Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Mati Suri Bisa Dijelaskan Secara Ilmiah? Ini Faktanya!

ilustrasi meninggal (IDN Times/Mia Amalia)

Baru-baru ini, warga Tanah Air dikejutkan dengan fenomena mati suri. Lewat sebuah video yang beredar di dunia maya pada Senin (14/11) kemarin, seorang laki-laki dikabarkan "bangkit dari kematian" di Bogor.

Meski kerap dibantah kebenarannya, fenomena mati suri sering memicu rasa takjub sekaligus takut. Nyatanya, fenomena mati suri bukanlah kejutan di dunia medis dan sains karena 4–15 persen populasi dunia ternyata pernah mengalaminya. Apakah ada penjelasannya? Tentu saja!

Disebut Sindrom Lazarus, apa itu?

lukisan Yesus membangkitkan Lazarus dari kuburnya oleh Rembrandt (wikimedia.org)

Di dunia Barat, mati suri juga disebut sebagai Sindrom Lazarus. Benar, bagi pemeluk agama Nasrani, sindrom ini diberi nama sesuai dengan tokoh Alkitab, Lazarus, yang dibangkitkan Yesus setelah meninggal selama 4 hari. Tak jarang, mati suri juga disebut near-death experience (NDE).

Menurut Healthline, saat jantung berhenti berdetak, sirkulasi darah dan oksigen terhenti sehingga organ tubuh mengalami kegagalan dan kematian sudah pasti. Resusitasi jantung paru (CPR) dilakukan. Tak jarang, ada masalah di jantung yang membuat CPR tak berhasil sehingga sudah pasti meninggal dunia.

Meski begitu, di kasus Sindrom Lazarus, masalah tersebut hilang dengan sendirinya setelah CPR gagal. Jantung kembali berdetak untuk memompa darah dan oksigen, sehingga pasien kembali hidup.

Healthline menekankan bahwa kejadian Sindrom Lazarus amat langka. Menurut sebuah laporan yang dimuat dalam jurnal Hindawi pada 2015 oleh peneliti Denmark, dari 1982 hingga 2008, hanya tercatat 32 kasus Sindrom Lazarus.

Apa yang dirasakan saat mati suri?

Sering kali, pertanyaan yang ditanyakan saat pasien mati suri bangun adalah "Apa yang dirasakan?" Mengenai hal tersebut, sebuah studi di Belgia pada 2017 mengungkapkan apa yang dirasakan 154 orang yang pernah mengalami NDE.

Bertajuk "Temporality of Features in Near-Death Experience Narratives", para peneliti Belgia mencatat bahwa yang paling umum dirasakan saat mengalami mati suri adalah:

  • Merasa damai (80 persen)
  • Melihat cahaya terang (69 persen)
  • Melihat arwah mereka yang meninggal mendahului kita (64 persen)

Selain itu, para peneliti Belgia juga mencatat bahwa sebagian kecil partisipan mengalami "pikiran cepat" (5 persen), dan beberapa bahkan bisa mendapatkan penglihatan masa depan (4 persen).

Menceritakan kronologinya, para peneliti Belgia menemukan bahwa 35 persen partisipan yang mati suri mengalami pengalaman "keluar tubuh" saat mengalami mati suri. Lalu, menjelang bangun dari mati suri, sebanyak 36 persen mengaku mengalami pengalaman "kembali ke tubuh".

Tidak benar-benar mati?

Menurut cerita Alkitab, Lazarus wafat selama 4 hari sebelum bangkit. Namun, di Sindrom Lazarus, mati suri tak terjadi selama itu. Dalam sebuah studi gabungan di Eropa pada 2020, kebanyakan kasus pasien Sindrom Lazarus kembali hidup rata-rata 10 menit setelah tak merespons CPR.

Kejadian mati suri juga umumnya terjadi karena kesalahpahaman definisi "Kematian", yang disangka orang adalah saat jantung berhenti berdetak dan manusia tak bernapas lagi. Padahal, kematian berarti "semua organ tubuh berhenti bekerja". Jadi, meski jantung dan napas berhenti, jika otak dan bagian tubuh lain masih bekerja, berarti masih hidup.

