Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Alissa Wahid: Masalah Pernikahan Anak di Indonesia Seperti Gunung Es

IDN Times/Panji Galih Aksoro

Jakarta, IDN Times - Koordinator Nasional Gusdurian Network yang juga aktivis demokrasi dan hak asasi manusia Alissa Wahid mengatakan, masalah pernikahan anak di Indonesia seperti gunung es.

"Di balik berbagai kasus yang mencuat, masih banyak pandangan tentang komunitas tradisional, bahwa anak perempuan harus cepat dinikahkan, perempuan tidak perlu mengenyam pendidikan tinggi dan berbagai pandangan lain," ujar Alissa dalam siaran tertulis di webinar internasional "Too Young To Marry" bersama organisasi berbasis keagamaan yang diadakan oleh World Vision Asia Pasifik, Selasa (8/6/2021).

1. Ubah pola pikir masyarakat tentang pernikahan anak

Ilustrasi/Belajar bersama anak-anak (IDN Times/Besse Fadhilah)

Menurutnya, masalah ini membutuhkan strategi dan program yang menyeluruh mulai dari mengubah pola pikir masyarakat untuk mengubah pernikahan anak.

"Karena itu, selain mendorong kebijakan publik, melakukan penguatan di tingkat akar rumput melalui kerja organisasi masyarakat sipil, penting untuk bergerak bersama dan meningkatkan kapasitas para pemimpin lokal, para guru, pemimpin muda, dan para pemimpin agama," imbuhnya.

2. Indonesia masuk 10 negara yang memiliki angka prevalensi menikah yang tinggi

Ilustrasi pernikahan anak (Instagram/unicefindonesia)

Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2008-2018, I dari 9 anak Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Sebanyak 1,2 juta perempuan menikah sebelum 18 tahun. Indonesia termasuk dalam 10 negara yang memiliki angka prevalensi menikah yang tinggi.

Sejak 2008 hingga 2018 angka prevalensi pernikahan anak hanya menurun 3,5 persen. Selama pandemik COVID-19, pernikahan anak semakin meningkat. Hal ini ditandai dengan pengajuan dispensasi pernikahan di Indonesia yang naik dari 23.700 pada 2019 menjadi 34.000 pada 2020.

Alissa menilai meningkatnya pernikahan anak ini disebabkan antara lain oleh alasan ekonomi, kehamilan yang tidak diinginkan, bosan belajar dari rumah dan menghindari perzinahan.

"Anak-anak tidak harus terlalu membebani orang dewasa yang mengelola dunia dan peradaban. Mereka terlalu muda untuk menikah, terlalu muda untuk mengurus keluarga, terlalu muda untuk mengurus keluarga apalagi membangun dunia yang lebih baik. Ini bukan tentang mereka anak-anak. Mengakhiri pernikahan anak adalah tentang kita," tutur Alissa

3. Anak-anak butuh informasi dan pendampingan agar tak terjebak fenomena pernikahan anak

Ilustrasi pernikahan (IDN Times/Alfisyahrin Zulfahri Akbar)

Perwakilan anak Indonesia yang Dibantu oleh Wahana Visi Indonesia (WVI) dari Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Refi (16) mengungkapkan, pernikahan anak di masa pandemik tidak akan terjadi jika orang dewasa di sekitar dapat membantu dan memberi pengetahuan yang benar.

"Pemerintah Indonesia, telah membatasi usia minimal untuk menikah menjadi 19 tahun. Tetapi kami juga membutuhkan informasi dan pendampingan yang dapat mencegah kami dari pergaulan yang buruk, dan agar kami mengetahui tentang kesehatan reproduksi. Kami berharap orang dewasa juga bisa lebih aktif dan responsif, dan bisa membantu kami menciptakan lingkungan dan aktivitas yang positif untuk mengisi waktu " harap Refi.

 

4. Kasus perkawinan anak perlu dilihat dalam konteks kemiskinan struktural

Ilustrasi Menikah (IDN Times/Alfisyahrin Zulfahri Akbar)

Terpisah, Manajer Advokasi Wahana Visi Indonesia, Junito Drias, mengungkapkan, kasus perkawinan anak perlu dilihat dalam konteks kemiskinan struktural, di mana anak sulit menghindar dari cengkraman perkawinan anak karena keterbatasan akses ekonomi, pendidikan hingga perlindungan.

"Selain keluarga dan lingkungan sekitar, perlu kebijakan pemerintah untuk mengadakan akses-akses tersebut, supaya orang tua tidak memandang  perkawinan sebagai jalan keluar masalah ekonomi atau persoalan seperti kehamilan usia anak," kata Drias.

WVI melalui program di bidang perlindungan anak terus melakukan upaya sosialisasi, edukasi, pemberdayaan masyarakat mengenai pencegahan pernikahan anak di 14 provinsi di Indonesia hingga advokasi kebijakan di tingkat lokal maupun nasional.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Dwifantya Aquina
EditorDwifantya Aquina
Follow Us