Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

16 Tanda dan Gejala HIV pada Perempuan

ilustrasi gejala HIV pada perempuan (freepik.com/diana.grytsku)
ilustrasi gejala HIV pada perempuan (freepik.com/diana.grytsku)
Intinya sih...
  • Gejala HIV pada perempuan mirip flu, termasuk pembengkakan kelenjar getah bening dan sakit tenggorokan.
  • HIV dapat menyebabkan masalah menstruasi, seperti amenore dan oligomenore, serta kondisi lain seperti kandidiasis vagina.
  • Tahap infeksi kronis HIV dapat meningkatkan risiko penyakit terkait penuaan, kanker, osteoporosis, dan komplikasi serius lainnya pada perempuan.

Human immunodeficiency virus, atau HIV, menyerang sistem kekebalan tubuh yang melawan infeksi. Tanpa pengobatan, HIV dapat menyebabkan acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).

Gejala HIV sebagian besar sama untuk perempuan dan laki-laki. Akan tetapi, mungkin ada beberapa perbedaan antara jenis kelamin. Ada gejala khusus untuk perempuan dapat terjadi selama infeksi tahap awal ataupun tahap lanjut. Inilah beberapa gejala HIV pada perempuan yang paling umum.

Gejala fase akut

Tahap awal ini biasanya terlihat setelah 2 hingga 4 minggu tertular HIV dan merupakan titik saat seseorang paling menular. Tubuh merespons virus, biasanya menghasilkan gejala seperti flu, mengutip Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

Dalam beberapa kasus, gejalanya sangat ringan sehingga seseorang mungkin tidak menyadarinya. Akan tetapi, beberapa orang merasa butuh pemeriksaan dokter. Inilah beberapa gejala yang bisa umum terjadi selama fase akut.

1. Pembengkakan kelenjar getah bening

ilustrasi masalah pada kelenjar getah bening (riversideonline.com)
ilustrasi masalah pada kelenjar getah bening (riversideonline.com)

Pembengkakan kelenjar getah bening sering kali merupakan salah satu tanda pertama HIV dan dapat berlangsung selama beberapa bulan.

Kelenjar getah bening terletak di seluruh tubuh, termasuk leher, belakang kepala, ketiak, dan selangkangan.

Membentuk bagian dari sistem kekebalan, mereka menangkis infeksi dengan menyimpan sel-sel kekebalan dan menyaring patogen. Saat HIV mulai menyebar di dalam tubuh, sistem kekebalan mulai bekerja. Hasilnya adalah pembesaran kelenjar getah bening.

2. Sakit tenggorokan

Sakit tenggorokan bisa menjadi gejala awal infeksi HIV. Orang yang positif HIV untuk sementara waktu juga dapat mengalami sakit tenggorokan karena infeksi sekunder, seperti seriawan atau cytomegalovirus. Keduanya umum pada orang dengan HIV.

Gejala seperti ini sering kali hanya dapat dikenali dalam konteksnya. Jika kamu terlibat dalam perilaku berisiko tinggi, atau kamu menderita sakit tenggorokan kronis yang tampaknya terus berlangsung, melakukan tes HIV adalah langkah yang bijak.

3. Seriawan

ilustrasi sariawan (flickr.com/ryoki)
ilustrasi sariawan (flickr.com/ryoki)

Seriawan dapat terjadi selama tahap awal dan bahkan mungkin merupakan tanda pertama dari infeksi. Namun, itu juga mungkin terjadi ketika HIV telah berkembang ke tahap selanjutnya.

Ulkus di mulut dapat muncul sebagai plak berwarna krem di lidah, langit-langit mulut, atau bibir yang sering terkelupas, meninggalkan permukaan merah di bawahnya.

Beberapa orang mungkin mengembangkan ulkus berwarna merah di bagian dalam pipi dan bibir yang bisa menyakitkan.

4. Ruam kulit

Ruam kulit dapat terjadi pada awal maupun akhir perjalanan infeksi HIV, dan bahkan dapat menjadi tanda AIDS. Ruam mungkin disebabkan oleh bakteri atau virus, atau disebabkan oleh pertumbuhan berlebih dari ragi yang secara alami hidup di kulit.

Karakteristik ruam bisa tampak seperti bisul, dengan beberapa area merah muda yang gatal di lengan. Selain itu, ruam juga bisa muncul di mana saja di tubuh. Apabila ruam tidak jelas penyebabnya atau tidak mudah diobati, pertimbangkanlah untuk melakukan tes HIV.

5. Berkeringat pada malam hari

ilustrasi tidur (pexels.com/cottonbro)
ilustrasi tidur (pexels.com/cottonbro)

Beberapa orang mungkin mengalami keringat pada malam hari dalam bulan pertama tertular HIV. Ini terjadi ketika tubuh mencoba untuk melawan infeksi selama tidur.

