BRIN: Politik Uang Marak di Pilkada 2024 karena Kandidat Pragmatis

- Peneliti BRIN: Politik uang marak karena kandidat pragmatis dalam meraih suara.
- Praktik politik uang semakin diperparah dengan anggapan masyarakat yang mulai menormalisasi tindakan curang.
- Alumni UGM: Banyak pemilih kritis terhadap politik uang, namun penerimaan atau penolakan uang kembali pada pilihan masing-masing.
Jakarta, IDN Times - Peneliti Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Wasisto Raharjo Jati menilai masih maraknya praktik politik uang di Pilkada 2024 disebabkan para kandidat pragmatis dalam meraih suara.
Banyak calon kepala daerah berpikir ingin meraih suara dengan praktis. Mereka menganggap, politik uang lebih efektif untuk menggaet suara.
"Saya pikir maraknya politik uang dalam pilkada disebabkan oleh semakin pragmatismenya kandidat dalam meraih suara pemilih," kata Wasisto kepada IDN Times, Jumat (6/12/2024).
1. Politik uang dianggap praktik normal

Praktik politik uang semakin diperparah dengan anggapan dari masyarakat yang mulai menormalisasi tindakan curang tersebut.
"Di sisi yang lain, politik uang sudah menjadi hal normal yang terjadi ketika pemilu di mata pemilih. Kedua hal itulah yang menjadikan kenapa para politisi jor-joran soal uang," jelas Wasisto.
2. Sebenarnya pemilih sudah kritis

Alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta ini tak memungkiri, sebenarnya banyak pemilih sudah kritis terhadap politik uang.
"Saya pikir pemilih sudah paham soal poliitk uang tersebut, cuma soal itu diterima atau ditolak uangnya, kembali lagi ke pilihan masing-masing," tutur Wasisto.
3. Bawaslu temukan 59 kasus politik uang di Pilkada 2024

Sebelumnya, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menyampaikan hasil pengawasan Pemilihan Serentak 2024 dalam Rapat Perdana Komite I DPD RI bersama Bawaslu, KPU dan DKPP. Data tersebut dihimpun pada 30 November 2024 pukul 11.00 WIB.
Ketua Bawaslu, Rahmat Bagja mengungkapkan, ditemukan 22 masalah dalam pemilihan serentak yang digelar 27 November kemarin.
Dari total masalah tersebut, 14 masalah di antaranya terkait pemungutan suara, 5 masalah pada pelaksanaan perhitungan suara, 3 masalah pada pergeseran kotak suara dan pengumuman hasil perhitungan suara.
Sementara berdasarkan peristiwa, Bawaslu menemukan 59 kasus dugaan politik uang. 51 kasus di antaranya berasal dari laporan masyarakat.
“Adapun terdapat 59 peristiwa dugaan pembagian uang, delapan peristiwa temuan dan 51 laporan dari masyarakat. Serta 50 peristiwa peristiwa dugaan potensi pembagian uang, 12 hasil temuan dan 38 laporan dari masyarakat,” ungkap Bagja.
Bagja mengatakan, pelanggaran lainnya yang jadi sorotan ialah netralitas aparatur sipil negara (ASN). Ada 433 temuan dan laporan di Bawaslu terkait dugaan pelanggaran netralitas ASN.
Dari jumlah tersebut, terdapat 314 pelanggaran dan 99 bukan pelanggaran. Bagja memastikan, sudah merekomendasikan hal tersebut kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN).
"Bawaslu memustukan 314 antaranya merupakan pelanggaran dan 99 bukan pelanggaran, Bawaslu juga telah merekomendasikan ke BKN terkait pelanggaran yang dilakukan oleh ASN,” ungkap Bagja.