Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Curahan Hati Ayah Petugas Kesehatan yang Tewas di Papua

WAFAT. Berni Kunu wafat di usia yang tergolong muda, 24 tahun. Foto dari akun Facebook Kunu J. Pieter

JAKARTA, Indonesia —Suara Pieter J. Kunu, pria kelahiran Ambon, 23 Desember 1964 terdengar sangat solid. Padahal baru hitungan hari sejak anak keduanya, Berni Kunu, meninggal dunia saat menjalankan tugas pelayanannya di pedalaman Papua. Kamis, 29 Maret 2018, Berni ditemukan meninggal dunia di Kampung Yabasorom, Distrik Pamek, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua.

Jenazah Berni ditemukan terkubur di liang lahat yang digali tak terlalu dalam, dekat dengan basecamp tempat ia dan teman-temannya menunaikan misi pelayanan sebagai petugas kesehatan. Berni diduga tewas usai diserang sekelompok orang yang datang menghampiri basecamp pelayanan kesehatan tersebut, Kamis, 29 Maret pagi.

Kapolda Papua, Irjen Pol Boy Rafli sebelumnya sudah membenarkan bahwa Berni tewas karena dugaan penyerangan oleh Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), Kamis, 29 Maret, seperti dilansir iNews.com.

Pada Rappler, Selasa, 3 April, Pieter yang berprofesi sebagai dosen di Universitas Pattimura, Ambon, bertutur tentang kisah hidup putranya.

Pendiam tapi suka menghibur

Berni lahir 24 tahun yang lalu di Ambon. Ia adalah anak kedua dari tiga bersaudara. Meski lahir di Ambon, sekitar tahun 1999, saat kerusuhan marak di Ambon, saya dan ibu Berni, Martha Tuamulya memutuskan untuk memboyong tiga anak kami ke Manado. Sejak itu kami menetap di Manado.

Berni menyelesaikan pendidikannya, dari Sekolah Dasar hingga kuliah di Manado. Di masa kecilnya, Berni adalah anak yang sangat baik. Dia tidak banyak bicara memang. Dia lebih suka membaca buku dan menyendiri di kamarnya. Meski teman-temannya lebih banyak bermain di luar ruangan saat itu.

Default Image IDN

Tapi meskipun begitu, Berni bukan anak yang tertutup. Saat waktunya bicara, dia akan bicara. Bahkan tak jarang, saat dia berbicara, kami semua dibuat tertawa dengan banyak tingkah polahnya yang menghibur. Dia disukai banyak orang, di keluarga dan di sekolah. Dia sangat suka bikin kami senang dan tertawa.

Sejak kecil pula, Berni sudah dekat dengan pelayanan. Mungkin karena kami orangtuanya juga aktif di pelayanan. Bukan cuma di gereja, tapi juga di organisasi. Jiwa melayani itu sudah dimiliki Berni sejak kecil. Di gereja ia aktif, di luar juga. Semangat melayani itu yang tidak pernah hilang dari diri Berni sejak kecil bahkan sampai dia dewasa.

Selesai dari pendidikan keperawatannya, Berni jadi perawat. Tapi setelah itu, ia lantas meneruskan pendidikan ke jurusan kesehatan di Universitas Klabat (Unklab) Airmadidi, Minahasa Utara. Setelah menyelesaikan pendidikannya itulah, Berni memiliki keinginan untuk menerapkan ilmunya dalam bentuk pelayanan pada masyarakat.

Mengabdi di Papua

Sekitar Agustus 2017, Berni mengungkapkan keinginannya untuk mengabdikan diri sebagai tenaga kesehatan di Papua. Kebetulan saat itu ia ditawari pekerjaan pelayanan oleh sebuah perusahaan penerbangan milik gereja Advent di Sentani, Papua. Sebelumnya, teman dekat Berni juga melakukan hal serupa, mengabdi sebagai tenaga pendidik di Wamena, Papua.

Saat Berni mengungkapkan keinginannya melayani di Papua, saya sebagai orangtua tidak pernah melarang. Tapi kami memberikan masukan dan berdiskusi dengan Berni. Hal-hal apa yang perlu dipertimbangkan sebelum Berni benar-bena rmemutuskan untuk pindah ke Papua. Dan Berni sangat mantap dengan keputusannya saat itu. Sebagai orangtua, saya dan ibunya hanya bisa mendukung dan mendoakan keselamatannya.

Default Image IDN

Berni sangat bersemangat memulai tugas pelayanannya. Ia memang sangat berdedikasi, meski harus melakukan tugasnya di pedalaman Papua, dari satu desa ke desa lain. Karena lokasi desa yang sangat terpencil, kami pun tak banyak berkomunikasi selama Berni bertugas melayani di sana. Tapi setiap ia menemukan lokasi dengan sinyal yang baik, dia pasti menghubungi kami, bertukar kabar. Setiap dia menelepon, dia terdengar sangat bersemangat. Itu pula yang meyakinkan kami bahwa Berni baik-baik saja di Papua.

