Cahaya Idul Fitri: Merajut Doa di Makam Abu Ayyub Al-Anshari

- Istanbul, kota besar di Turki, menjadi destinasi populer menjelang Idul Fitri dengan suasana yang khas dan sejarah Islam yang kental.
- Makam Abu Ayyub Al-Anshari di Masjid Eyup Sultan menjadi tempat ziarah terpopuler selama Ramadan, dikunjungi oleh turis lokal dan internasional.
- Di samping makam Abu Ayyub Al-Anshari, terdapat kompleks masjid, madrasah, dan pemandian khas Turki yang dibangun sesuai wasiat almarhum.
Jakarta, IDN Times - Petang tak biasa saat Bulan Ramadan di Istanbul, kota besar di Turki yang sudah lama dikenal sebagai pertemuan Benua Asia dan Eropa, menunjukkan wajahnya yang bising dan macet. Namun demikian, tempat ini tetap memikat para pelancong, khsusunya jelang perayaan Idul Fitri.
Saya, Ilyas Mujib (35), yang kebetulan sedang melakukan perjalanan dinas di Istanbul, ikut tersihir kehidmatan suasana di negara yang lekat dengan sejarah kejayaan Islam di masa lampau itu.
Sore itu, saya sudah siap bergegas menuju Distrik Eyub. Ikut rombongan kecil bergerilia, saya menerjang aspal basah ditemani langit berselimut mendung.
Menapaki rute yang cukup tersendat menunggangi Mercy Sprinter, saya menikmati perjalanan menuju ke luar tembok kota dekat The Golden Horn atau Tanduk Emas.
Saya kemudian sampai ke Eyup Sultan Camii (Masjid Eyup Sultan) tepat pukul 18.10 waktu Turki.
Tujuan saya ikut rombongan ini cuma satu, ziarah ke makam Abu Ayyub Al-Anshari, sambil ngabuburit menunggu waktu buka Puasa di Istanbul yang jatuh pukul 21.00.
Nama Masjid Eyup Sultan sendiri didedikasikan untuk Abu Ayyub al-Ansari. Dia merupakan salah satu sahabat Nabi Muhammad SAW, yang rumahnya sempat disinggahi Rasulullah lebih kurang tujuh bulan ketika hendak hijrah dari Mekah ke Madinah.
Dia juga meriwayatkan beberapa hadits. Khabar itu konon disampaikan langsung dari Nabi Muhammad SAW.
“Makam ini jadi satu-satunya makam Sahabat Nabi Muhammad yang ada di Turki,” kata Osman Ozmenn, rekan saya dari Turkiye Tourism Promotion anda Development Agency.
1. Makam Abu Ayyub Al-Anshari jadi destinasi wisata terpopuler saat Ramadan

Saya cukup antusias melakukan ziarah kali ini. Penasaran saja, ingin lihat bagaimana rupa makam sahabat Nabi Muhammad SAW ini.
Sebelumnya, ritus semacam ini paling banter saya lakukan ke makam Sunan Gunung Jati (Cirebon). Itupun terjadi saat saya masih bocah. Entahlah, yang pasti terjadi lebih dari 20 tahun silam.
“Kamu datang di waktu yang tepat,” kata Osman.
“Kenapa?” sahut saya bertanya kepadanya.
Menurutnya, makam Abu Ayyub Al-Anshari adalah destinasi wisata terpopuler yang sering didatangi selama Ramadan. Tak cuma turis lokal, pelancong dari berbagai belahan dunia acap datang untuk berziarah ke sana.
Tak hanya bagi umat Muslim, orang-orang Romawi bahkan dulu sengaja datang ke sana. Abu Ayyub al-Ansari sudah dianggap sebagai orang suci bagi mereka. Tak sedikit yang berziarah dan memohon doa di makamnya.
Sambil berjalan, salah satu rekan dari Indonesia, Alan kemudian mengajak saya berbicara soal perjalanan hidup Abu Ayyub al-Ansari.
“Kamu tahu Abu Ayyub al-Ansari meninggal kenapa? Dia tewas saat pengepungan pertama Konstantinopel oleh bangsa Arab (674-678),” kataya dengan yakin.
2. Sultan Mehmed II membangun lagi makam baru di tepi benteng Konstantinopel

