Kerugian Korupsi Timah Belum Jelas, Ekonomi Babel Sudah Hancur Lebur

- Angka kerusakan lingkungan akibat korupsi tata niaga timah di Babel lebih besar dari perkiraan, menurut saksi ahli Elly Rebuin.
- Pendapatan PT Timah Tbk dari penjualan logam timah tahun 2015-2022 hanya Rp82,7 triliun, jauh dari klaim kerusakan lingkungan sebesar Rp271 triliun.
- Pertumbuhan ekonomi Babel turun drastis menjadi di bawah 1 persen pasca pengusutan kasus timah, dengan proyeksi pertumbuhan hanya 0,2 persen pada 2025.
Jakarta, IDN Times - Saksi ahli dalam kasus korupsi tata niaga timah, Elly Rebuin mengungkapkan angka kerusakan lingkungan sebagai imbas korupsi tersebut lebih dari yang diperkirakan. Hal itu diungkapkan Elly dalam lanjutan sidang korupsi tata niaga timah dengan terdakawa Helena Lim dan Mochtar Riza Pahlevi.
Keterangan Elly di persidangan itu juga sekaligus membantah klaim angka kerusakan lingkungan yang pernah disampaikan oleh Guru Besar Kehutanan IPB, Bambang Hero Saharjo. Menurut Elly, klaim tersebut tidak masuk akal sebab produksi logam timah PT Timah tahun 2015-2022 sebanyak 283.257 ton.
Harga rata-rata timah dari London Metal Exchange (LME) pada 2015-2022 berkisar di angka 21.763 dolar Amerika Serikat (AS). Adapun harga tertinggi terjadi pada 2021 sebesar 31.382 dolar AS, sedangkan terendah pada 2015 sebesar 16.083 dolar AS. Sementara itu, nilai tukar Rupiah dari tahun 2015-2022 berkisar Rp14.158 per dolar AS.
“Jika semua ditotalkan, maka pendapatan PT Timah Tbk dari penjualan logam timah sebanyak 283.257 ton dari tahun 2015-2022 hanya sebesar Rp82,7 triliun. Angka ini jauh dari kerusakan lingkungan dari perhitungan ahli sebesar Rp271 triliun,” tutur Elly dikutip Jumat (22/11/2024).
1. Hitungan biaya reklamasi

Sementara untuk menghitung biaya reklamasi, hitungannya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah, yakni jaminan reklamasi sebesar Rp90 juta per hektare, land rent sebesar 4 dolar AS per hektar per tahun, royalti sebesar 3 persen dari nilai penjualan ekspor.
Adapun untuk CSR sebesar 2 persen dari keuntungan, meskipun tidak mengikat. Oleh karena itu, Elly menilai bahwa hitungan yang dibuat Bambang Hero Saharjo sumir karena tidak jelas metodenya.
“Mencampurkan angka kerugian dan biaya reklamasi dan ketidaksesuaian objek tambang atau IUP yang dihitung,” kata Elly.
2. Ekonomi Bangka Belitung hancur lebur

Meski hitungan kerugian negara masih kabur, tetapi Elly menilai kondisi ekonomi provinsi Bangka Belitung sudah hancur lebur pasca pengusutan kasus timah tersebut.
“Timah adalah panglima ekonomi Babel dengan angka pertumbuhan 6,85 persen dari tahun 2001 hingga 2022. Babel adalah provinsi dengan pertumbuhan tertinggi di Sumatra. Kini pertumbuhan di bawah 1 persen, provinsi termiskin di Indonesia,” kata Elly.
Menurut BPS Bangka Belitung 2024, ekonomi Babel diproyeksikan hanya akan tumbuh 0,2 persen pada 2025. Selain itu, BPS Bangka Belitung juga melaporkan Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Babel mencapai 4,63 persen pada Agustus 2024.
Angka tersebut naik 0,07 persen poin dibandingkan dengan Agustus 2023. Persentase setengah pengangguran pada Agustus 2024 mengalami kenaikan sebesar 2,06 persen poin, sedangkan pekerja paruh waktu mengalami penurunan sebesar 0,24 persen poin dibandingkan Agustus 2023.
3. Ambruknya daya beli masyarakat

Sebelumnya diberitakan, perekonomian Babel tengah anjlok saat ini. Salah penyebabnya adalah kasus korupsi timah yang membuat Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita aset smelter dan berujung pada ketidakmampuan masyarakat menyerahkan hasil tambangnya.
Hal itu kemudian berimbas pada ambruknya daya beli mengingat masyarakat Babel tidak memiliki cukup uang untuk berbelanja. Di sisi lain, sektor ritel sebagai penanda daya beli juga turut anjlok dan itu kemudian jadi sorotan Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo).
"Di Bangka Belitung lagi turun karena di wilayah yang mengandalkan sumber daya alam, ketika industrinya lagi turun ya ikutan turun juga perekonomiannya," kata Ketua Umum Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (HIPPINDO), Budihardjo Iduansjah.
Pola sama pun terjadi di wilayah lain yang juga mengandalkan sumber daya alam (SDA) sebagai sumber mata pencaharian rakyatnya, seperti Kalimantan dan wilayah lainnya.
"Kayak Kalimantan saat batu bara bagus penjualan bagus, jadi daerah tertentu seperti Babel dengan timah, Kalimantan dengan batu bara dan Makassar kalau panen kopi, pala itu penjualan naik. Jadi itu memang mengikuti pendapatan hasil jualan bumi,” tutur Budihardjo.