Bareskrim Polri Akan Gelar Perkara untuk Tentukan Tersangka ACT

Jakarta, IDN Times - Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri telah memeriksa empat orang saksi, terkait dugaan penyelewengan dana kemanusiaan oleh lembaga Aksi Cepat Tanggap (ACT). Dua di antaranya adalah pendiri ACT Ahyudin dan Presiden ACT Ibnu Khajar.
Kabag Penum Divisi Humas Polri, Kombes Pol Nurul Azizah, menyebut selanjutnya petugas akan melakukan gelar perkara untuk menaikkan kasus ini ke tahap penyidikan dan menentukan tersangka.
“Rencananya akan dilaksanakan gelar perkara untuk menentukan apakah sudah cukup atau tidak untuk menaikkan status perkara menjadi ke tingkat penyidikan,” ujar Nurul dalam jumpa persnya di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (11/7/2022).
1. Bareskrim juga periksa 2 saksi lainnya

Sementara itu, Kepala Sub Direktorat (Kasubdit) IV Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim Polri, Kombes Pol Andri Sudarmaji, mengatakan selain Ahyudin dan Ibnu Khajar, penyidik juga memeriksa dua saksi lainnya.
“Kepala Bagian Operasional, bagian keuangan dan Bagian Legal,” kata Andri kepada IDN Times.
2. Ahyudin dan Ibnu Khajar menjalani pemeriksaan soal korupsi dana sosial korban Lion Air

Sebelumnya, Bareskrim telah memeriksa Ahyudin dan Ibnu Khajar pada Jumat (8/7/2022). Temuan awal penyidik, diduga adanya penyimpangan uang donasi korban kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610 yang terjadi pada 18 Oktober 2018.
Karopenmas Divisi Humas Polri, Brigjen Pol Ahmad Ramadhan, mengatakan bahwa dana sosial Rp138 miliar diduga digunakan untuk gaji dan fasilitas petinggi ACT.
“Sebagian dana sosial/CSR tersebut dimanfaatkan untuk pembayaran gaji ketua, pengurus, pembina, serta staff pada Yayasan ACT dan juga digunakan untuk mendukung fasilitas serta kegiatan/kepentingan pribadi Ketua Pengurus/presiden (Drs. Ahyuddin) dan wakil Ketua Pengurus/vice presiden,” kata Ramadhan dalam keterangan tertulisnya, Minggu (10/7/2022).
3. ACT tak melibatkan ahli waris dalam pengelolaan dana sosial

Ramadhan menjelaskan, ACT dalam hal ini mengelola CSR dari pihak Boeing untuk disalurkan kepada ahli waris para korban kecelakaan pesawat Lion Air. Namun pada pelaksanaannya, para ahli waris tidak diikutsertakan dalam penyusunan rencana maupun pelaksanaan penggunaan dana sosial.
“CSR tersebut dan pihak Yayasan ACT tidak memberitahu kepada pihak ahli waris terhadap besaran dana sosial/CSR yang mereka dapatkan dari pihak Boeing serta pengunaan dana sosial/CSR tersebut,” kata Ramadhan.
Dana yang tidak disalurkan diduga diselewengkan untuk kepentingan pribadi, berupa pembayaran gaji dan fasilitas pribadi pimpinan ACT.
“Bahwa pascakejadian kecelakaan tersebut, para ahli waris korban dihubungi oleh pihak yang mengaku dari ACT meminta untuk memberikan rekomendasi kepada pihak Boeing untuk penggunaan dana CSR tersebut dikelola oleh pihak ACT, di mana dana sosial/CSR diperuntukkan membangun fasilitas pendidikan sesuai dengan rekomendasi dari ahli waris para korban,” ujar Ramadhan, mengungkap modus yang digunakan ACT.
Dalam kecelakaan pesawat Lion Air Boeing JT610, pihak Boeing memberikan dua jenis dana kompensasi, yaitu dana santunan tunai kepada ahli waris para korban masing-masing sebesar USD 144.500 atau setara denga Rp2.066.350.000.
Dana tersebut tidak dapat dikelola langsung oleh para ahli waris korban, melainkan harus menggunakan lembaga atau yayasan yang sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan oleh pihak Boeing. Salah satu persyaratan tersebut adalah lembaga/yayasan harus bertaraf internasional.
Akibat peristiwa ini, Ahyudin dan Ibnu Khajar akan dijerat pasal tindak pidana penggelapan dan atau penggelapan dalam jabatan dan atau tindak pidana informasi dan transaksi elektronik dan atau tindak pidana yayasan dan atau tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 372 KUHP dan atau; Pasal 374 KUHP dan atau; Pasal 45A Ayat (1) Jo Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan atau;
Pasal 70 ayat (1) dan ayat (2) Jo Pasal 5 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 sebagaimana telah diubah Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan atau; Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
“Dengan ancaman Pidana paling lama 20 tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,” kata Ramadhan.