Kalau saya ingat-ingat, pertemuan saya dengan Berni terakhir kali adalah saat libur Natal dan Tahun Baru lalu. Setelah itu, terakhir kali kami berkomunikasi sekitar dua bulan lalu. Saat itu, Berni masih terdengar sangat bersemangat. Justru saya yang merasakan firasat yang kurang enak. Entah kenapa, saya mencemaskan Berni saat itu. Saya cuma berpesan agar dia berhati-hati karena memang sedang banyak kasus kriminal yang terjadi di Papua saat itu. Tapi saya merasakan firasat itu.

Tapi saat itu justru Berni yang menenangkan saya dengan kata-kata penuh iman. Bahkan dia bilang dia ingin segera menikah dengan teman dekatnya agar pelayannya di Papua bisa lebih baik.

Diserang mendadak

Setelah komunikasi terakhir saya dengan Berni dua bulan lalu itu, kami tidak pernah lagi berbicara, sampai akhirnya saya menerima kabar duka dari salah satu rekan kerja Berni di Papua, Jumat, 30 Maret. Menurut penuturan rekan Berni, anak saya itu meninggal dunia. Saya bingung dan kaget. Apa yang terjadi sebenarnya?

Akhirnya saya memutuskan untuk menghubungi perusahaan tempat Berni mengabdi di misi pelayanannya. Saya menghubungi sendiri Direktur Utama dan Direktur Pelayanan Masyarakatnya. Setelah saya hubungi, mereka bercerita bahwa mereka pun tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan kabar duka ini pada keluarga kami. Setelah mendengar kepastian kematian  Berni, saya seperti tidak percaya.

Bahkan rasanya seperti tidak terjadi saja. Sampai akhirnya jenazah Berni tiba di Manado Sabtu, 31 Maret. Saat itu saya baru menyadari bahwa anak saya benar-benar sudah tidak ada...

Kami bahkan tidak bisa membuka peti Berni karena kondisi jenazah yang sudah tidak layak. Katanya, Berni memang sudah dikuburkan setelah diserang. Saya dan keluarga mencoba menerima semuanya sekuat hati kami.

Jujur, banyak pertanyaan yang menggelayut di pikiran kami tentang kematian Berni. Apalagi, hingga sekarang, kami tidak pernah menerima penjelasan langsung baik dari pihak perusahaan tempat Berni melayani ataupun dari polisi. Satu-satunya penjelasan yang kami terima adalah dari rekan Berni yang ada di lokasi kejadian saat penyerangan terjadi.

Default Image IDN

Menurut mereka, Kamis, 29 Maret sekitar pukul 09:00, ada sekelompok orang yang datang ke basecamp pelayanan mereka. Ada 23 orang yang datang dan mereka terbagi dalam 3 kelompok. Entah kenapa, mereka sepertinya sudah menargetkan untuk menyerang Berni saja. Satu kelompok katanya sengaja berbincang dengan rekan Berni yang lain, mungkin untuk mengalihkan perhatian. Sementara dua kelompok lainnya mendekati Berni yang saat itu sedang mandi di sungai. Padahal jarak antara sungai dan lokasi teman-teman Berni hanya sekitar 50 meter katanya.

Tapi Berni diserang begitu saja hingga meninggal dunia...

Menurut informasi yang saya dengar, Berni diserang karena diduga jadi intel militer Indonesia. Mereka (kelompok penyerang) berasumsi bahwa Berni rutin berkomunikas dengan militer Indonesia dengan radio. Kalau radio satelit, memang mereka punya fasilitas itu di basecamp karena kondisi sinyal yang tidak memungkinkan. jadi radio itu dipakai untuk berkomunikasi. Tapi saya tidak tahu alasan jelasnya kenapa mereka menyerang Berni.

Rencana pernikahan

Hingga saat Berni dimakamkan hari Minggu, 1 April, kami masih berusaha tegar dan mencerna semuanya. Kami tidak menyangka Berni meninggalkan kami begitu cepat. Padahal tepat di hari kematiannya, kami sekeluarga berkumpul untuk membicarakan rencana pernikahan Berni. Ya, seharusnya Berni dan teman dekatnya akan menikah Januari 2019 nanti. Tapi justru di hari kami membicarakan rencana pernikahannya, di hari itu pula Berni ternyata dipanggil Tuhan.

Di mata kami, Berni tidak pernah menyusahkan. Sejak kecil pun, ia tidak pernah membantah orangtuanya. Semua yang saya minta dia kerjakan, semua tuntas dikerjakan. Tidak sekalipun dia berkata "tidak" pada semua yang saya anjurkan dan beritahukan padanya. 

