Aturan Dokumen Capres-Cawapres Rahasia Seumur Jagung, KPU Cek Ombak?

- KPU akhirnya mencabut aturan 16 dokumen capres-cawapres yang dirahasiakan, setelah mendapat sorotan publik. KPU dinilai cek ombak hingga buat gaduh dan hanya mengakomodir elite politik.
- Istana enggan intervensi terkait Keputusan KPU 731/2025, menghormati KPU sebagai lembaga independen yang tak bisa diintervensi pihak pemerintah.
- Pimpinan Komisi II DPR mengkritisi KPU terkait data pejabat publik yang harus transparan, meminta penjelasan detail KPU tentang aturan tersebut.
Jakarta, IDN Times - Komisi Pemilihan Umum (KPU) jadi sorotan publik, lantaran membuat peraturan kontroversial jelang memasuki Pemilu 2029. Meski tahun pemilu masih terhitung sekitar empat tahun lagi, kebijakan KPU terkait merahasiakan dokumen syarat calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) menuai kecurigaan masyarakat.
Peraturan yang menuai pro dan kontra ini tertuang dalam Keputusan KPU RI Nomor 731 Tahun 2025, tentang Penetapan Dokumen Persyaratan Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden Sebagai Informasi Publik yang Dikecualikan KPU. Produk hukum ini mengatur 16 dokumen milik capres-cawapres yang dirahasiakan dan tak boleh diungkap ke publik, tanpa izin yang bersangkutan. Salah satu dokumen yang dimaksud ialah ijazah.
Sontak masyarakat luas mengaitkan masalah ijazah ini dengan kasus Presiden ketujuh RI, Joko "Jokowi" Widodo dan anaknya yang juga Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka.
1. Aturan lengkap soal 16 dokumen capres-cawapres yang dirahasiakan

Dalam aturan yang disahkan pada 21 Agustus 2025 lalu ini menegaskan KPU tidak bisa membuka sejumlah dokumen persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden ke publik.
Terdapat pula keterangan jangka waktu pengecualian, informasi 16 dokumen yang dirahasiakan ini hanya berlaku selama 5 tahun. KPU juga tak menutup kemungkinan dokumen tersebut bisa dibuka ke publik dengan syarat pemilik dokumen memberikan persetujuan
"Informasi dikecualikan selama 5 (lima) tahun, kecuali: a. pihak yang rahasianya diungkap memberikan persetujuan tertulis; dan atau b. pengungkapan berkaitan dengan posisi seseorang dalam jabatan-jabatan publik," demikian bunyi aturan tersebut.
Berikut 16 dokumen yang dimaksud tersebut:
1. Fotokopi kartu tanda penduduk elektronik dan foto akta kelahiran Warga Negara Indonesia;
2. Surat keterangan catatan kepolisian dari Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia;
3. Surat keterangan kesehatan dari rumah sakit Pemerintah yang ditunjuk oleh Komisi Pemilihan Umum;
4. Surat tanda terima atau bukti penyampaian laporan harta kekayaan pribadi kepada Komisi Pemberantasan Korupsi;
5. Surat keterangan tidak sedang dalam keadaan pailit dan atau tidak memiliki tanggungan utang yang dikeluarkan oleh pengadilan negeri;
6. Surat pernyataan tidak sedang dicalonkan sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
7. Fotokopi nomor pokok wajib pajak dan tanda bukti pengiriman atau penerimaan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi selama 5 (lima) tahun terakhir;
8. Daftar riwayat hidup, profil singkat, dan rekam jejak setiap bakal calon;
9. Surat pernyataan belum pernah menjabat sebagai Presiden atau Wakil Presiden selama 2 (dua) kali masa jabatan dalam jabatan yang sama;
10. Surat pernyataan setia kepada Pancasila sebagai dasar negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945 sebagaimana yang dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
11. Surat keterangan dari pengadilan negeri yang menyatakan bahwa setiap bakal calon tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempeoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
12. Bukti kelulusan berupa fotokopi ijazah, surat tanda tamat belajar, atau surat keterangan lain yang dilegalisasi oleh satuan pendidikan atau program pendidikan menengah;
13. Surat keterangan tidak terlibat organisasi terlarang dan G.30.S/PKI dari kepolisian;
14. Surat pernyataan bermeterai cukup tentang kesediaan yang bersangkutan diusulkan sebagai bakal calon Presiden dan bakal calon Wakil Presiden secara berpasangan;
15. Surat pernyataan pengunduran diri sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia, Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan Pegawai Negeri Sipil sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilihan Umum; dan
16. Surat pernyataan pengunduran diri dari karyawan atau pejabat badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah sejak ditetapkan sebagai Pasangan Calon Peserta Pemilu.
2. Istana enggan intervensi

Menanggapi Keputusan KPU 731/2025 itu, Wakil Menteri Sekretaris Negara (Wamensesneg), Juri Ardiantoro menegaskan, Istana menghormati KPU sebagai lembaga independen yang tak bisa diintervensi pihak pemerintah. Termasuk mengenai aturan terbarunya.
"KPU itu lembaga independen jadi di dlm bekerjanya dia ngga bisa dipengaruhi oleh lembaga lain, oleh eksekutif. Dia lembaga independen. Kami menghormati," kata mantan Ketua KPU itu di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/9/2025).
3. Pimpinan Komisi II DPR kritisi KPU

