Ada FIR Jakarta, TNI AU Tak Perlu Izin Singapura untuk Landing di Riau

Jakarta, IDN Times - TNI Angkatan Udara mengatakan kesepakatan mengenai kendali pelayanan ruang udara/flight information region (FIR) yang ditandatangani antara Singapura dan Indonesia pada 25 Januari 2022 lalu di Bintan, Riau justru dianggap perjanjian yang baik. Kepala Staf TNI AU, Marsekal Fadjar Prasetyo mengatakan kesepakatan tersebut untuk kepentingan keamanan, pertahanan dan penerbangan Indonesia.
Dikutip dari kantor berita ANTARA, Sabtu, 29 Januari 2022 lalu, menurut Fadjar salah satu manfaat yang bakal bisa diperoleh dari perjanjian tersebut yakni TNI AU tak perlu meminta izin Singapura apabila melintas atau landing di wilayah Kepulauan Riau dan sekitarnya.
"Tidak (tak perlu izin ke Singapura), sekarang dikontrol oleh Jakarta," ungkap Fadjar yang dulu merupakan Pangkogabwilhan II itu.
Ia menambahkan nantinya, TNI AU melalui Komando Operasi Udara Nasional (Koopsudnas), akan bekerja sama dengan pemangku kepentingan terkait soal pengelolaan FIR tersebut. Salah satu mitra yang akan diajak bekerja sama adalah Airnav Indonesia.
"Seluruh personel Koopsudnas harus segera menyesuaikan diri dengan tugas dan tanggung jawab yang baru. Terlebih dengan ditandatanganinya FIR di wilayah Kepulauan Riau," kata dia lagi.
Tapi, benarkah perjanjian kendali pelayanan ruang udara tersebut menguntungkan Indonesia?
1. Indonesia delegasikan FIR di ketinggian 0-37.000 kaki ke Singapura
Namun, sayangnya di dalam perjanjian yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi dan koleganya dari Negeri Singa itu, tercantum poin area udara di sekitar Kepulauan Riau dan Natuna pada ketinggian tertentu masih dikelola Singapura.
Pemerintah Indonesia memilih mendelegasikan ruang udara di ketinggian 0-37 ribu kaki ke otoritas di Singapura. Sedangkan, Indonesia mengelola ruang udara di atas 37 ribu kaki.
Tanda tanya serupa juga diungkapkan oleh Kepala Staf TNI AU (KSAU) periode 2002-2005, Chappy Hakim. Di dalam opininya di harian Kompas, ia mengaku wajar bila muncul respons miring yang mengatakan 'sama juga boong' dari perjanjian FIR tersebut. Ia pun mempertanyakan mengapa pemerintah harus mendelegasikan ruang udara itu ke Negeri Singa.
"Kemungkinan, jawabannya hanya dua. Pertama, secara internasional, Indonesia tidak dipercaya dalam mengelola wilayah tersebut. Kedua, kita sendiri yang tidak percaya untuk mengelolanya," ungkap Chappy.
Ia mendapat penjelasan bahwa alasan ruang udara itu didelegasikan ke Singapura untuk menghindari fragmented kewenangan di Bandara Changi. Penjelasan ini dapat diterima akal sehat, kata Chappy, hanya apabila untuk ketinggian sampai dengan 10 atau 15.000 kaki saja.
Ia pun juga bingung mengapa pendelegasian ruang udara itu harus berlangsung selama 25 tahun. Bahkan, pendelegasian itu bisa diperpanjang, bila kedua pemerintah sepakat.
"Padahal, Indonesia sangat mampu mengelola air traffic yang dibuktikan dalam pengelolaan FIR Jakarta dan Makassar selama ini. Apalagi kepadatan lalu lintas udara di Bandara Soekarno-Hatta jauh di atas (Bandara) Changi," tutur dia lagi.
2. Pengambilalihan FIR dari Singapura berpotensi menambah pendapatan negara

Sementara, mantan Komisioner Ombudsman, Alvin Lie menilai tak ada kedaulatan Indonesia yang dilanggar bila FIR dikelola oleh Singapura. Perkara TNI AU harus meminta izin dari menara kendali di Bandara Internasional Changi, merupakan tanggung jawab mereka untuk memastikan lalu lintas udara dalam kondisi aman.
Di sisi lain, juru bicara Kementerian Perhubungan, Adita Irawati mengklaim dengan berhasil mengambil alih FIR dari Negeri Singa maka dapat berdampak positif terhadap penerimaan negara. "Ini akan ada penambahan PNBP (Pemasukan Negara Bukan Pajak)," ungkap Adita ketika dikonfirmasi pada Jumat, 28 Januari 2022.
Ketika ditanyakan apakah PNBP yang dimaksud berasal dari pungutan biaya pelayanan jasa navigasi penerbangan (PJNP), Adita tak meresponsnya.
3. DPR tunggu surat dari presiden untuk membahas perjanjian FIR Indonesia-Singapura

Sementara, menurut anggota komisi I dari fraksi Partai Golkar, Bobby Adhityo Rizaldi, saat ini pihaknya masih menunggu surat dari presiden. Dengan begitu, baru komisi I bisa membahas poin demi poin di dalam kesepakatan mengenai pengelolaan ruang udara (FIR) tersebut.
"Jadi, sekarang kami masih menunggu suratnya (dari presiden). Kalau belum ada suratnya ya apa yang mau dibahas," ungkap Bobby kepada media pada hari ini di Jakarta.
Ia mengatakan hingga saat ini Komisi I masih belum menerima salinan perjanjian FIR yang sudah diteken oleh Indonesia dan Singapura.