Pandangan Pendaki Gunung soal Trail Runner yang Buru-Buru

- Pendaki gunung biasa merasa terganggu dengan kehadiran trail runner yang mendaki secara tektok, mengganggu jalur pendakian yang seharusnya tenang dan aman.
- Trail runner sering tidak mengindahkan aturan tidak tertulis di jalur pendakian, seperti menyapa atau meminta izin saat melewati rombongan pendaki biasa.
- Keselamatan menjadi perhatian utama, karena seringkali terjadi tabrakan atau serempetan antara trail runner yang tidak dapat mengontrol kecepatannya dengan pendaki biasa.
Sebagai seorang pendaki gunung biasa, saya menyukai gunung-gunung populer di pulau Jawa karena memiliki jalur yang cukup jelas untuk setiap orang yang ingin mendakinya. Jika kita berbicara pendaki gunung, tentunya pikiran kita akan membayangkan orang-orang yang menggendong tas besar berisi perlengkapan dan logistik sebagai persiapan menginap di tenda di atas gunung. Namun beberapa tahun belakangan, peminat pendakian gunung tidak hanya para kalangan pendaki dengan outfit pendaki dengan tas besar tadi, tetapi mereka dengan tampilan lebih sporty yang hanya bermodalkan rompi dengan dua botol air mineral kecil di depan dan logistik secukupnya di tas kecil yang biasa disebut hydropack. Mereka adalah para pelari lintas alam atau saat ini banyak orang menyebutnya trail runner.
Kehadiran para trail runner di gunung-gunung di Indonesia memang jadi fenomena tersendiri
Dahulu pendakian gunung yang terkesan sangat berat dan berbahaya berubah stigmanya setelah berbondong-bondongnya trail runner yang berlari sampai ke puncak gunung dan langsung turun kembali ke pos awal pendakian di hari yang sama, biasanya orang menyebutnya dengan pendakian tektok. Pendakian tektok tidak menuntut seseorang untuk membawa tenda yang aman serta makanan serta logistik lain yang cukup selama di atas gunung. Pendakian tektok membutuhkan kekuatan dan kecepatan tubuh serta beberapa mililiter air mineral dan makanan ringan seperti biskuit, coklat atau buah-buahan yang mudah disimpan dalam hydropack.
Jalur di gunung tidak memisahkan antara para pendaki biasa dengan tas besarnya dengan para trail runner yang mendaki secara tektok, sehingga pada saat para pendaki biasa sedang merasakan nikmatnya beban di pundak saat jalan menanjak tiba-tiba datang sekumpulan trail runner yang ingin cepat melewati para pendaki biasa karena mereka ingin mengejar catatan waktunya masing-masing. Hal ini tentu membuat pendaki biasa terganggu karena tanpa kehadiran para trail runner saja, terkadang berat untuk menapaki jalur yang menanjak cukup curam. Pengalaman yang bagus jikalau kita bertemu para trail runner itu masih menyapa jika berpapasan atau meminta izin saat hendak melewati rombongan pendaki biasa, terkadang beberapa dari mereka menyamakan jalur pendakian seperti jalan-jalan yang dibuka saat car free day (CFD), dimana mereka hanya lewat melengos tanpa sapa-menyapa antar pendaki yang justru sudah menjadi aturan tidak tertulis di jalur pendakian gunung di Indonesia.
Pendaki biasa juga selalu mengutamakan senyum dan sapa terhadap siapa saja yang ditemuinya termasuk yang sedang beristirahat di jalur pendakian. Namun jangan berharap itu dari para trail runner di jalur pendakian, jangankan senyum dan sapa terkadang mukanya saja kita tidak sempat melihatnya bahkan saat kita sedang beristirahat karena lagi-lagi mereka perlu cepat entah untuk sampai ke puncak atau ingin cepat turun sampai ke pos awal pendakian.
Pendaki biasa juga tidak jarang tertabrak ataupun terserempet para trail runner yang tidak dapat mengontrol kecepatannya di jalur yang menurun. Hal ini tentunya berbahaya bagi kedua belah pihak baik yang menabrak maupun yang tertabrak. Ingat sekali lagi, ini bukan jalan CFD yang kalaupun jatuh dan terluka bisa dengan mudah membawanya ke rumah sakit atau praktek dokter terdekat, tapi ini jalur pendakian gunung yang banyak resiko tinggi disana apakah batu besar, tanaman berduri bahkan jurang yang berdampingan dengan jalur pendakian bisa menjadi ancaman yang sangat serius jika seseorang jatuh dan tentunya sangat jauh ke fasilitas kesehatan untuk pengobatan.
Berdasarkan fenomena ini, penulis sebagai pendaki gunung biasa menyarankan sebaiknya para trail runner tidak perlu terlalu terburu-buru
Karena tujuan kita mungkin sama yakni sama-sama ingin menikmati alam. Walaupun memang cara menikmatinya berbeda, kalau pendaki biasa ingin menikmati dengan cara yang tenang dan perlahan sedangkan para trail runner ingin menikmati dengan cara lebih cepat dan terkesan tergesa-gesa. Tidak ada salahnya juga kalau para trail runner bertemu dengan pendaki biasa tetap menyapa dan melepas senyum supaya kami pendaki biasa tetap bisa merasakan bahwa jalur itu masih di jalur pendakian gunung bukan di jalan CFD. Selain itu, ada baiknya pihak pengelola jalur pendakian sebaiknya memberikan waktu khusus bagi para trail runner mengejar catatan waktunya untuk menghindari tabrakan atau serempetan dengan pendaki biasa yang justru bisa mendatangkan celaka.
Sejatinya menurut saya sebagai pendaki gunung biasa, keindahan alam di gunung rasanya sangat lezat untuk dinikmati secara perlahan tanpa harus terburu-buru dan diburu waktu.