Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Arti Pemakzulan, Sejarah dan Landasan Hukumnya

IDN Times/Maya Aulia Aprilianti
IDN Times/Maya Aulia Aprilianti
Intinya sih...
  • Pemakzulan adalah proses konstitusional untuk memberhentikan presiden atau pejabat tinggi negara sebelum masa jabatannya berakhir.
  • Di Indonesia, pemakzulan diatur dalam UUD 1945 Pasal 7A dan 7B yang menyebutkan alasan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela.
  • Proses pemakzulan harus melalui Mahkamah Konstitusi dan disetujui oleh MPR setelah pemeriksaan yang dilakukan dalam waktu maksimal 90 hari.

Jakarta, IDN Times - Dunia politik Indonesia tengah diramaikan oleh usulan pemakzulan Wakil Presiden Republik Indonesia (RI) Gibran Rakabuming Raka. Usul itu disampaikan oleh sekelompok purnawirawan TNI, termasuk di antaranya mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.   

Sontak usulan pemakzulan ini memicu berbagai reaksi dan tanggapan dari publik, mulai dari masyarakat awam hingga tokoh nasional, dan juga pengamat politik. 

Lantas, apa sebenarnya pemakzulan itu? Bagaimana sejarahnya di Indonesia, dan apa dasar hukum yang mengaturnya? Berikut penjelasan lengkapnya. 

1. Arti pemakzulan

Sejumlah polisi berjaga saat berlangsung unjuk rasa terkait Revisi UU TNI di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)
Sejumlah polisi berjaga saat berlangsung unjuk rasa terkait Revisi UU TNI di depan kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (20/3/2025). (ANTARA FOTO/Bayu Pratama S)

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Daring, pemakzulan berasal dari kata makzul, yang artinya berhenti memegang jabatan atau turun takhta.

Sementara dikutip dari hukumonline.com, pemakzulan presiden atau dikenal dengan istilah impeachment dalam bahasa Inggris, merupakan proses konstitusional untuk memberhentikan seorang presiden atau pejabat tinggi negara dari jabatannya sebelum masa jabatannya berakhir. 

Namun di dalam UUD 1945 sendiri, tidak secara eksplisit menggunakan kata makzul, pemakzulan, maupun memakzulkan, melainkan menggunakan istilah “diberhentikan” dan “pemberhentian”.

Berdasarkan Pasal 7A, 7B, dan 24C ayat (2) UUD 1945, pejabat yang kemungkinan dapat di-impeach adalah: 

  1. Presiden
  2. Wakil Presiden
  3. Presiden dan Wakil Presiden

2. Empat presiden berganti sebelum masa jabatan berakhir

Soeharto Dilantik (sumber : https://www.idntimes.com/news/indonesia/hana-adi-perdana-1/biografi-soeharto)
Soeharto Dilantik (sumber : https://www.idntimes.com/news/indonesia/hana-adi-perdana-1/biografi-soeharto)

Jika melihat sekilas sejarah ketatanegaraan Indonesia, tercatat sudah empat kali Indonesia mengalami pergantian presiden sebelum masa jabatannya berakhir, yakni:

  1. Presiden Sukarno diberhentikan melalui Ketetapan MPRS Nomor XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara Presiden Soekarno. 
  2. Presiden Soeharto “berhenti” setelah ketua MPR/DPR mengumumkan pernyataan agar Soeharto mengundurkan diri menyusul adanya desakan demonstrasi mahasiswa dan elemen masyarakat pada 21 mei 1998.
  3. Presiden B.J. Habibie berhenti setelah MPR menolak pertanggungjawaban pada saat Sidang Istimewa MPR tahun 1999.
  4. Presiden K.H. Abdurrahman Wahid diberhentikan oleh MPR melalui Ketetapan MPR Nomor II/MPR/2001 tentang Pertanggungjawaban Presiden Republik Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid, karena tidak hadir dan menolak memberikan pertanggungjawaban dalam sidang istimewa MPR tahun 2001, dinilai terlibat dalam kasus penyelewengan dana bulog (Buloggate) dan dana bantuan dari Sultan Brunei Darussalam (Bruneigate) serta menerbitkan Maklumat Presiden RI pada 23 Juli 2001, dikutip dari jurnal SASI,  Aksan Akbar.

3. Landasan hukum: tercantum dalam UUD 1945

Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)
Ilustrasi hukum. (IDN Times/Mardya Shakti)

Adapun soal pemakzulan atau pemberhentian presiden dan wakil presiden diatur dalam UUD 1945 Pasal 7A. Berikut isinya:

Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

Tapi pada Pasal 7B ayat (1) disebutkan, DPR dan MPR tidak bisa langsung memakzulkan presiden atau wakil presiden. Pemakzulan yang diajukan DPR ke MPR bisa dilakukan dengan mengajukan permintaan ke Mahkamah Konsitusi (MK), untuk diperiksa dan diadili terlebih dulu.

"Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden," tulis Pasal 7B ayat (1).

Pada Pasal 7B ayat (3), pengajuan permintaan pemakzulan oleh DPR ke MK hanya dapat dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota dewan yang hadir dalam sidang paripurna.

"Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi," tulis Pasal 7B ayat (4).

Di Pasal 7B ayat (5) disebutkan, apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden, DPR akan menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada MPR.

Pada Pasal 7B ayat (6), MPR wajib menggelar sidang untuk memutuskan usul DPR paling lambat 30 hari sejak menerima usulan tersebut.

"Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnyakurangnya 3/4 dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat," tulis Pasal 7B ayat (7).

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah Sunariyah
EditorSunariyah Sunariyah
Follow Us