Cyber Security, Tantangan dalam Transformasi Pembayaran Digital

Keamanan data akan dibahas dalam KTT G20

Perkembangan teknologi telah membawa perubahan signifikan pada hampir seluruh aspek kehidupan manusia, termasuk transaksi keuangan. Jika di masa lalu kita hanya mengenal uang tunai sebagai alat pembayaran, kini masyarakat mulai beralih ke pembayaran non-tunai berbasis digital.

Perubahan pola hidup ini juga didorong kondisi selama pandemi yang memaksa masyarakat membatasi mobilitasnya. Membayar tagihan rutin, berbelanja kebutuhan sehari-hari hingga membeli makanan  mulai dilakukan dari rumah. Agar segala transaksi keuangan tetap berjalan lancar, digital payment adalah solusi terbaik yang diambil.

Digital payment adalah metode pembayaran melalui SMS Banking, Mobile Banking, Electronic Wallet dan media lainnya. Pembayaran ini tidak membutuhkan uang tunai dalam transaksinya. Saldo disimpan di dalam perangkat elektronik yang terhubung ke akses internet. Kemudahan ini membuat transaksi dapat dilakukan dimana saja dan kapan saja.

Di era new normal, setelah masyarakat mulai bebas beraktivitas di luar rumah, tren pembayaran digital semakin meningkat. Dompet digital telah menjadi bagian dari gaya hidup yang melekat, khususnya di kalangan millennial dan gen Z yang merupakan kelompok digital native.

Bank Indonesia mencatat total nilai transaksi digital banking mencapai jumlah Rp39.841,4 triliun di 2021. Angka ini naik 45,46 persen dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan ini terjadi seiring dengan perkembangan keuangan digital dan perluasan sistem pembayaran digital  ditanah air.

Tren pembayaran digital membuat seluruh instansi perbankan berlomba-lomba meluncurkan aplikasi mobile banking yang komperhensif untuk memudahkan transaksi nasabah mereka. Perusahaan fintech pun mulai menjamur dalam beberapa tahun terakhir. Sebut saja OVO, Dana, Go-Pay yang menjadi primadona di kalangan anak muda. Begitu pula dengan perusahaan e-commerce seperti Shopee, Tokopedia, hingga Traveloka yang kini telah memfasilitasi pengguna dengan dompet digitalnya sendiri.

Jelas saja, kita tidak perlu lagi menyimpan uang tunai dalam jumlah besar untuk membayar segala kebutuhan karena dompet digital ini telah terintegrasi dengan berbagai merchant. Ingin berbelanja sembako di supermarket? Membeli segelas kopi di kafe? Membeli pulsa atau membayar tagihan internet bulanan? Semua bisa dilakukan dengan mudah melalui ponsel pintar.

Cyber crime mengancam transaksi pembayaran digital  

Cyber Security, Tantangan dalam Transformasi Pembayaran Digitalilustrasi kejahatan siber (pexels.com/Mikhail Nilov)

Keamanan menjadi isu utama di dalam digitalisasi keuangan. Seperti halnya uang tunai yang dapat hilang karena dicuri, uang elektronik juga sama beresiko.

Dibalik kemudahan yang diberikannya, pembayaran digital juga diikuti ancaman serius. Menggunakan pembayaran digital memungkinkan kita untuk menjadi korban cyber crime, yaitu tindakan ilegal di dunia maya dengan memanfaatkan teknologi dan jaringan internet.

Cyber attack atau serangan siber mengancam transaksi keuangan digital mulai dari level sistem hingga end user. Misalnya, kejahatan phising yang mencuri data penting seperti identitas diri dan kode PIN pada akun keuangan. Kejahatan skimming yang mencuri data dari kartu debit dan kartu kredit untuk menguras saldo.

Belakangan ini, penyedia keuangan digital mulai melengkapi sistem keamanan menggunakan OTP (One Time Password), yaitu kode rahasia yang dikirimkan melalui SMS atau e-mail. Namun sayangnya, sistem ini tetap berkemungkinan untuk diretas.

Badan Siber dan Sandi Negara melaporkan 12,8 juta serangan siber yang terjadi sepanjang 2018. Sementara penelitian Frost & Sullivan yang diprakarsai oeh Microsoft pada 2018 mencatat serangan siber menyebabkan kerugian sebesar Rp 478,8 triliun terhadap perekonomian Indonesia.

Jumlah serangan siber meningkat menjadi 98,2 juta pada 2019, lalu menurun menjadi 74,2 juta serangan pada 2020. Meski mengalami penurunan, kejahatan siber tetap menjadi tantangan besar bagi upaya digitalisasi keuangan di Indonesia. Sebab, semakin tinggi jumlah pengguna internet dan transaksi keuangan digital yang dilakukan, maka semakin tinggi dan beragam pula resiko cyber attack yang mengancam.

