[OPINI] Ramai-Ramai Menakar Tabiat Dian Sastrowardoyo dari Cuplikan Video Singkat

Berawal dari sebuah Instagram Story singkat, Dian Sastrowardoyo tergulung dalam bola salju hujatan dan kritik pedas. Dalam rekaman yang tidak lebih dari 30 detik, aktris profesional ini terlihat menepis gandengan salah seorang fans, lantas (tampak seolah) bergidik. Kejadian itu berlatar belakang di salah satu event nonton bersama untuk mempromosikan film terbarunya.

Tak lama setelah diunggah, video itu dihapus oleh Dian. Namun, kamu tahu sendirilah betapa cepatnya refleks warga dunia maya sekarang ini. Bagaikan membuang sebatang korek api membara ke ladang kering, tak perlu lewat dari 24 jam, akun sosial media Dian langsung diserbu ribuan akun yang menunjukkan kekecewaan mereka. Predikat sombong, munafik, pencitraan turun deras bagaikan hujan lebat.
Merembet cepat, masalah yang terkesan sepele ini akhirnya menjadi kobaran hebat, dibahas di berbagai media dan memengaruhi pamor film terbarunya.

Tak hanya sampai di situ, konon efek dari video pendek tersebut juga merembet ke popularitas film terbaru Dian yang tengah sibuk dipromosikannya. Film Kartini yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo tersebut ikut terancam akan diboikot oleh sejumlah orang. Tak sedikit yang membanding-bandingkan tabiat Dian Sastrowardoyo dengan sang pahlawan wanita. Ia dianggap tak pantas, tak mencerminkan semangat Raden Ajeng asal Jepara tersebut.
Kamis kemarin, akhirnya Dian mengeluarkan klarifikasi di akun Instagram miliknya. Dengan bahasa senetral mungkin ibu anak dua itu berusaha menjelaskan dirinya kepada publik. Mengenai arti penggemar baginya; mengenai usahanya memposisikan diri sesuai beragam peran di kehidupan sosial; mengenai kesalahpahaman atas insiden yang terekam tempo hari; mengenai responnya terhadap reaksi orang-orang yang membanjiri sosial medianya. Tapi kolom komentarnya tetap dipenuhi ujaran bernada marah dan menyalahkan.
Pada akhirnya, Dian Sastro adalah seorang manusia biasa yang punya perasaan dan emosi sama seperti kita. Bukan sekadar manekin untuk dipamerkan.

Sebenarnya apakah kita semua sudah benar-benar yakin bahwa ini merupakan persoalan hitam dan putih? Apakah dengan menolak disentuh atau berfoto sudah pasti seseorang berwatak buruk, sombong, angkuh, menyebalkan? Dari cuplikan kurang dari 30 detik itu saja, apa halal bagi kita untuk merangkum seluruh perjalanan hidup Dian?
Jika ingin merenung sejenak, kita akan sadar bahwa pada akhirnya Dian Sastrowardoyo hanyalah manusia biasa seperti kita. Dia punya darah merah dan tulang putih di bawah paras cantiknya. Dia juga punya perasaan dan pemikiran. Dia bisa sedih, bisa capek, bisa sakit dan kecewa. Dia juga berhak menjaga tubuh dan ruang pribadinya. Sama seperti kita yang pernah merasakan itu semua, Dian juga tak lepas dari sensasi tersebut.
Predikat selebritis tidak lantas membuatnya menjadi orang suci atau mati rasa. Ada baiknya kamu mencoba menempatkan diri dalam posisinya, dalam keadaan lelah dan stres, jauh dari zona nyaman dan mendadak ada orang yang memasuki ruang pribadimu tanpa diundang. Respon kita pasti berbeda-beda, namun defensif tidak mustahil jadi salah satunya.
Di sisi lain, konsekuensi pekerjaan memang perlu dipertimbangkan; Dian Sastrowardoyo diharapkan punya mekanisme respons yang lebih apik dalam menghadapi serbuan penggemar.

Bagaimana pun juga, Dian Sastro dan para selebritis lainnya bisa sampai di posisi sekarang karena sokongan penggemar. Tanpa ada fans yang membeli tiket film dan produk-produk yang ditawarkan, publik figur juga tidak akan mendapat benefit apa-apa. Salah satu contoh simbiosis mutualisme dalam kehidupan masyarakat modern.
Penggemar memang ada berbagai macam jenisnya, tidak semuanya dapat bersikap menyenangkan. Apalagi ketika tengah mengalami euforia, melihat sosok idolanya dan mengabaikan logika mereka karena kelewat bersemangat kerap terjadi. Idealnya sebagai publik figur, Dian dan rekan-rekannya sudah mempersiapkan diri dalam menghadapi aneka jenis penggemar. Tidak hanya satu tapi sebaiknya ada sejumlah skenario yang digodok untuk menghadapi aneka situasi berbeda di lapangan.
Pun JIKA Dian Sastrowardoyo benar-benar tidak suka beramah tamah dengan penggemar, ia tetaplah seleberitis yang perlu menjaga citra dan memberi fanservice secukupnya kepada penggemarnya. Menyapa dan menolak dengan senyum tentu tidaklah sulit bagi seorang akrtis kawakan, toh berpura-pura gila atau nelangsa di depan layar saja mereka piawai.
Tidak membenarkan atau menyalahkan, namun ada baiknya kita lebih berimbang dalam menilai sebuah masalah. Melihat dari dua belah sisi untuk menghindari emosi.

Masih bernafsu menghakimi sikap Dian Sastrowardoyo? Itu sih kembali lagi kepada masing-masing dari kamu. Yang jelas sekarang pertimbanganmu seharusnya lebih matang dan luas sebelum memberi cap macam-macam terhadap orang lain. Bereaksi boleh, asalkan objektif pertimbangan matang yang rasional tanpa mengutamakan emosi, apalagi sekadar terbawa arus.
Tujuan dari tulisan ini bukan untuk menjelaskan siapa yang benar dan siapa yang salah, melainkan mengajak kita semua berpikir dengan kepala dingin tanpa emosi dan melihat secara seimbang dari dua belah sisi ketika dihadapkan pada sebuah situasi. Dari situ kita bisa mendapatkan jawaban yang tak pernah terpikirkan sebelumnya, terhindar dari reaksi yang bisa kita sesali kemudian hari.