5 Fakta Pertalite Dioplos Jadi Pertamax, Kerugian Capai Rp193,7 T

- Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), ditetapkan sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero).
- Enam orang lainnya juga ditetapkan sebagai tersangka, termasuk SDS, AP, dan YF yang terlibat dalam pemufakatan untuk mengatur harga impor minyak mentah dengan tujuan memperoleh keuntungan secara ilegal.
- Kerugian negara mencapai sekitar Rp193,7 triliun akibat mark-up biaya pengiriman oleh tersangka YF dalam kasus tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Subholding.
Jakarta, IDN Times - Masyarakat Indonesia digegerkan dengan dugaan tindak pidana korupsi dalam Tata Kelola Minyak Mentah dan Produk Kilang PT Pertamina (Persero), Sub Holding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS), pada periode 2018 sampai 2023. Dalam kasus ini, Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan (RS), ditetapkan sebagai tersangka.
PT Pertamina dalam kasus ini seharusnya mengutamakan pemenuhan minyak mentah dalam negeri, sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018. Tetapi, dari penyidikan, para tersangka sengaja mengurangi produksi kilang dan menolak minyak mentah dari KKKS dengan alasan kualitas dan harga yang tidak sesuai, padahal produk tersebut masih layak diolah.
Dengan begitu, kebutuhan dalam negeri dipenuhi melalui impor yang harganya lebih tinggi dibandingkan dengan minyak mentah domestik. Berikut fakta-fakta korupsi Pertamina oplos Pertalite jadi Pertamax yang menggegerkan publik ini.
1. Modusnya, label RON 92 padahal 90

Direktur Penyidikan Jaksa Tindak Pidana Khusus alias Jampidsus Kejagung Abdul Qohar mengatakan, RS melakukan pembelian untuk bahan bakar dengan kadar RON (Research Octane Number) 92 atau yang dikenal sebagai Pertamax. Namun ternyata yang dibeli sebenarnya adalah bahan bakar dengan RON 90 atau Pertalite.
"Tersangka RS melakukan pembelian atau pembayaran untuk RON 92 padahal sebenarnya hanya yang dibeli adalah RON 90 atau lebih rendah," ujar dia, Selasa (25/2/2025).
2. Tersangka berjumlah tujuh orang

Selain RS, masih ada enam orang lainnya yang ditetapkan tim Penyidik sebagai tersangka dalam dugaan tindak pidana korupsi tersebut.
Mereka adalah SDS (Direktur Feedstock and Product Optimization PT Kilang Pertamina Internasional), YF (Direktur Utama PT Pertamina International Shipping) AP (VP Feedstock Management PT Kilang Pertamina Internasional) MKAR (Beneficial Owner PT Navigator Khatulistiwa) DW (Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim) serta GRJ (Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak).
3. Dimanipulasi sebelum tender

Dalam pengadaan impor minyak mentah oleh PT Kilang Pertamina Internasional dan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, ditemukan adanya pemufakatan antara pejabat negara tersangka SDS, AP, RS, dan YF, dengan pihak broker tersangka MK, DW, serta GRJ sebelum tender. Mereka sepakat untuk mengatur harga, dengan tujuan memperoleh keuntungan secara ilegal dan merugikan negara.
Pemufakatan ini tercermin dalam pengaturan proses pengadaan yang seolah-olah sesuai aturan, tetapi sebenarnya menguntungkan broker tertentu dengan harga tinggi (spot) yang tidak memenuhi syarat.
4. Kerugian diperkirakan mencapai Rp193,7 T

Tersangka RS, SDS, dan AP, memanipulasi agar broker tertentu menang. Sementara, DM dan GRJ berkomunikasi dengan AP untuk memperoleh harga tinggi meskipun syarat belum terpenuhi, disetujui SDS.
Tersangka YF juga terlibat dalam mark-up biaya pengiriman, yang menyebabkan kerugian negara mencapai sekitar Rp193,7 triliun.
5. Barang bukti berupa uang ratusan juta rupiah

Kejagung juga sudah menemukan sejumlah barang bukti dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKS) 2018-2023, yang salah satunya berbentuk uang.
"Semalam juga penyidik menemukan uang 20 lembar mata uang pecahan 1.000 dolar Singapura. Kemudian, ada 200 lembar mata uang pecahan 100 dolar Amerika, dan 4.000 lembar mata uang pecahan Rp100.000 dengan total Rp400 juta," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar, saat konferensi pers di Gedung Kartika kawasan Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (25/2/2025).