Tidak bisa dimungkiri, perangkat yang tersambung dengan koneksi internet beresiko membuat kita menjadi korban kejahatan dunia maya. Apalagi, jumlah akun digital payment jauh lebih banyak dari pada jumlah penggunanya sendiri. Ini terjadi karena setiap orang bisa menggunakan lebih dari satu jenis aplikasi keuangan digital di ponselnya.

Semakin canggih teknologi, maka bentuk serangan siber pun akan selalu mengalami perkembangan. Cyber secutiry atau sistem keamanan siber sangat dibutuhkan untuk melindungi keamanan dan kenyamanan masyarakat dalam bertransaksi digital. Cyber security yang handal berguna untuk menjaga data dan informasi pengguna dari pihak yang tidak bertanggung jawab.

Pemerintah dan pihak terkait kini tengah gencar mengupayakan perluasan jaringan telekomunikasi di wilayah 3T (Terluar, Tertinggal, dan Terdepan). Upaya ini juga hendaknya diiringi dengan memperkuat cyber security, karena masyarakat bukan hanya membutuhkan sistem transaksi yang mudah dan lancar, tetapi juga aman dan terlindungi.

Kolaborasi pemerintah dengan akademisi, lembaga kajian dan pihak lainnya sangat dibutuhkan. Mengingat, saat ini Information Technology (IT) menjadi salah satu bidang ilmu yang digemari oleh anak muda. Terlebih lagi millennial dan gen Z termasuk ke dalam digital native, yaitu kelompok yang lahir dan tumbuh dalam perkembangan dunia digital.

Talenta digital muda ini adalah aset berharga dan potensial yang kita miliki untuk menjaga kedaulatan siber Indonesia. Sudah saatnya pemerintah menggandeng anak muda yang kompeten di bidang IT untuk bersama-sama membangun sistem keamanan siber yang kuat di negeri ini.

Selain sistem siber yang kuat, pengguna layanan keuangan digital juga memiliki peran penting untuk mencegah kejahatan dunia maya. Tidak mengklik link sembarangan, merahasiakan identitas pribadi, PIN, password, kode OTP adalah beberapa hal yang dapat dilakukan untuk melindungi diri.

Cyber security menjadi isu prioritas di Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 

Cyber Security, Tantangan dalam Transformasi Pembayaran Digitalilustrasi keamanan siber (pexels.com/Pixabay)

November 2022 mendatang, Indonesia akan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang diselenggarakan di Bali.  Forum kerja sama multilateral ini terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa. Mengangkat tema "Recover Together, Recover Stronger", Presidensi G20 Indonesia ini akan membahas tiga isu, yaitu  arsitektur kesehatan global, transisi energi berkelanjutan, serta transformasi digital dan ekonomi.

Diskusi penting telah dimulai sejak 1 Desember 2021, salah satunya adalah Digital Economy Working Group (DEWG) yang termasuk ke dalam rangkaian  Presidensi G20 Indonesia 2022. Menurut Menkominfo Johnny G. Plate, Indonesia mengusulkan tiga isu prioritas di dalam DEWG, yaitu Connectivity and Post-Covid Recovery, Digital Literacy and Digital Talent, dan yang terakhir Cross Border Data Flow and Free Flow with Trust.

Tata kelola dan menajemen dalam mengatasi kejahatan siber menjadi substansi yang penting dibahas. Pemerintah menyadari keamanan siber adalah sebuah urgensi seiring perkembangan dunia digital. Melalui Presidensi G20 Indonesia ini, kita semua berharap dapat menciptakan ruang digital yang aman untuk melakukan transkasi keuangan. 

IDN Times mengajak kamu untuk berpartisipasi di dalam Presidensi G20 Indonesia dengan menyuarakan opinimu lewat tulisan. Yuk, sampaikan ide dan gagasanmu melalui program 1000 Aspirasi Indonesia Muda. 

Baca Juga: #G20 E-commerce, Solusi Menarik Pemulihan Ekonomi Milenial dan Gen Z 

Ratumas Ovvy Photo Verified Writer Ratumas Ovvy

Find me on Instagram @ratumasovvy

IDN Times Community adalah media yang menyediakan platform untuk menulis. Semua karya tulis yang dibuat adalah sepenuhnya tanggung jawab dari penulis.

Topik:

  • Dimas Bowo
  • Ernia Karina

Berita Terkini Lainnya