Mandela Effect, Memori Kolektif yang Menipu

- Mandela effect adalah fenomena ketika banyak orang percaya suatu peristiwa terjadi, padahal tidak.
- Efek ini bukan hanya tentang ingatan salah, tapi juga bagaimana otak menyusun ulang informasi berdasarkan asumsi dan pengaruh sosial.
- Para ilmuwan meyakini bahwa efek ini merupakan fenomena psikologis luas yang disebut false memory, di mana memori dalam otak dapat dibentuk oleh hal-hal yang tidak pernah terjadi.
Apa kamu pernah merasa yakin terhadap suatu informasi, tetapi ternyata hal tersebut berbeda dengan fakta yang terjadi sebenarnya? Mandela effect mengacu pada situasi ketika banyak orang percaya bahwa suatu peristiwa telah terjadi, namun nyatanya peristiwa itu tidak pernah terjadi. Contohnya ketika orang-orang salah dalam mengira buku anak-anak klasik berjudul “Beruang Berenstein” dan bukan judul yang sebenarnya, “Beruang Berenstain.” Ya, begitulah keanehan yang sering terjadi pada efek Mandela ini.
Mandela effect bukan hanya tentang ingatan yang salah, tapi tentang bagaimana otak kita menyusun ulang informasi berdasarkan asumsi, budaya populer, dan pengaruh sosial. Mungkin banyak yang mengaitkan efek ini dengan teori konspirasi, tetapi ilmuwan justru melihatnya sebagai bukti kompleksitas kognitif manusia. Lantas dari manakah mandela effect berasal? Mari kita telusuri definisi, pandangan psikologi, dan fenomena umum yang banyak terjadi di dunia.
1. Asal-usul nama mandela effect

Mandela effect pertama kali diperkenalkan oleh Fiona Broome pada tahun 2009. Ia mengaku terkejut saat mengetahui bahwa Nelson Mandela ternyata wafat pada tahun 2013. Sebelumnya ia dan orang-orang lain meyakini bahwa Mandela telah lama meninggal di penjara pada tahun 1980-an. Keanehan ini menjadi awal mulai sebuah diskusi besar dan meluas mengenai kesalahan ingatan yang terjadi secara massal. Sejak saat itu, istilah mandela effect menjadi sebutan untuk fenomena serupa yang dirasakan oleh banyak orang di seluruh dunia.
Para ilmuwan berpendapat bahwa kasus Broome bukan hanya sebuah anomali individual. Nyatanya efek ini terjadi bukan hanya pada Broome, tetapi ada gejala serupa yang terjadi kepada banyak orang. Oleh karena itu, para ilmuwan meyakini efek ini merupakan sebuah fenomena psikologis yang luas. Para psikolog juga menyebutnya sebagai false memory atau disebut kenangan palsu yang muncul akibat kesalahan persepsi dan asosiasi informasi. Penamaan atau label ini membantu masyarakat untuk memahami bahwa dalam sebuah memori kolektif ada kemungkinan besar dapat terjadi kesalahan.
2. Kasus mandela effect yang mengganggu memori kolektif

Salah satu contoh fenomena mandela effect yang terkenal adalah pada kasus logo Monopoli. Banyak orang meyakini bahwa si Monopoly Man menggunakan monokel atau kacamata satu sisi, padahal faktanya tidak demikian. Dalam kasus lain, sebuah nama merek Fruit of The Loom banyak diingat orang memiliki gambar keranjang buah di desain produk mereka. Namun, pada kenyataannya tidak ada gambar keranjang buah di produk tersebut. Ribuan orang juga sempat meyakini bahwa ada sebuah film berjudul Shazaam yang dibintangi oleh aktor bernama Sinbad, tetapi ternyata film tersebut sama sekali tidak pernah dibuat.
Fenomena serupa juga terjadi dalam pengucapan dialog dalam film Star Wars: Empire Strikes Back, “Luke, I am your father”. Padahal dialog sebenarnya adalah “No, I am your father”. Fenomena ketidaksesuaian persepsi dengan realitas ini juga menunjukkan bahwa memori dalam otak kita dapat dibentuk oleh hal-hal yang tidak pernah terjadi. Efek ini menciptakan rasa tidak nyaman karena manusia cenderung mempertanyakan kembali kebenaran yang sudah mereka anggap sebagai sebuah realitas. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya populer dalam membentuk realitas kolektif.
3. Pandangan psikologi tentang mandela effect

Menurut psikologi, mandela effect adalah bentuk dari konfabulasi, yaitu sebuah penanaman memori palsu untuk mengisi kekosongan memori yang sebenarnya. Dalam banyak kasus, otak kita menggunakan informasi yang paling umum atau familiar untuk menambal kekosongan tersebut. Hal ini diperparah dengan bias konfirmasi, yaitu kondisi ketika manusia cenderung untuk mencari, menafsirkan, dan mengingat informasi yang mendukung keyakinan atau nilai yang sudah ada sebelumnya, sambil mengabaikan informasi lain yang bertentangan. Kombinasi dari berbagai faktor ini dapat membuat satu kesalahan kecil yang bersifat individual menjadi sebuah kepercayaan massal.
Seorang ilmuwan bernama Elizabeth Loftus menemukan bahwa memori bisa direkayasa, bahkan oleh diri kita sendiri. Pengaruh media massa serta pengulangan informasi keliru yang dikonsumsi secara terus menerus turut memperkuat ilusi memori yang terjadi di otak kita. Kemungkinan besar mandela effect hanyalah dampak dari sistem memori manusia yang sangat rentan, fleksibel, dan mudah terdistraksi. Maka kita harus menyadari bahwa tidak semua yang kita bisa ingat adalah sebuah kebenaran.
4. Dunia paralel, imajinasi atau fenomena ilmiah

Meski secara ilmiah mandela effect bisa dijelaskan, ada sebagian orang yang percaya bahwa ini adalah bukti eksisnya sebuah dunia paralel. Mereka berpendapat bahwa loncatan dimensi atau realitas alternatif bisa menjelaskan memori kolektif yang menipu ini. Adanya realitas alternatif juga diperkuat dengan konsep multi semesta dalam teori fisika. Meski jika terus digaungkan gagasan liar ini begitu menarik, namun hingga hari ini nyatanya belum ada bukti empiris yang mendukung teori tersebut.
Para fisikawan seperti Max Tegmark dan Michio Kaku telah membahas kemungkinan adanya sebuah realitas alternatif, tetapi mereka tidak secara langsung mengaitkannya dengan mandela effect. Namun, teori ini terus hidup dan diperbincangkan di dalam ranah budaya populer dan komunitas penggemar konspirasi. Meski begitu, kita dapat meyakini bahwa mandela effect adalah sebuah kesalahan memori dan fungsi otak secara umum.