Catatan Aksi Teror Dalam Telegram, Ada Rencana Pembunuhan Ahok

Akhir-akhir ini kita diramaikan oleh media cetak maupun elektronik tentang pemblokiran aplikasi pesan instan asal Rusia, yaitu Telegram. Bukan itu saja. Pemblokiran oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) sejak Jumat (14/7/2017) lalu ini menjadi sebuah perdebatan hangat baik para petinggi pemerintahan maupun netizen, yang dinilai memiliki kebijakan hanya sepihak tanpa ada pemberitahuan dahulu.
Namun dilihat dari itu semua, pemerintahan punya alasan sendiri dan sangat kuat dalam mengambil keputusan untuk memblokir akun tersebut di Indonesia. Hal ini karena pemerintah dan aparat penegak hukum menemukan layanan Telegram yang diluncurkan sejak 2013 ini sering digunakan untuk membagi pesan terkait terorisme. Lantas apa yang membuat Telegram menjadi aplikasi yang begitu diminati?
Bagi yang belum tahu, inilah keunggulan dan kecanggihan aplikasi Telegram tersebut.

Dilansir dari laman guidingtech.com, Telegram kerap disandingkan dengan WhatsApp yang dirasa memiliki fitur serupa, semisal bisa mengirimkan foto, video, hingga klip audio kepada teman. Namun meski terlihat serupa, nyatanya kedua pesan instan itu memiliki perbedaan cukup signifikan dalam hal keamanan dan fungsi.
Berbeda dengan WhatsApp. Sistem enkripsi Telegram dirasa lebih terjaga. sistem enkripsi WhatsApp cenderung lebih mudah diretas oleh hacker. Sementara Telegram menggunakan teknologi MT Proto sebagai ‘tulang punggung’ aplikasinya.
Protokol ini diklaim sebagai sistem enkripsi yang tak dapat diretas. Bahkan pada tahun 2015, untuk menantang sekaligus membuktikan kekuatan MT Protokol yang antiretas, Telegram membuka kompetisi dengan hadiah 300 ribu dolar AS bagi mereka yang mampu membongkar surat elektronik dan pesan rahasia yang dikirimkan oleh Nick dan Paul--dua tokoh bayangan sebagai studi kasus kompetisi tersebut. Namun dalam kompetesi tersebut, tidak ada yang bisa membobol aplikasi tersebut. Canggih bukan?
Nah dengan tingkat keamanan yang sangat tinggi inilah yang lantas menjadikan Telegram sebagai pesan paling diminati oleh jutaan pengguna. Jadi, tak heran banyak pengguna yang tertarik menggunakan Telegram. Termasuk teroris. Lantas, apa yang menjadi alasan pihak pemerintah memblokir aplikasi Telegram ini?
Nah Inilah alasan terkait pemblokiran aplikasi Telegram ini.

Seperti dilansir dari laman kompas.com, dalam jumpa pers yang diselenggarakan di kantor Kemkominfo, Senin (17/7/2017), Dirjen Aplikasi Informatika (Aptika), Semuel A Pangerapan, mengungkap alasan pemerintah hanya memblokir versi web Telegram karena di sana ada fitur transfer data atau dokumen yang ukurannya sangat besar.
"Ada di antara dokumen itu yang terindikasi mengandung atau mengarahkan seseorang untuk terlibat dalam gerakan radikal serta terorisme. Langkah itu dilakukan karena versi web dari Telegram ada kemampuan lebih, seperti mengirim besar 1,5 GB. Lewat fitur itulah mereka (teroris) bertransfer informasi. Ini alasan kenapa web-nya diblokir, juga jadi peringatan keras agar ada koordinasi setelah ini," ujar Semuel.
Dengan adanya kapasitas yang besar dan spesial itu, Telegram paling banyak digunakan untuk mengajarkan pembuatan bom. Bahkan dari bahan-bahan sederhana yang mudah ditemui di sekitar. Bukan itu saja. Di dalam penggunaan aplikasi Telegram terdapat oknum-oknum yang berperan penting dalam perencanaan dalam melakukan aksi terorisme. Contohnya adanya proses pembunuhan serta pengeboman di berbagai tempat ibadah dalam perencanaan aksi mereka.
Selain itu, inilah daftar 17 aksi teror di Indonesia yang jadi alasan kuat pemblokiran aplikasi Telegram itu.

Dilansir dari laman multimedianews.polri.go.id, dalam paparannya, Semuel Pangerapan memperlihatkan catatan aksi teror mana saja yang dilakukan dengan memanfaatkan Telegram sebagai alat komunikasi. Rinciannya sebagai berikut:
- 23 Desember 2015: Rencana bom mobil tempat ibadah dan pembunuhan Ahok.
- 14 Januari 2016: Bom dan penyerangan bersenjata api di jalan MH Thamrin, Jakarta.
- 5 Juni 2016: Bom Mapolresta Surakarta.
- 8 Juni 2016: Rencana pengeboman Pos Pol Lantas Surabaya.
- 28 Agustus 2016: Bom Gereja Santa Yoseph Medan.
- 20 Oktober 2016: Penyerangan senjata tajam Pos Pol Lantas Tangerang.
- 13 November 2016: Bom Gereja Oikumene Samarinda.
- 23 November 2016: Rencana pengeboman DPR RI dan DPRD.
- 10 Desember 2016: Rencana pengeboman Istana Merdeka.
- 21 Desember 2016: Rencana pengeboman Pos Polisi Tangerang.
- 25 Desember 2016: Rencana penyerangan senjata tajam Pos Polisi Bundar Purwakarta.
- 27 Februari 2017: Bom Cicendo Bandung.
- 8 April 2017: Penyerangan senjata api Pos Polisi Tuban.
- 24 Mei 2017: Bom Kampung Melayu Jakarta.
- 25 Juni 2017: Penyerangan senjata tajam penjagaan Mako Polda Sumut.
- 30 Juni 2017: Penyerangan senjata tajam di Masjid Falatehan Jakarta.
- 8 Juli 2017: Bom panci Buah Batu Bandung
Atas dasar aksi-aksi inilah, dan didukung oleh data lain, Kemkominfo memutuskan untuk memblokir Domain Name System (DNS) dari Telegram untuk menahan banyaknya kanal (channel) terorisme di layanannya. Semuel mengklaim pemblokiran bisa dibilang efektif karena para teroris itu mulai kalang kabut mencari sarana komunikasi lain.
Nah itu gaes beberapa alasan yang membuat pemerintahan memblokir aplikasi pesan singkat Telegram itu.