25 Tahun Reformasi, Amnesty Soroti Kasus Haris Azhar Vs Luhut Binsar

Jakarta, IDN Times - Memperingati 25 tahun Reformasi, Amnesty International Indonesia menyoroti banyaknya kasus represi negara terhadap kebebasan berekspresi. Salah satunya, kasus dugaan pencemaran nama baik Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam kasus itu, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti menjadi terdakwa. Mereka dijerat Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) karena unggahan video yang mendiskusikan dugaan keterlibatan pejabat militer dalam bisnis tambang di Papua.
“Peringatan 25 tahun Reformasi pada tahun ini diwarnai oleh maraknya represi negara terhadap kebebasan berekspresi yang berakibat lebih jauh pada kemunduran kebebasan sipil di Indonesia,” kata Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid dalam keterangan tertulisnya, Minggu (21/5/2023).
1. Amnesty Internasional Indonesia catat kasus-kasus represi negara

Kasus kriminalisasi juga menimpa Budi Pego, seorang aktivis lingkungan yang keberatan atas rencana penambangan emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, Jawa Timur.
Di Semarang, Jawa Tengah, polisi menangkap lima aktivis mahasiswa yang berunjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja di depan Kompleks Kantor Gubernur dan DPRD Jawa Tengah, pada April.
Aparat keamanan juga membubarkan aksi damai mahasiswa secara paksa menggunakan tameng, tongkat, dan senjata, di Bandung, Jawa Barat, Desember 2022. Setidaknya, 31 peserta protes diduga dipukul dan ditangkap.
Pola represi lainnya juga dialami sejumlah warga dan aktivis di Kampung Cumbi, Desa Warloka, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur (NTT). Peristiwa itu terjadi saat warga hendak menggelar aksi unjuk rasa menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, pada awal Mei.
Mereka menerima panggilan Polres Manggarai Barat dengan tuduhan pidana penghasutan. Padahal, kata Usman, mereka hanya memprotes pemerintah untuk membayar ganti rugi atas rumah dan kebun yang digusur untuk proyek jalan Golo Mori-Labuan Bajo.
Pada bulan yang sama, aksi pengusiran dan penghalangan kerja jurnalistik dialami belasan jurnalis di Kota Padang, Sumatra Barat. Jurnalis itu diusir petugas Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) saat pelantikan Wakil Wali Kota Padang.
Pada 1 April 2023, sekelompok mahasiswa Papua di Bali yang tergabung dalam Aliansi Mahasiswa Papua diadang organisasi kemasyarakatan (ormas) saat demonstrasi menggugat pelanggaran HAM di Papua. Pengadangan itu berujung kericuhan dan mengakibatkan belasan orang terluka.
Menurut Usman, peristiwa itu menambah insiden kekerasan ormas dan pembiaran aparat terkait aksi damai mahasiswa Papua dan aktivis di Bali.
Ini adalah pola yang berulang sejak November 2022, di mana tujuh mahasiswa ditangkap Satpol PP Provinsi Bali di Denpasar dengan tuduhan mengganggu ketertiban umum setelah membentangkan spanduk yang mengritik KTT G20.
“Era Reformasi membawa harapan baru akan keterbukaan, kebebasan, dan keadilan. Namun, harapan itu padam jika aparat negara terus merepresi protes dan kritik terhadap pemerintah dengan menggunakan dalil-dalil pembangunan, keamanan dan ketertiban politik demi investasi, sebuah pola kebijakan di era Orde Baru yang seharusnya ditinggalkan sejak 25 tahun lalu,” kata Usman.
2. Terdapat 126 kasus penyerangan terhadap pembela HAM selama 2023