Sebagai manusia, tentu sakit sekali rasanya kehilangan anak begitu cepat. Tapi secara iman dan percaya, kami yakin ini semua rencana Tuhan yang terbaik untuk Berni. Tapi lagi-lagi, secara manusia, kami tidak pernah berharap kejadian ini akan terjadi lagi. Karena itu kami benar-benar mengharap pemerintah menuntaskan kasus ini dengan baik. Bukan satu dua kali kejadian seperti ini terjadi di Papua.

Banyak anak-anak muda seperti Berni yang mengabdikan waktu dan hidup mereka membantu dan melayani masyarakat di pedalaman Papua. Semoga tidak ada Berni lain yang mengalami hal serupa...

Janji pernikahan

Adalah Yuni Penna, kekasih Berni yang juga mengungkapkan isi hatinya usai kematian sang tunangan. Di laman Facebooknya, Yuni mencurahkan isi hatinya sepeninggal Berni. Bagaimana rencana pernikahan mereka dan bagaimana pula ia menguatkan diri usai kepergian Berni menghadap Yang Kuasa.

Begini isi hati Yuni:

Waktu saya mendengar dari Nensi Karel kalau Berni berencana mau mengikuti pelatihan Medical Missionary, doa pertama aaya untuk Berni adalah, "Tuhan kalau memang benar Berni akan ikut pelatihan tersebut, Berni akan jadi alat Tuhan yang besar". Dan saya percaya doa itu sudah terjawab melalui kejadian ini.

Saya pernah bertanya kepada Berni. "Ber, kalau seandainya kita pena, Berni suka mau jadi apa? Kase alasannya". Berni menjawab, "Saya mau jadi tinta, karena pena nda ada tinta nda berguna". Berni sudah benar- benar sangat mengisi kehidupan saya dengan cara yang luar biasa sampai akhir hidupnya, dan saya yakin hal yang sama terjadi pada kita semua.

Pernyataan Berni yang selalu menguatkan Saya adalah "God still in control". Ketika aaya bertanya tentang kabar dan kondisinya, Berni selalu menjawab "Puji Tuhan, masih bernafas". Sekarang Berni sudah tidak bisa lagi memberikan jawaban yang sama terhadap pertanyaan saya, tapi saya percaya semangat pelayanannya masih tetap ada.

Default Image IDN

Respon pertama saya ketika mendengar berita ini tidak percaya, dan bertanya-tanya, "Kenapa kita pe Berni dang? Kenapa Berni yang diincar? Kenapa bukan misionaris yang lain? Kenapa Berni yang jadi korbannya?" Lalu saya mendapat jawaban atas pertanyaan saya, yang saya yakin itu dari Tuhan. Kenapa Berni? Karena dari semua missionaris yang ada pada waktu itu, iman Berni lah yang paling siap untuk mengalami kematian sahid. Karena keluarga Berni lah yang kuat, paling kuat saat ini untuk menerima kejadian tersebut, dan orang-orang terdekat Berni lah yang paling tabah menghadapi semua ini.

Pertemuan terakhir kami 14 Januari 2018 dan pembicaraan terakhir kami pada tgl 1 Maret 2018 dengan pokok pembicaraan tentang rencana pernikahan kami 6 January 2019. Tentang gedung, konseling, pre-wedding, jumlah undangan, suvenir dan lain-lain. Berni meminta saya untuk mencoba menuliskan janji pernikahan kami, karena Berni pun telah mencoba untuk membuatnya. Dan saya bersyukur kepada Tuhan bisa membaca dan memegang teks janji pernikahannya yang Berni telah tulis dengan tangannya sendiri yang disimpan di dalam Alkitabnya.

Seperti yang saya saksikan sebelumnya, bahwa Berni terkenal dengan orang yang suka berbicara tanpa henti dengan nada suara yang lantang dan besar. Dan sampai saat ini walaupun Berni sudah tidak ada tapi Berni masih tetap berbicara dengan suara yang lebih besar lagi dari sebelumnya sampai ke seluruh dunia mendengarnya. 

Sekarang Berni sudah mendahului kita, jangan tutup telinga Anda untuk tidak mendengar panggilan-panggilan yang datang untuk melayani Tuhan dan sesama selagi kita hidup di dunia ini. Filipi 1:21, "Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan". Sampai saat ini saya masih mau katakan "How Great Thou Art in our Relationship"; "I thank God for Him"; and "I still Love My Lord and My Berni Fellery Kunu forever, God be with you till we meet again"...

—Rappler.com

Share
Topics
Editorial Team
Yetta Tondang
EditorYetta Tondang
Follow Us