Gejala lain yang umum menyertai antara lain demam, walaupun demam juga bisa muncul dengan sendirinya. Suhu tubuh 38 derajat Celcius dianggap sebagai demam.

6. Nyeri otot

Salah satu gejala yang paling menyulitkan bagi banyak orang dengan HIV adalah otot-otot mulai terasa sakit dalam beberapa minggu setelah infeksi. Ini sering merupakan akibat dari gejala yang mirip flu.

7. Gejala mirip flu lainnya

ilustrasi flu (freepik.com/diana.grytsku)
ilustrasi flu (freepik.com/diana.grytsku)

Beberapa orang mungkin bisa mengalami gejala yang mirip flu, termasuk:

  • Sakit kepala.
  • Merasa lesu atau kurang energi.
  • Menggigil.

Gejala-gejala tersebut biasanya hilang dalam beberapa minggu.

Gejala fase infeksi kronis

Pada akhir tahap infeksi akut, sistem kekebalan mengendalikan HIV dan virus akan menetapkan sistem kontrol yang mana aktivitas virus (yang diukur dengan viral load) akan tetap stabil selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun.

Tahap infeksi kronis ini, yang disebut sebagai latensi klinis, adalah tahap saat infeksi dapat berkembang secara diam-diam dengan beberapa gejala penting. Meski begitu, virus akan terus menginfeksi dan menguras sel T CD4 yang diandalkan tubuh untuk melawan penyakit.

Seiring waktu, hilangnya sel T CD4 akan menyebabkan imunosupresi dan peningkatan risiko infeksi oportunistik. Dianggap oportunistik karena sistem kekebalan yang utuh akan mengendalikan mereka. Karena jumlah sel T CD4 makin menurun (sebagaimana diukur dengan jumlah CD4), risiko, tingkat keparahan, dan kisaran infeksi oportunistik akan meningkat.

8. Perubahan menstruasi

ilustrasi kram perut (pexels.com/Sora Shimazaki)
ilustrasi kram perut (pexels.com/Sora Shimazaki)

Perempuan dengan HIV mengalami lebih banyak masalah menstruasi, termasuk amenore (tidak ada menstruasi) dan dan oligomenore (menstruasi yang jarang), dibanding perempuan yang HIV negatif.

Risiko meningkat dengan penurunan jumlah CD4. Indeks massa tubuh yang rendah (umum pada perempuan dengan HIV tahap lanjut) dan infeksi HIV yang tidak diobati dianggap sebagai faktor risiko utama.

9. Infeksi jamur vagina yang berulang

Kondisi yang dikenal sebagai kandidiasis vagina ini terjadi akibat pertumbuhan berlebihan jenis jamur yang disebut Candida. Tingkat frekuensi dan keparahan dari infeksi jamur meningkat dengan penurunan jumlah CD4.

10. Ulkus vagina

ilustrasi HIV (kuning) menginfeksi sel-sel tubuh manusia (unsplash.com/National Cancer Institute)
ilustrasi HIV (kuning) menginfeksi sel-sel tubuh manusia (unsplash.com/National Cancer Institute)

Virus herpes simpleks tipe 2 (HSV-2) dikaitkan dengan herpes genital. Pada orang dengan HIV, risiko kemunculan luka herpes meningkat pada jumlah CD4 di bawah 500.

Herpes vagina sering kali merupakan manifestasi pertama HIV pada perempuan (antara 52 dan 72 persen ODHA dianggap koinfeksi dengan HSV-2), berdasarkan studi dalam International Journal of STD & AIDS tahun 2011.

11. Nyeri panggul kronis

Menurut studi, dengan cara yang sama seperti penyakit menular seksual dapat memfasilitasi penularan HIV, peradangan terus-menerus yang dipicu oleh HIV dapat meningkatkan kerentanan perempuan terhadap penyakit menular seksual bakteri, seperti klamidia dan gonore. Hal ini menyebabkan tingkat penyakit radang panggul yang lebih tinggi di antara perempuan dengan HIV.

Nyeri panggul kronis, menstruasi tidak teratur, dan nyeri saat berhubungan seks adalah ciri umum penyakit radang panggul.

12. Gangguan kesuburan

ilustrasi infertilitas (pexels.com/Gustavo Fring)
ilustrasi infertilitas (pexels.com/Gustavo Fring)

Penyakit radang panggul dapat menyebabkan komplikasi serius pada beberapa perempuan, termasuk infertilitas dan kehamilan ektopik.

Karena HIV menekan respons imun, radang panggul dapat bertahan bahkan ketika pengobatan diresepkan. Dengan demikian, perempuan dengan HIV lebih mungkin mengalami komplikasi penyakit radang panggul daripada perempuan tanpa penyakit ini, termasuk abses tubo-ovarium, menurut laporan kasus tahun 2016.