Sementara, Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Dede Yusuf mengkritisi KPU. Ia menegaskan, data pejabat publik merupakan data yang harus bisa dilihat semua orang secara transparan.
"Sebetulnya, data pejabat publik itu adalah data yang harus transparan. Jadi setiap calon pejabat publik, baik itu DPR, menteri, presiden, saya pikir itu adalah sebuah data yang harus bisa dilihat oleh semua orang," kata Dede Yusuf, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (15/9/2025).
Ia lantas membandingkan dengan para pelamar kerja yang harus menyodorkan curiculum vitae (CV) dan latar belakangnya secara lengkap. Dede mengatakan akan meminta penjelasan detail KPU tentang aturan tersebut.
"Karena orang lamar kerjaan aja kan pakai CV, apalagi ini mau melamar jadi pemimpin," ujar anggota Fraksi Demokrat itu.
Dede tidak setuju data persyaratan capres dan cawapres harus dirahasiakan. Menurut dia, dokumen yang tidak perlu diungkap ke publik adalah catatan medis capres dan cawapres.
Namun, kata dia, dokumen persyaratan lainnya seperti rekening, ijazah, hingga riwayat hidup seharusnya dibuka secara transparan ke publik.
"Menurut saya gak ada masalah. Data yang gak boleh dibuka itu data kesehatan dan itu ada undang-undang-nya. Catatan medis itu gak boleh dibuka, data kesehatan. Kalau yang lainnya boleh, rekening, terus kemudian ijazah, riwayat hidup saya pikir gak masalah," kata dia.
4. Pengamat nilai KPU langgar prinsip fundamental hingga soroti momen bertepatan dengan ijazah Gibran digugat

Di sisi lain, Koordinator Komite Pemilih Indonesia (Tepi), Jeirry Sumampow, menduga Keputusan 731/2025 bisa jadi bukan cuma permalasahan teknis, melainkan berkaitan dengan isu ijazah Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, yang saat ini sedang digugat di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
Gibran dan KPU digugat warga sipil bernama Subhan Palal lantaran dinilai telah melakukan perbuatan melawan hukum, karena ada beberapa syarat pendaftaran cawapres yang dahulu tidak terpenuhi. Putra Presiden ketujuh RI, Joko "Jokowi" Widodo itu digugat karena dinilai tak memiliki ijazah Sekolah Menengah Atas (SMA) sederajat.
Jeirry pun menduga adanya kepentingan KPU untuk menutupi masalah legalitas ijazah, terutama milik Gibran yang kini jadi perbincangan hangat publik. Diduga KPU melakukan kelalaian saat verifikasi syarat capres-cawapres pada Pemilu 2024 lalu.
"Kita patut curiga juga, siapa kiranya yang hendak dilindungi KPU. Ada beberapa kemungkinan. KPU sendiri, untuk melindungi institusi KPU dari kemungkinan bahwa mereka lalai memverifikasi syarat calon dalam pemilu lalu secara benar dan adil. Atau memang ada sesuatu yang hendak mereka tutupi. Apalagi terkait syarat calon tersebut, khususnya terkait ijazah wapres kini sedang ramai dibicarakan publik," kata dia.
Jeirry juga curiga KPU berupaya melindungi pasangan calon presiden dan wakil presiden tertentu, khususnya pasangan calon yang menang dalam pemilu lalu. Upaya itu dilakukan untuk mencegah adanya isu pelanggaran yang dibahas publik.
"Terutama jika ada isu publik misalnya dugaan pemalsuan dokumen, masalah pajak, atau pelanggaran etika yang terkait dengan mereka," tutur dia.
Jeirry juga menduga adanya kepentingan elite politik penguasa. Dalam konteks politik kartel dan populisme politik, keputusan ini bisa dibaca sebagai kompromi demi stabilitas elite, bukan demi kepentingan publik.
"Begitu juga, bisa jadi ini adalah kompromi dari kemungkinan Komisioner KPU mempunyai persoalan hukum dalam pemilu lalu, yang masih bisa diungkap dan dipersoalkan saat ini," ungkap dia.
Menurut Jeirry, Keputusan KPU RI 731/2025 ini melanggar empat prinsip fundamental pemilu yang dijamin konstitusi dan norma internasional. Prinsip pertama yang dilanggar ialah terkait transparansi. Prinsip ini mensyaratkan semua tahapan pemilu, termasuk syarat dan verifikasi calon, dilakukan secara terbuka agar publik dapat menilai integritas kandidat. Sebab para prinsipnya semua dokumen yang terkait dengan syarat calon harus bisa diakses publik.
Dengan menutup 16 dokumen krusial selama lima tahun, KPU menghalangi publik untuk memeriksa kebenaran dan keaslian syarat pencalonan. Ini masuk kategori pelanggaran berat dalam pemilu. Apalagi malah KPU sebagai pelakunya.
Prinsip kedua terkait akuntabilitas. Jeirry menegaskan, KPU adalah lembaga publik yang bertanggung jawab kepada rakyat. Menutup dokumen terkait integritas, rekam jejak, dan kepatuhan hukum calon, melemahkan pengawasan publik dan menunjukkan buruknya tanggung jawab KPU terhadap proses Pemilu.
Ketiga ialah prinsip kepastian hukum dan kesetaraan. Jika informasi seperti ijazah, laporan pajak, dan LHKPN dikecualikan, muncul kecurigaan adanya standar ganda. Beberapa calon bisa dilindungi dari pemeriksaan publik sementara calon lain tidak mendapat keuntungan serupa.
Dalam hal ini KPU melanggar prinsip kesetaraan. Dan dengan ini, KPU menunjukkan keberpihakan kepada calon tertentu, khususnya calon yang memenangkan Pemilu lalu. Sebab akses untuk memeriksa kejujuran calon, track record dan latar belakang calon ditutup KPU.
Kemudian keempat berkaitan dengan prinsip partisipasi publik. Jeirry menegaskan, pemilih berhak mengetahui latar belakang calon sebelum atau sesudah menentukan pilihan. Menutup akses tersebut dianggap merusak kualitas partisipasi dan mereduksi hak pemilih yang dijamin UU Pemilu dan Keterbukaan Informasi Publik.
5. KPU cabut Keputusan 731/2025 hingga minta maaf bikin gaduh