Hal inilah yang dicari tahu oleh seorang pakar penyakit menular di AS, Mark Crislip, MD. Mark melakukan tes elektroensefalografi (EEG) terhadap para pasien mati suri. Hasilnya, mayoritas pasien mati suri memiliki EEG yang fluktuatif, atau tidak benar-benar meninggal dunia.

Meski begitu, Mark juga mencatat bahwa ada pasien mati suri yang menunjukkan hasil EEG datar atau tak ada kinerja otak lagi. Namun, hasil ini hanya terlihat selama 10 detik karena pasien kemudian sadar kembali.

ilustrasi pengalaman keluar tubuh (pixabay.com/KELLEPICS)

Lalu, apakah penjelasan di balik penglihatan yang dilihat oleh pasien mati suri, terutama di studi Belgia pada 2017? Hal ini juga menjadi bahan studi gabungan di Denmark, Jerman, dan Norwegia pada 2019, bertajuk "Prevalence of near-death experiences in people with and without REM sleep intrusion".

Melibatkan 1.034 partisipan dari 35 negara, para peneliti Eropa mengatakan bahwa sebanyak 10 persen partisipan pernah mengalami NDE. Sebanyak 289 partisipan mengalami NDE, angka ini menyusut jadi 106 partisipan yang memenuhi kriteria NDE.

Para peneliti Eropa menemukan hubungan NDE dengan gangguan rapid eye movement (REM) saat tidur. Ditandai dengan halusinasi visual dan auditori serta sleep paralysis (umumnya disebut "ketindihan"), sebanyak 47 persen partisipan NDE (50 dari 106 partisipan) ternyata mengalami gangguan REM tersebut.

Terlepas dari perdebatan mengenai konsep kematian dan mati suri, mengapa Sindrom Lazarus, NDE, atau mati suri bisa terjadi masih belum bisa diketahui. Namun, ada beberapa teori mengapa seseorang bisa mengalami mati suri. Apa saja?

1. Udara terperangkap dalam paru-paru

ilustrasi paru-paru (unsplash.com/averey)

Fenomena yang disebut dengan air trapping ini bisa menyebabkan mati suri, terutama di pasien penyakit paru obstruktif kronis (PPOK). Saat udara terdorong ke paru-paru waktu pasien menerima CPR, tak ada jeda untuk membuang napas sehingga udara terperangkap dalam paru-paru.

Saat udara terkumpul, tekanan di dada meningkat. Saking tingginya, darah jadi tak bisa menuju jantung, sementara jantung juga kesulitan memompa darah ke seluruh tubuh. Hal ini menghentikan sirkulasi, menyebabkan henti jantung, dan jantung kesulitan berdetak lagi saat dilakukan CPR.

Nah, saat CPR berhenti, udara yang terperangkap di paru-paru mulai berkurang, sehingga tekanan di dada ikut berkurang. Darah bisa mencapai jantung, sehingga jantung bisa berdetak dan sirkulasi berjalan kembali. Oleh karena itu, hal ini seolah-olah jantung bisa kembali berdetak sesudah CPR terkesan gagal.

Selain itu, saat air trapping, obat tak bekerja secara optimal. Karena aliran darah tak mencapai jantung, obat juga tak bisa beredar ke seluruh tubuh dengan optimal. Jika udara terlepas, maka sirkulasi darah bisa membawa obat sehingga baru terlihat kinerjanya. Inilah salah satu alasan CPR perlu dilakukan dengan benar!

2. Henti jantung

ilustrasi henti jantung atau cardiac arrest (pexels.com/RODNAE Productions)

Selain CPR, defibrilator digunakan untuk memicu jantung. Alat ini mengantarkan kejut listrik ke jantung agar berdetak kembali. Selain itu, defibrilator juga digunakan untuk memperbaiki ritme jantung abnormal atau aritmia.

