Pengamat: Skema Co-Payment Asuransi Tak Rugikan Masyarakat

- Skema co-payment membantu meminimalkan penyalahgunaan fraud saat pengajuan klaim asuransi kesehatan.
- Perlu edukasi nasabah asuransi terkait skema ini sebagai premi tambahan yang hanya dibayarkan ketika terjadi klaim.
- Peningkatan jumlah klaim akan membebani perusahaan asuransi dan membuat premi asuransi kesehatan menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat.
Jakarta, IDN Times - Pengamat asuransi Irvan Rahardjo menilai penerapan skema co-payment dalam asuransi kesehatan tidak akan merugikan masyarakat. Sebaliknya, kebijakan ini dinilai dapat menekan premi asuransi yang selama ini cenderung tinggi akibat banyaknya klaim yang berlebihan.
“Tidak merugikan, sepanjang perusahaan asuransi menunjukkan komitmen dalam memberikan pelayanan klaim yang lebih baik, serta menurunkan premi sebagai kompensasi atas diberlakukannya tanggungan sendiri atau co-payment,” ujar Irvan dalam keterangannya, Rabu (11/6/2025).
1. Minimalkan penyalahgunaan fraud

Irvan menjelaskan, skema co-payment dapat membantu meminimalkan potensi penyalahgunaan atau fraud saat pengajuan klaim.
Menurutnya, risiko moral hazard dan fraud dapat muncul dari berbagai pihak, termasuk perusahaan asuransi, rumah sakit, dokter, hingga pasien.
“Ini akan mengurangi overutilization, yakni penggunaan diagnosis medis dan pengobatan yang berlebihan dengan dalih ‘mumpung ada asuransi’,” ujarnya.
Ia juga menilai skema co-payment tidak akan menurunkan minat masyarakat terhadap asuransi, meski di tengah tekanan inflasi biaya medis.
“Kenaikan inflasi medis jauh lebih tinggi dibandingkan nilai tanggungan sendiri. BPJS juga bukan alternatif migrasi yang ideal, mengingat akan diterapkannya sistem Kelas Rawat Inap Standar (KRIS),” tambah Irvan.
2. Perlu edukasi nasabah asuransi terkait skema ini

Skema co-payment berfungsi sebagai premi tambahan yang hanya dibayarkan ketika terjadi klaim.
Ia menekankan pentingnya edukasi kepada nasabah agar memahami bahwa skema ini merupakan bagian dari sistem pembagian risiko.
“Ini untuk menjaga sustainability layanan asuransi. Premi adalah biaya tetap (fixed cost), sedangkan co-payment bersifat biaya variabel (variable cost) yang hanya timbul saat ada klaim,” jelasnya.
3. Peningkatan klaim akan bebani perusahaan asuransi

Ketua Dewan Pengurus Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), Budi Tampubolon, menegaskan skema co-payment justru dapat membuat premi asuransi kesehatan menjadi lebih terjangkau bagi masyarakat.
“Skema ini diperlukan untuk menahan laju kenaikan premi. Tanpa co-payment, lonjakan biaya kesehatan akan terus mendorong naiknya premi, yang pada akhirnya menjadi beban tambahan bagi masyarakat,” ujarnya.
Menurut Budi, peningkatan jumlah klaim yang signifikan memang membebani perusahaan asuransi. Namun pada akhirnya, beban itu akan kembali ke masyarakat dalam bentuk premi yang lebih mahal.
“Kalau klaim naik, kami yang terbebani. Tapi pada akhirnya (at the end of the day), masyarakat juga akan terbebani karena premi harus ikut naik,” tegasnya.
4. Besaran skema co payment capai 10 persen.

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah meresmikan aturan baru terkait produk asuransi melalui Surat Edaran OJK (SEOJK) Nomor 7/SEOJK.05/2025. Aturan ini akan berlaku efektif mulai 1 Januari 2026.
Salah satu poin utama dalam regulasi tersebut adalah penerapan skema co-payment, yakni pembagian risiko biaya layanan kesehatan antara perusahaan asuransi dan nasabah. Melalui skema ini, pemegang polis, tertanggung, atau peserta diwajibkan menanggung sebagian biaya klaim, baik untuk rawat jalan maupun rawat inap.
Besaran co-payment yang ditetapkan sebesar 10 persen dari total klaim, dengan batas maksimal Rp300.000 untuk rawat jalan dan Rp3.000.000 untuk rawat inap.
Perlu dicatat, ketentuan ini tidak berlaku bagi skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola oleh BPJS Kesehatan. Aturan ini hanya diterapkan