Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

BMKG Imbau Pemerintah Siaga soal Potensi Kekeringan Meteorologis

Air bendungan yang mengering akibat kemarau di NTB pada 2023 lalu. (IDN Times/Muhammad Nasir)
Intinya sih...
  • BMKG imbau pemda siapkan penampungan air untuk mengantisipasi kekeringan meteorologis pada musim kemarau
  • Mayoritas wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) sepanjang 21 sampai 30 hari atau lebih panjang
  • Daerah dengan potensi curah hujan bulanan sangat rendah perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mitigasi dan antisipasi dampak kekeringan

Jakarta, IDN Times - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut sejumlah wilayah di Indonesia berpotensi mengalami kekeringan meteorologis pada musim kemarau sehingga membutuhkan kesiagaan pemerintah pusat dan daerah.

"Laporan kepada Presiden perihal kondisi iklim dan kesiapsiagaan kekeringan 2024 sudah kami sampaikan agar mendapat atensi khusus pemerintah sehingga risiko dan dampak yang ditimbulkan dapat diantisipasi dan diminimalisir sekecil mungkin," kata Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati di Jakarta, Selasa (28/5/2024).

1. Kekeringan sudah mulai memasuki wilayah Indonesia, khususnya bagian selatan khatulistiwa

ilustrasi musim kemarau (freepik.com/sergeycauselove)

Dwikorita menyampaikan, mayoritas wilayah Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sudah mengalami Hari Tanpa Hujan (HTH) sepanjang 21 sampai 30 hari atau lebih panjang. 

Selain itu, analisis curah hujan dan sifat hujan yang dilakukan BMKG juga menunjukkan bahwa kondisi kering sudah mulai memasuki wilayah Indonesia, khususnya bagian selatan khatulistiwa.

"Sebagian wilayah Indonesia sebanyak 19 persen dari zona musim sudah masuk musim kemarau, dan diprediksi sebagian besar wilayah Jawa, Bali dan Nusa Tenggara segera menyusul memasuki musim kemarau dalam tiga dasarian ke depan. Kondisi kekeringan ini saat musim kemarau akan mendominasi wilayah Indonesia sampai akhir bulan September," paparnya. 

2. BMKG imbau pemda optimalkan secara masif untuk memanen air hujan

ilustrasi hujan deras (pexels.com/Skitterphoto)

Dwikorita juga merekomendasikan pemerintah daerah agar daerah yang masih mengalami hujan atau transisi dari musim hujan ke musim kemarau bisa segera mengoptimalkan secara lebih masif upaya memanen air hujan. 

Pemanenan dapat dilakukan melalui tandon atau penampungan air, embung, kolam retensi, sumur resapan, dan lain sebagainya. Hal ini seiring dengan upaya mitigasi dampak kejadian ekstrem hidrometeorologi basah yang sedang dilakukan. 

"Terkait pertanian, maka pola dan waktu tanam untuk iklim kering pada wilayah terdampak dapat menyesuaikan. Karenanya, BMKG akan melakukan koordinasi lebih lanjut dengan Menteri Pertanian dan gubernur provinsi terdampak," katanya. 

BMKG berharap, informasi peringatan dini kesiapsiagaan musim kemarau tersebut dapat dimanfaatkan secara efektif oleh pemerintah pusat dan daerah. 

3. BMKG imbau perlunya antisipasi dan mitigasi dampak kekeringan

Petani di Kota Mataram, NTB, panen padi di musim kemarau. (IDN Times/Muhammad Nasir)

Sementara itu, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, Ardhasena Sopaheluwakan, menyampaikan hingga dasarian II Mei 2024, pemantauan terhadap anomali iklim global di Samudera Pasifik menunjukkan indeks ENSO sebesar +0.21 atau dalam kondisi netral. 

Kondisi indeks ENSO sudah berada pada level netral selama dua dasarian dan diprediksi akan terus netral sampai periode Juni -Juli 2024. Selanjutnya, pada periode Juli, Agustus, September 2024, ENSO Netral diprediksi akan beralih menuju fase La Nina lemah yang akan bertahan hingga akhir tahun 2024.

Fenomena La Nina lemah ini diprediksi tidak berdampak pada musim kemarau yang akan segera hadir. Sedangkan di Samudera Hindia, pemantauan suhu muka laut menunjukkan kondisi IOD Netral namun ada kecenderungan beralih ke fase IOD Positif. 

Melihat fakta tersebut, maka daerah dengan potensi curah hujan bulanan sangat rendah dengan kategori kurang dari 50mm per bulan perlu mendapatkan perhatian khusus untuk mitigasi dan antisipasi dampak kekeringan. Daerah tersebut meliputi sebagian besar Pulau Sumatra, Jawa, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Bali dan Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi, serta sebagian Maluku dan Papua. 

Sementara, dari hasil monitoring hotspot yang dilakukan satelit, menunjukkan telah munculnya beberapa hotspot awal pada daerah-daerah rawan kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sehingga diperlukan perhatian khusus untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran di sepanjang musim kemarau. 

"Memperhatikan dinamika atmosfer jangka pendek terkini, masih terdapat jendela waktu yang sangat singkat yang bisa dimanfaatkan secara optimal sebelum memasuki periode pertengahan musim kemarau," ujarnya. 

Di sisi lain, Pelaksana Tugas (Plt) Deputi Bidang Modifikasi Cuaca, Tri Handoko Seto, mengatakan, berkaca dari hal tersebut, BMKG memberikan sejumlah rekomendasi teknis yang bisa dilakukan sebagai langkah mitigasi dan antisipasi.

Di antaranya, penerapan teknologi modifikasi cuaca untuk pengisian waduk-waduk di daerah yang berpotensi mengalami kondisi kering saat musim kemarau dan membasahi serta menaikkan muka air tanah pada daerah yang rawan mengalami karhutla ataupun pada lahan gambut. 

Agar upaya modifikasi cuaca dapat terlaksana dengan efektif dan efisien dalam memitigasi potensi bencana kekeringan, BMKG berharap Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat serta Kementerian Pertanian dapat memastikan koneksitas jaringan irigasi dari waduk ke kawasan yang terdampak kekeringan benar-benar memadai.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Yosafat Diva Bayu Wisesa
EditorYosafat Diva Bayu Wisesa
Follow Us