13. Menopause dini

Menopause dini didefinisikan sebagai permulaan menopause sebelum usia 40 tahun. Ini bisa dialami perempuan dengan HIV yang merokok, memiliki jumlah CD4 yang rendah, dan memiliki aktivitas fisik yang rendah. Tanpa faktor-faktor ini, perempuan dengan HIV cenderung mengalami menopause sekitar usia 50 tahun.

14. Masalah tulang

ilustrasi osteoporosis (uhhospitals.org)
ilustrasi osteoporosis (uhhospitals.org)

Sakit punggung, postur tubuh bungkuk, kehilangan tinggi badan, dan tulang rapuh adalah tanda umum osteoporosis. Osteoporosis dapat menyerang siapa saja, tetapi paling sering terjadi pada perempuan pascamenopause.

Risiko osteoporosis di antara perempuan dengan HIV empat kali lebih besar daripada perempuan tanpa HIV.

Selain infeksi HIV, koinfeksi hepatitis C dan obat HIV tertentu terkait dengan peningkatan kehilangan mineral tulang, menurut penelitian tahun 2016.

15. Gejala fase AIDS

Tahap ketiga dari infeksi HIV adalah AIDS, yang ditandai dengan gejala penyakit. Ini adalah fase saat pertahanan kekebalan telah dimusnahkan, membuat seseorang dalam keadaan ketika kemampuan untuk melawan infeksi menurun (immunocompromised).

Tanpa kemampuan untuk mempertahankan diri dari penyakit umum dan tidak umum, AIDS memiliki risiko tinggi penyakit parah dan berpotensi mengancam jiwa. Ini termasuk infeksi dan jenis kanker tertentu juga.

Seseorang dikatakan telah berkembang menjadi AIDS ketika:

  • Jumlah CD4 di bawah 200 sel/mm3.
  • Seseorang mendapatkan salah satu dari 28 kondisi terdefinisi AIDS terlepas dari jumlah CD4.
  • Kondisi terdefinisi AIDS termasuk penyakit yang jarang terlihat di antara orang yang memiliki sistem kekebalan tubuh yang sehat. Mereka juga melibatkan infeksi oportunistik umum yang telah menyebar dari tempat infeksi khas mereka ke bagian lain dari tubuh.

Gejala AIDS sedikit berbeda antara perempuan dan laki-laki. Ada beberapa variasi, termasuk bukti bahwa perempuan dengan HIV mengalami penurunan kognitif yang lebih besar dan mungkin lebih mungkin mengalami tanda-tanda ensefalopati HIV (kompleks demensia AIDS) daripada laki-laki.

Satu-satunya kondisi terdefinisi AIDS yang eksklusif untuk perempuan adalah kanker serviks invasif. Ini adalah stadium lanjut dari kanker serviks saat sel-sel tumor telah menyebar ke jaringan yang lebih dalam di dalam leher rahim atau ke bagian lain dari tubuh. Meskipun kanker serviks invasif dapat memengaruhi perempuan HIV positif dan HIV negatif, insiden di antara perempuan dengan HIV hingga tujuh kali lebih besar.

Seperti kondisi terkait HIV lainnya, risiko kanker serviks invasif meningkat dengan penurunan jumlah CD4. Perempuan dengan jumlah CD4 di bawah 200 enam kali lebih mungkin terkena ICC daripada mereka yang jumlah CD4-nya di atas 500,22.

Lebih mengkhawatirkan lagi adalah fakta bahwa kejadian kanker serviks invasif di antara perempuan dengan HIV sebagian besar tetap tidak berubah sejak tahun 1990-an. Ini tidak seperti kondisi terdefinisi AIDS lainnya yang jarang terlihat saat ini karena munculnya terapi antiretroviral kombinasi.

16. Kondisi yang tidak terkait HIV

ilustrasi serangan jantung pada perempuan (henryfordlivewell.com)
ilustrasi serangan jantung pada perempuan (henryfordlivewell.com)

Selain kondisi terkait HIV, ada sejumlah penyakit tidak terkait HIV yang biasa terlihat pada orang dengan infeksi jangka panjang. Ini termasuk kanker dan penyakit terkait penuaan yang berkembang rata-rata 10 sampai 15 tahun lebih awal pada orang dengan HIV dibandingkan mereka yang tidak.

Karena beban peradangan kronis, jaringan tubuh dapat mengalami perubahan yang benar-benar menua, yang mengarah ke fenomena yang dikenal sebagai penuaan dini. Terutama jika tidak diobati, HIV dapat meningkatkan risiko kanker dan penyakit kardiovaskular yang tidak terkait HIV, termasuk serangan jantung dan stroke.

