Anies: Bonus Demografi Sering Dianggap Berkah Otomatis

- Anies Baswedan menyoroti bonus demografi Indonesia yang tak selalu membawa kesejahteraan otomatis.
- Ia menekankan bahwa anak muda hidup dalam tekanan berlapis dan masih terdapat jurang aspirasi antara generasi saat ini dan sebelumnya.
Jakarta, IDN Times - Mantan Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan membuat utasan panjang mengenai bonus demografi. Lewat utasan di media sosial, Anies seolah menunjukkan ingin merespons video monolog Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka di YouTube.
Dalam cuitannya, Anies mengakui Indonesia tengah memasuki fase langka, yakni bonus demografi. Usia produktif dalam keadaan memuncak dan menawarkan gegap gempita akan masa depan. Berdasarkan data yang disebut oleh Gibran, bakal ada 208 juta penduduk yang masuk usia produktif.
"Padahal, di balik janji statistik itu, ada tantangan besar yang kerap luput dari sorotan," ujar Anies, dikutip dari cuitan media sosial di X, Selasa (22/4/2025).
Ia menyebut, bonus demografi sering kali dianggap sebagai berkah otomatis.
"Seolah hadirnya usia produktif berarti kesejahteraan akan datang dengan sendirinya. Tapi, usia produktif tak selalu berarti produktivitas. Yang terlihat adalah angka, yang tersembunyi adalah kelelahan kolektif," tutur dia.
1. Anies nilai masih ada jurang aspirasi karena pengambil keputusan didominasi kultur lama

Pria yang pernah menjadi salah satu capres di pemilu 2024 lalu itu mengatakan, anak muda saat ini hidup dalam tekanan berlapis. Anak-anak muda, kata Anies, dituntut harus sukses cepat, menopang keluarga, mengatasi ketidakpastian kerja, dan membangun masa depan di tengah ruang hidup yang kian mahal.
"Mereka bukan hanya generasi yang tangguh, tapi generasi yang sibuk dan generasi yang letih," ujar Anies.
Ia juga menyoroti masih adanya jurang aspirasi antara generasi saat ini dan sebelumnya. Yang muda, kata Anies, bicara kolaborasi, keterbukaan dan lompatan.
"Yang tua, bicara kehati-hatian dan stabilitas. Tapi, ruang pengambil keputusan masih didominasi kultur lama yang lamban, eksklusif dan hierarkis," tutur dia.
Dalam pandangan Anies, ide-ide segar dan aspirasi dari anak muda itu malah terhenti di meja birokasi, tidak hanya gagasan yang mati. Semangat untuk percaya pun juga padam.
"Bonus ini bisa berubah menjadi jurang yang memisahkan cara pandang. Bila tidak dijembatani, maka lahir lah sinisme terhadap institusi," katanya.
2. Setiap anak muda tak selalu punya kesempatan yang sama

Anies menilai, tak semua anak muda memiliki kesempatan dan akses yang sama meski Indonesia sedang berada di periode bonus demografi. Ia memberikan contoh, ada anak muda yang belajar coding dan AI tetapi ada pula yang masih bertarung dengan sinyal putus-putus dan gawai yang dipakai bergantian.
"Kesenjangan digital ini nyata. Mereka yang terkoneksi akan terbang lebih tinggi. Mereka yang terputus akan makin terdesak," katanya.
Menurutnya, ini bukan soal siapa yang rajin. Tetapi, soal siapa yang diberi pijakan dan dilengkapi untuk ikut dalam perlombaan.
Di sisi lain, Anies turut mewanti-wanti periode bonus demografi tidak berlaku selamanya. Dalam dua dekade ke depan, Indonesia akan menjadi negara dengan populasi menua.
"Yang muda hari ini, akan menjadi tua yang nantinya harus ditopang. Bebannya bergeser, dan itu harus disiapkan," ujar dia.
3. Anies usulkan tiga langkah untuk manfaatkan periode bonus demografi

Anies memberikan tiga usulan untuk memanfaatkan periode bonus demografi. Pertama, akses kepada pendidikan harus diberikan merata bagi anak muda.
"Pendidikan harus membekali anak muda dengan literasi, kreativitas, kecakapan yang relevan, pikiran kritis dan keberanian untuk mengambil peran," katanya.
Usulan kedua, membangun sistem ekonomi yang memberi ruang bagi yang kecil dan baru merintis. Akses terhadap kredit, pelatihan dan pasar tak boleh jadi kemewahan.
"Itu semua menjadi hak. Yang mau bekerja, harus diberi landasan untuk naik kelas. Yang sedang berjuang harus dibantu bertumbuh," ucapnya.
Usulan ketiga, Anies mendorong agar anak muda didorong untuk mengambil keputusan. Mereka, kata Anies, bukan sekedar pewaris masa depan, tetapi juga penentu hari ini.
"Jangan hanya libatkan dalam diskusi formalitas belaka, tapi berikan peran dan posisi. Tentu, itu didasari meritokrasi dan bukan koneksi," ujarnya.