Lalu Alan dengan lantang bicara, makam Abu Ayyub al-Ansari kemudian ditemukan Sultan Mehmed II dan para tentaranya. Makam itu kemudian dipindahkan sesuai wasiat almarhum.
“Sultan membangun lagi makam baru di tepi benteng Konstantinopel. Di sampingnya, dibangun sebuah kompleks masjid, lengkap dengan madrasah dan hammam bath atau pemandian khas Turki. Ini tempatnya,” beber Alan bak sejarahan.
Sambil bercakap perihal sejarahnya, saya dan rombongan berjalan melewati taman dan bazar besar. Tak terasa, akhinya kami masuk antrean menuju ruang yang jadi makan Abu Ayyub Al-Anshari, bersebelahan dengan Masjid Eyup Sultan.
Saya mendongak, memperhatikan makam Abu Ayyub al-Ansari. Rupanya tak jauh beda dengan makam-makam Islam lainnya, hanya ada tambahan emas dan perak, lampu kristal serta ubin Iznik bermotif yang menghiasinya.
Lantunan doa menemani langkah kaki saya berjalan perlahan menuju makamnya. Rasanya gugup. Terlebih ada kidung lembut nan syahdu yang mengiringi. Membuat kalbu terasa tenang.
Ini agak tak biasa bagi saya, pemuja musik heavy metal yang mengklaim bunyi distorsi cadas lebih bikin hati tenang ketimbang apapun.
3. Mendoakan Abu Ayyub Al-Anshari agar mendapat karunia Allah SWT

Sampai di depan makam Abu Ayyub Al-Anshari, saya merasa canggung. Saya bingung harus merespons apa. Maklum, ziarah bukanlah interaksi antara dua tubuh.
Tanpa tedeng aling-aling, saya gemetar. Bukan karena takut akan hal gaib yang dirasakan, tapi merasa takjub saja.
Kemudian Osman mengambil alih ritualnya.
“Karena saya sudah bisa Al-Fatihah, saya akan berdoa keras, kalian boleh mengikuti,” kata dia.
“Baiklah, tentu saja,” sahut kami dengan semangat.
Dengan lancar, mungkin setengah pamer, Osman komat-kamit melafalkan doa. Begitu khusyuk dia memanjatkan ayat-ayat, walau sebagian besar tak saya pahami soal terjemahannya.
Kenapa ya, pikir saya, kok bisa mengamini doanya.
“Mukjizat doa ya, kita gak paham tapi yakin ini baik dan diamini semua,” kata Alan sambil berebisik pelan kepada saya.
Tanpa diskusi kami semua langsung sepakat dan yakin, Osman mendoakan Abu Ayyub Al-Anshari agar mendapat karunia Allah SWT.
Tak berselang lama, kami beranjak pergi bergantian dengan peziarah lainnya yang ingin melihat makam Abu Ayyub Al-Anshari.
4. Singgah untuk Salat Asar di Masjid Ayyub Sultan

Saya kemudian singgah sebentar ke masjidnya. Di dalam sudah penuh sesak orang-orang bersahutan melantunkan doa.
Saya sempat Salat Asar di Masjid Ayyub Sultan. Itu tak ada dalam rencana, tapi rasanya hati saya menuntun untuk coba bercengkrama dengan Allah SWT di tempat istimewa itu.
Waktu Salat Asar di sini memang lebih petang ketimbang di Indonesia. Sebab, Turki sedang masuk transisi musim dingin ke panas, sehingga waktu siang berjalan lebih lama.
Bagi saya yang tak begitu religius, ngabuburit di pengujung Ramadan dengan berziarah ke makam Abu Ayyub Al-Anshari dan merasakan salat di sana ternyata amat nikmat.
Entahlah, rasanya senang saja beribadah di salah satu tempat paling suci bagi umat Islam, setelah Mekah, Madinah, dan Yerussalem atau al-Quds.
Beberapa saat sebelum Magrib, saya dan rombongan kemudian dijemput Mercy besar berwarna hitam. Kami bertolak ke salah satu resto di bukit Pierre Loti Tapesi Tesisler untuk buka Puasa.
Di sana, kami disuguhkan hidangan khas Turki sambil menikmati pemandangan bangunan bersejarah era Konstantinopel dan Kesultanan Usmaniyah yang terbelah oleh Tanduk Emas.