Dalam beberapa kasus, perempuan terpengaruh secara tidak proporsional. Studi menunjukkan, misalnya, bahwa perempuan dengan HIV memiliki risiko penyakit jantung yang lebih tinggi daripada laki-laki karena aktivasi sel darah putih yang disebut monosit yang meningkatkan peradangan kardiovaskular, menurut studi tahun 2018.

Demikian pula perempuan dengan HIV yang melakukan seks anal berada pada peningkatan risiko kanker dubur (karena koinfeksi HPV). Perempuan dengan HIV 30 kali lebih mungkin terkena dibandingkan perempuan pada populasi umum.

Kanker tidak terdefinisi AIDS adalah penyebab utama kematian pada orang dengan HIV di negara maju.

Walaupun gejala tertentu mungkin bukan tanda infeksi HIV, tetapi tidak adanya gejala ini tidak berarti aman dari infeksi.

Dilansir HIV.gov, sekitar 85 persen orang dengan HIV secara global mengetahui status HIV mereka pada tahun 2021. Sisanya, yaitu sekitar 15 persen (sekitar 5,9 juta orang), tidak tahu dirinya mengidap HIV dan masih membutuhkan akses ke layanan tes HIV. Banyak orang yang tidak terdiagnosis tidak tahu dirinya terinfeksi maupun mengabaikan kecurigaan mereka.

Jika didiagnosis dan diobati sejak dini, orang dengan HIV dapat berumur panjang, hidup sehat, dan mengurangi risiko penyakit terkait HIV dan penyakit tidak terkait HIV yang serius hingga 72 persen, menurut studi tahun 2015.

Para ahli merekomendasikan setidaknya satu tes HIV untuk usia 15 hingga 56 tahun sebagai bagian dari pemeriksaan medis rutin. Apabila kamu memiliki faktor risiko HIV dna belum pernah dites, mungkin sekarang adalah waktu yang tepat untuk mendapatkannya.

Referensi

"Human Immunodeficiency Virus / HIV - CDC Yellow Book 2024". CDC. Diakses November 2024.
"HIV and People Assigned Female At Birth: Common Symptoms". Healthline. Diakses November 2024.
"Signs and Symptoms of HIV in Women". Health. Diakses November 2024.
"Signs and Symptoms of HIV in Women". Verywell Health. Diakses November 2024.
Yalamanchi, Swaytha, Adrian Dobs, and Ruth M. Greenblatt. “Gonadal Function and Reproductive Health in Women with Human Immunodeficiency Virus Infection.” Endocrinology and Metabolism Clinics of North America 43, no. 3 (August 26, 2014): 731–41. 
Apalata, Teke, William H. Carr, et al. “Determinants of Symptomatic Vulvovaginal Candidiasis among Human Immunodeficiency Virus Type 1 Infected Women in Rural KwaZulu-Natal, South Africa.” Infectious Diseases in Obstetrics and Gynecology 2014 (January 1, 2014): 1–10.
Lagnese, M, E S Daar, P Christenson, and G Rieg. “Herpes simplex virus type 2 seroprevalence and incidence in acute and chronic HIV-1 infection.” International Journal of STD & AIDS 22, no. 8 (July 9, 2011): 463–64.
Jarvis, Gary A., and Theresa L. Chang. “Modulation of HIV Transmission by Neisseria gonorrhoeae: Molecular and Immunological Aspects.” Current HIV Research 10, no. 3 (May 1, 2012): 211–17.
Savasi, Valeria, Patrizio Antonazzo, and Carlo Personeni. “Heterotopic pregnancy in HIV women.” SAGE Open Medical Case Reports 4 (January 1, 2016): 2050313X1667953.
Finnerty, Fionnuala et al. "Osteoporosis in postmenopausal women living with HIV." Maturitas, Volume 95, 50 - 54.
"About HIV". CDC. Diakses November 2024.
Scully, Eileen P. “Sex Differences in HIV Infection.” Current HIV/AIDS Reports 15, no. 2 (March 5, 2018): 136–46.
Wang, Chia-Ching J, Joseph Sparano, and Joel M Palefsky. “Human Immunodeficiency Virus/AIDS, Human Papillomavirus, and Anal Cancer.” Surgical Oncology Clinics of North America 26, no. 1 (November 24, 2016): 17–31.
Hleyhel, M, A Belot, A Bouvier, P Tattevin, et al. “Risk of AIDS‐defining cancers in HIV‐1‐infected patients (1992–2009): results from FHDH‐ANRS CO4.” Journal of the International AIDS Society 15, no. S4 (November 1, 2012): 1–2.
“Initiation of Antiretroviral Therapy in Early Asymptomatic HIV Infection.” New England Journal of Medicine 373, no. 9 (July 20, 2015): 795–807.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
novita ayu
Mayang Ulfah Narimanda
3+
novita ayu
Editornovita ayu
Follow Us