KPU lantas menyampaikan permohonan maaf atas kegaduhan yang ditimbulkan akibat Keputusan KPU RI 731/2025 menimbulkan kegaduhan. Ketua KPU RI, Mochammad Afifuddin menegaskan, sejak awal Keputusan 731/2025 dibuat, tidak ada maksud untuk menguntungkan pihak tertentu. Ia menjamin, peraturan yang dibuat KPU berlaku secara umum dan adil untuk siapa pun.
"Kami dari KPU juga mohon maaf atas situasi keriuhan, yang sama sekali tidak ada potensi sedikitpun di KPU untuk melakukan hal-hal yang dianggap menguntungkan pihak-pihak tertentu, seluruh peraturan KPU yang kita buat berlaku umum berlaku untuk siapapun tanpa pengecualian," kata dia dalam jumpa pers di Kantor KPU RI, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (16/9/2025).
Afif pun menegaskan, Keputusan KPU 731/2025 dibuat sebagai aturan yang mengadaptasi dinamika saat ini. Dasar hukum pembentukannya pun mengacu pada Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan KPU (PKPU) Nomor 11 Tahun 2024 tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota.
"Jadi ini murni bagaimana kita mengelola kemudian memperlakukan data-data yang ada di kita dalam situasi saat ini. Jadi bukan untuk mengatur Pemilu 2029, bukan. Ini murni bagaimana pengelolaan data ini. Hal-hal yang berkaitan ada kekurangan dan lain-lain itu kami ingin segera perbaiki," tegasnya.
Dalam kesempatan itu, Afif mengumumkan pembatalan aturan ini usai mendapat masukan dari masyarakat luas. Ia pun tak memungkiri Keputusan KPU 731/2025 ini sempat menuai kontroversi.
"KPU mengapresiasi masukan-masukan dari berbagai pihak pasca terbitnya keputusan KPU tersebut keputusan 731 dan selanjutnya kami menggelar rapat secara khusus untuk menyikapi perkembangan ini, menerima masukan dan selanjutnya untuk melakukan langkah-langkah koordinasi dengan pihak-pihak yang kita anggap penting. Misalnya komisi Informasi publik daerah berkatnya berkaitan dengan data-data informasi dan seterusnya," katanya.
"Akhirnya kami secara kelembagaan memutuskan untuk membatalkan keputusan KPU nomor 731 tahun 2025 tentang penetapan dokumen persyaratan pasangan calon presiden dan wakil presiden sebagai informasi publik yang dikecualikan KPU," sambung Afif.
6. KPU dinilai cek ombak, buat kebijakan bikin gaduh dan langsung buru-buru dicabut

Sementara, Direktur Democracy and Election Empowerment Partnership (DEEP) Indonesia, Neni Nur Hayati menilai, KPU seperti sedang cek ombak. KPU disebut gegabah karena bikin kebijakan kontroversial yang terkesan dan menguntungkan pihak tertentu.
"Saya melihat KPU sedang cek ombak dengan gegabah mengeluarkan Putusan 731/2025 yang jelas terlihat pesannya ditujukan untuk siapa. Padahal, saat pencalonan peserta pemilu dilakukan KPU itu tidak ada tindakan tegas saat banyaknya data masyarakat yang namanya dicatut memberikan dukungan kepada partai politik," kata Neni dalam keterangannya.
Neni pun menyoroti KPU seperti berupaya dengan segala cara membuat kebijakan untuk melindungi para elite politik. KPU saat ini dianggap menjadi lembaga yang kental dengan kepentingan politik pragmatis.
"Entah siapa yang mendorong terbitnya putusan tersebut. Kedepan, saya berharap kpu bisa berbenah untuk memperbaiki tata kelola pemilu yang lebih urgen dan krusial," imbuh dia.