disampaikan melalui seni dan budaya.
  2. Merevisi pasal-pasal dalam UU ITE yang sering disalahgunakan untuk menekan ekspresi masyarakat.
  3. Mendorong dialog antara aparat dan masyarakat agar kritik dapat diterima dengan lebih konstruktif.

Seperti yang pernah dikatakan Voltaire, “Saya mungkin tidak setuju dengan apa yang Anda katakan, tetapi saya akan membela sampai mati hak Anda untuk mengatakannya.”

Musik telah lama menjadi suara rakyat. Jika suara itu terus dibungkam, apakah kita benar-benar hidup dalam demokrasi?

Oleh:Tian Rahmat,S.Fil

Alumnus Filsafat IFTK Ledalero Flores, Pemerhati Isu-isu strategis 

This article is written by our community writers and has been carefully reviewed by our editorial team. We strive to provide the most accurate and reliable information, ensuring high standards of quality, credibility, and trustworthiness.
Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Tian Rahmat ,S.Fil
EditorTian Rahmat ,S.Fil
Follow Us