Terkadang, Healthline mencatat bahwa efek kejut defibrilator terhadap jantung tidak langsung terlihat. Alhasil, detak jantung baru berdegup setelah beberapa menit dan sirkulasi dalam tubuh kembali seperti semula bak alamiah, padahal karena delay efek defibrilator.

3. Hipotermia

Hipotermia adalah kondisi saat suhu tubuh berada di bawah suhu normal (< 35 °C). Menurut Mayo Clinic, Tak jarang, pasien hipotermia menunjukkan gejala bak meninggal dunia, seperti penurunan detak jantung, dan denyut nadi serta pernapasan melemah. Jika terlalu lemah sampai tak terdeteksi, tak jarang pasien hipotermia dianggap meninggal.

Jika pasien mendapatkan pertolongan medis secepatnya untuk mengembalikan suhu tubuhnya, maka detak jantung, denyut nadi, sirkulasi tubuh, dan pernapasan pasien hipotermia bisa kembali seperti semula. Hal ini juga menyebabkan fenomena mati suri.

Jangan salah, hipotermia bisa berakibat fatal jika tak segera ditangani. EMedicineHealth memperingatkan hipotermia bisa membunuh seseorang dalam waktu kurang dari 1 jam. Selain itu, komplikasi frost bite dan gangren bisa menyebabkan disabilitas pada pasien hipotermia.

4. Hiperkalemia

Selain hipotermia, hiperkalemia juga menjadi salah satu teori umum. Hiperkalemia adalah kondisi saat kadar elektrolit kalium terlalu tinggi dalam tubuh (> 5,5 mmol/L). Dari alkohol, obat, penyakit Addison, diabetes, gangguan ginjal, hingga gagal jantung kongestif, kondisi-kondisi ini bisa menyebabkan hiperkalemia.

Melansir Cleveland Clinic, hiperkalemia bisa menunjukkan gejala-gejala diare, nyeri dada, palpitasi jantung hingga aritmia, sampai mual dan muntah. Jika tak ditangani, aritmia yang ditimbulkan hiperkalemia bisa menyebabkan serangan jantung yang mengganggu fungsi tubuh.

Komplikasi hiperkalemia dalam jangka pendek bisa membuat pasien terlihat seolah-olah meninggal dunia. Namun, jangan salah, hiperkalemia memang bisa merusak jantung serta berakibat fatal jika tak segera ditangani.

Bagaimana mencegah salah diagnosis mati suri?

ilustrasi resusitasi jantung paru/RJP atau CPR (cdc.gov)

Dalam dunia medis dan sains, mati suri, NDE, hingga Sindrom Lazarus bukanlah hal aneh. Oleh sebab itu, sebelum mengumumkan kematian, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk memastikannya, seperti:

  • Memantau keadaan pasien 10–15 menit setelah CPR.
  • Tetap memasang monitor jantung ke tubuh pasien selam 10–15 menit.
  • Jika ada dugaan air trapping terjadi, lepaskan sambungan ventilasi selama 10 detik.

Selain pernapasan dan denyut jantung, tenaga kesehatan perlu memastikan fungsi organ tubuh pasien sebelum mengumumkan kematian. Beberapa hal yang perlu dipastikan antara lain:

  • Tak terdengar denyut jantung secara audibel.
  • Tak terdeteksi denyut nadi.
  • Pupil tak berubah ukuran atau tak merespons cahaya.
  • Tak merespons rangsangan sakit.

Jika memang tidak ada perubahan atau tanda-tanda kehidupan dari pasien selepas CPR atau pertolongan pertama, sayangnya, pasien memang meninggal dunia. Namun, jika ada tanda-tanda kehidupan (meski sayup), segera tolong pasien agar bisa terselamatkan!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Achmad Fatkhur Rozi
Alfonsus Adi Putra
Achmad Fatkhur Rozi
EditorAchmad Fatkhur Rozi
Follow Us