Berdasarkan data pemantauan Amnesty Internasional Indonesia, sebanyak 127 pembela HAM mengalami serangan sepanjang Januari-Mei 2023. Serangan ini termasuk kriminalisasi oleh polisi, penangkapan hingga percobaan pembunuhan, intimidasi dan serangan fisik yang menimpa jurnalis, mahasiswa, pegiat hak masyarakat adat, dan aktivis yang kritis.
Dalam laporan Amnesty yang berjudul ‘Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia’, Amnesty mencatat sedikitnya 328 kasus dugaan serangan fisik dan digital selama Januari 2019 hingga Mei 2022. Dari jumlah kasus itu, tercatat 834 korban.
Serangan tersebut mayoritas dilakukan aktor negara yang didominasi polisi, penegak hukum yang seharusnya melayani, mengayomi, dan melindungi masyarakat.
Usman menegaskan, masyarakat berhak mempertanyakan komitmen negara, khususnya pemerintah, atas janji dan kewajiban melaksanakan agenda reformasi.
“Apa betul negara masih berpegang teguh pada cita-cita reformasi? Apa negara telah serius mereformasi undang-undang, kebijakan, dan kelembagaan sektor keamanan yang lebih menghormati hak asasi?" kata Usman.
Usman menyebut, hal itu patut ditanyakan kepada para korban yang masih menuntut dan sejumlah pihak yang bersuara kritis.
"Jangan-jangan negara sengaja lupa demi ambisi pembangunan ekonomi dan stabilitas politik keamanan,” kata Usman.
“Seharusnya 25 tahun reformasi menjadi pengingat bagi negara untuk segera meninggalkan pola kebijakan yang represif terhadap kebebasan berekspresi sekaligus menjamin kebebasan sipil, yang merupakan cita-cita reformasi. Bila hal itu masih diabaikan, kami sangat khawatir Indonesia akan mundur ke era otoriter,” imbuhnya.
3. Agenda-agenda reformasi yang terabaikan

Represi kebebasan berpendapat dan berekspresi menunjukkan tantangan lain terkait agenda reformasi. Dalam laporan ‘Meredam Suara, Membungkam Kritik: Tergerusnya Kebebasan Sipil di Indonesia’, periode Januari 2019 hingga Mei 2022, setidaknya 31 polisi dan anggota militer diduga terlibat kasus dugaan penyerangan terhadap jurnalis dan media.
Pada periode yang sama, setidaknya 204 polisi, termasuk polisi virtual, mendominasi jumlah terduga pelaku dalam kriminalisasi menggunakan UU ITE.
Akuntabilitas aparat keamanan negara juga patut disoroti. Dari 14 kasus pembunuhan di Tanah Papua, lima di antaranya diduga melibatkan anggota Polri/TNI. Per akhir 2022, belum ada satu kasus yang melibatkan penegak hukum ini diproses di pengadilan umum.
Sementara dari 30 kasus pembunuhan di luar Tanah Papua yang tercatat sepanjang 2022, sebanyak 27 kasus melibatkan anggota kepolisian. Hingga akhir 2022, baru empat dari 27 kasus itu yang diproses hukum.
“Kita semua menunggu keseriusan negara untuk urusan akuntabilitas aparat keamanan. Jangan terus melanggengkan impunitas atas kejahatan serius yang dilakukan aparat negara atas nama apa pun. Itu akan merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat yang demokratis,” tutur Usman.
Agenda lain yang masih terabaikan adalah penyelesaian pelanggaran-pelanggaran HAM berat masa lalu, termasuk tragedi Mei 98 yang mencakup kerusuhan, penjarahan dan kekerasan seksual atas perempuan Tionghoa. Usman menilai, upaya Presiden Joko "Jokowi" Widodo mengeluarkan pengakuan negara terhadap kasus pelanggaran HAM itu pada awal 2023 belum cukup.
“Pengakuan negara Januari lalu dan upaya penyelesaian non-yudisial atas 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu seharusnya tidak melupakan penegakan hukum dan keadilan, termasuk suara korban yang menuntut penghukuman pelaku, penghormatan martabat mereka sebagai manusia, dan mendesak adanya klarifikasi sejarah yang lebih jujur. Ini agar ke depan terbangun moralitas kolektif yang menghormati hak asasi manusia,” sebut Usman.
Usman menambahkan, negara seharusnya mengungkap kebenaran dan menghukum pelaku jika memang berkomitmen menuntaskan kasus pelanggaran HAM seperti janji Presiden Jokowi. Selain itu, negara harus meluruskan sejarah terkait sejumlah kasus itu.
"Ini juga termasuk mencegah pengerasan pendekatan keamanan melalui undang-undang seperti revisi KUHP baru-baru ini,” imbuh Usman.