Deretan Pejabat yang Dapat Terdampak Tata Tertib Baru DPR

- Tata tertib baru DPR menuai kritik karena memberikan kewenangan parlemen untuk mengevaluasi pejabat negara.
- Pejabat yang melalui uji kepatutan dan kelayakan bisa dievaluasi, dan hasil evaluasi tersebut mengikat.
- Kritik terhadap revisi tata tertib DPR datang dari Lukman Hakim Saifuddin yang menyebutnya inkonstitusional dan rentan disalahgunakan.
Jakarta, IDN Times - Tata tertib baru DPR yang tertulis di Peraturan DPR nomor 1 tahun 2020 dan disahkan pada 4 Februari 2025 lalu sudah menuai banjir kritik. Hal itu lantaran posisi parlemen semakin kuat dalam menentukan pejabat negara.
Parlemen kini memiliki kewenangan untuk menilai kinerja seorang pejabat bila tidak memenuhi ekspektasi. Mereka dapat merekomendasikan pencopotan seorang pejabat negara dan rekomendasi tersebut harus dijalankan.
Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Bob Hasan mengatakan pejabat negara yang dapat dievaluasi oleh parlemen adalah mereka yang melalui uji kepatutan dan kelayakan serta disahkan melalui sidang paripurna. Sejumlah pejabat yang melalui proses tersebut antara lain Panglima TNI, Kapolri, Gubernur Bank Indonesia, Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia, pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), pimpinan Mahkamah Agung (MA), pimpinan Komisi Pemilihan Umum (KPU), calon anggota Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), pimpinan Badan Pengawas Pemilu, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) calon hakim Mahkamah Konstitusi (MK), para duta besar Indonesia yang ditempatkan di negara lain hingga pimpinan Komnas HAM.
Bob mengatakan rekomendasi DPR terkait penilaian kinerja disebut mengikat dan harus dijalankan. "Aturan tersebut mengikat (ke pejabat yang dievaluasi). Seperti halnya ketika calon tersebut melakukan fit and proper test. Sehingga hasil evaluasi kinerja pejabat setelah menjabat juga memiliki kekuatan yang sama," ujar Bob ketika dikonfirmasi pada Rabu (5/2/2025).
Bagaimana mekanisme untuk merekomendasikan pencopotan seorang pejabat?
1. DPR akan minta ke komisi terkait untuk dilakukan lagi uji kepatutan dan kelayakan

Lebih lanjut, politikus dari Partai Gerindra itu menjelaskan bila hasil evaluasi parlemen menyatakan seorang pejabat perlu untuk dicopot, maka parlemen akan meminta kepada komisi terkait untuk kembali menggelar uji kepatutan dan kelayakan. Tujuannya, untuk menyeleksi pengganti pejabat tersebut.
"Tentunya kembali dulu kepada komisi terkait. Karena yang memberikan fit and proper test itu melalui AKD (Alat Kelengkapan Dewan) atau komisi terkait," ujar Bob.
Dengan adanya perubahan aturan tersebut, DPR kini memiliki kewenangan lebih besar dalam mengevaluasi pejabat negara, terutama mereka yang dinilai memiliki kinerja buruk. "Arahnya sekarang sudah jelas. DPR memiliki kewenangan untuk melakukan evaluasi, dan hasilnya bisa menjadi dasar penggantian pejabat," tutur dia.
2. Tata tertib baru DPR dinilai inkonstitusional

Pengurus organisasi Gerakan Nurani Bangsa (GNB), Lukman Hakim Saifuddin menilai revisi tata tertib DPR bersifat inkonstitusional. "DPR, MA, MK dan KPK itu lembaga negara yang setara dan mandiri. Yang satu bukan lah subordinasi dari lembaga lainnya," ujar Lukman di dalam keterangan tertulis, Rabu kemarin.
Maka, hak dan kewenangan DPR untuk mengajukan usulan calon hakim MK, menyetujui calon hakim MA atau memilih komisioner komisi antirasuah konteksnya terbatas dalam hal pemilihan anggota lembaga negara semata. Sama sekali tidak ada kewenangan DPR untuk memberhentikan para pejabat lembaga negara yang dimaksud.
"Mekanisme pemberhentian mereka diatur tersendiri di dalam undang-undang masing-masing lembaga negara," kata mantan Menteri Agama itu.
Lebih lanjut, Lukman mengatakan, bila DPR memaksa untuk memberhentikan pejabat negara yang mekanisme pemilihannya melalui DPR, maka Panglima TNI, Kapolri dan para duta besar juga bisa diberhentikan oleh parlemen sewaktu-waktu.
"Bila itu yang terjadi, maka penerapan sistem ketatanegaraan kita bisa menjadi kacau balau," kata Lukman.
Ia menggarisbawahi tata tertib DPR seharusnya hanya mengatur dan mengikat ke dalam atau internal parlemen saja. Parlemen tak bisa membuat tata tertib yang mengatur dan mengikat negara lain di luar dirinya.
3. Pejabat yang hendak dicopot bisa menolak hasil evaluasi DPR

Pria yang juga menjabat sebagai Ketua Forum Konstitusi itu mengatakan pejabat yang hendak dicopot bisa menolak hasil evaluasi yang direkomendasikan oleh parlemen. Ia kembali mengingatkan bahwa aturan yang dibuat oleh parlemen hanya berdampak ke diri mereka sendiri.
"Sebab, peraturan itu tak bisa mengikat ke luar dan juga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada di atasnya," kata Lukman kepada IDN Times melalui pesan pendek pada Rabu kemarin.
Ia mengatakan Indonesia menganut sistem presidensial, di mana jabatan presiden dan pejabat negara lainnya sifatnya berjangka waktu tetap. "Artinya, ia hanya bisa diberhentikan di tengah masa jabatannya hanya bila dalam kondisi khusus atau tertentu seperti yang diatur di dalam UU," tutur dia.
Lukman menilai kewenangan baru DPR ini rentan disalahgunakan. Sebab, melalui revisi tatib, kewenangan DPR dalam menentukan posisi pejabat negara semakin besar.
"DPR bisa abused of power," imbuhnya.