Deretan Kontroversi Mewarnai 10 Tahun Pemerintahan Jokowi

Jakarta, IDN Times - Presiden Joko "Jokowi" Widodo telah memimpin Indonesia sejak tahun 2014 silam dan secara resmi akan memasuki purna tugas pada 20 Oktober 2024. Kepemimpinannya akan digantikan oleh Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto yang berhasil memenangkan pemilihan umum (pemilu) 2024.
Selama 10 tahun memimpin Indonesia, kebijakan yang diambil menuai dukungan dan kritik besar-besaran di kalangan masyarakat sipil. Pada tahun 2019 silam misalnya, lautan massa turun ke jalan saat Presiden Jokowi dinilai menggembosi muruah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Alih-alih mendengarkan desakan masyarakat, Jokowi tetap acuh dan tak sedikitpun mengubah jalan pikirannya untuk merevisi UU KPK. Aksi demo itu pun tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga meluas ke daerah lain di Indonesia.
Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) RI yang kala itu masih dijabat oleh Yasonna Laoly dari PDIP memastikan Jokowi tetap tidak akan mengubah kemauannya demi merevisi UU KPK.
Kala itu, Yasonna mengutip pernyataan Presiden Jokowi agar bagi yang menolak UU KPK direvisi segera mengajukan judicial review (JR) ke Mahkamah Konstitusi.
"Kan saya sudah bilang, sudah Presiden bilang, gunakan mekanisme konstitusional. Lewat MK dong. Masak kita main paksa-paksaan (supaya Presiden mencabut UU KPK). Sudahlah," kata Yasonna di Istana Kepresidenan Jakarta pada Rabu, 25 September 2019 silam.
Berikut ini adalah deretan kontroversi yang mewarnai masa kepemimpinan Jokowi.
1. Bernafsu merevisi Undang-Undang KPK

RUU KPK pada 2019 menjadi salah satu kebijakan yang menuai banyak kecamana selama kepemimpinannya di republik ini.
Salah satu poin yang dinilai sangat melemahkan KPK sebagai lembaga antirasuah di dalam Undang-Undang baru yang diketok pada 17 Oktober 2019 lalu adalah dibentuknya Dewan Pengawas. Ide pembentukan ini sebenarnya sudah lama didengungkan dan sempat tak diwujudkan.
Namun, di dalam UU baru mengenai KPK, poin tersebut tidak hanya dimasukan namun anggota Dewan Pengawas diberikan kekuasaan maha besar.
Ia tidak hanya menggantikan posisi penasihat komisi antirasuah, namun juga diberi kewenangan pro justicia seperti memberikan izin kepada penyidik di komisi antirasuah untuk melakukan penyadapan, penggeledahan dan penyitaan.
Merujuk ke dalam UU baru KPK, poin mengenai keberadaan Dewan Pengawas tertulis dengan jelas di pasal 21 ayat (a). Di sana tertulis "Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas Dewan Pengawas yang berjumlah lima orang."
Sementara, pasal yang khusus menjelaskan secara detail peran dan persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Pengawas tertuang di pasal 37A-37G. Yang menjadi sorotan, di dalam poin yang mengatur persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Pengawas, hanya dicantumkan mereka tidak boleh anggota atau pengurus partai politik. Padahal, di dalam penjelasannya, Presiden Joko "Jokowi" Widodo juga meminta agar anggotanya juga bukan berasal dari birokrasi atau militer.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhana, sempat menyampaikan, informasi mengenai upaya penyadapan dan penyitaan justru akan bocor lebih dulu kepada anggota DPR dan penyelenggara lainnya.
"Pasti (ada kebocoran informasi). Memang sejak awal ini ada campur tangan eksekutif dan legislatif dalam penindakan KPK yang seharusnya bisa dilakukan secara independen oleh struktur di KPK yang sudah jalan dengan baik," kata Kurnia.
Selain itu, dalam UU yang baru, KPK juga diberikan kewenangan untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Di sana tercantum ketentuannya, kasus-kasus yang bisa dikeluarkan SP3 yakni kasus yang pengusutannya tidak tuntas dalam waktu dua tahun.
Dalam pasal 40 juga tercantum, anggota dewan pengawas harus diberi tahu secara tertulis paling lambat satu minggu usai dikeluarkan SP3.
Adapun, dokumen SP3 itu dapat dicabut, bila pimpinan KPK menemukan bukti baru yang dapat membatalkan alasan penghentian penyidikan dan penuntutan atau berdasarkan putusan praperadilan sebagaimana yang dimaksud dalam peraturan perundang-undangan. Apabila KPK mengeluarkan SP3, maka komisi antirasuah wajib mengumumkannya ke publik.
2. Pemindahan ibu kota negara

Jokowi juga bernafsu untuk memindahkan ibu kota negara ke Penajam Paser Utara di Kalimantan Timur. Meski rencana ini bertujuan untuk mengurangi beban Jakarta dan mendorong pemerataan pembangunan, banyak pihak mempertanyakan urgensi dan dampak lingkungan dari proyek besar tersebut.
Revisi UU IKN pun dikebut di parlemen demi memuluskan nafsu politik Kepala Negara. DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (IKN) menjadi UU pada Selasa, 18 Januari Tahun 2022.
UU tersebut lantas menjadi payung hukum atas semua aktivitas pemindahan ibu kota dari Jakarta ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU), Kalimantan Timur. Rencana pemindahan ibu kota ke lokasi baru secara resmi disampaikan oleh Jokowi dalam pidato tahunan di gedung DPR Senayan pada 16 Agustus 2019 silam.
Meski payung hukum sudah terbit, namun pemindahan itu belum berjalan mulus. Presiden Jokowi bahkan telah memberikan sinyal tak akan meneken Keputusan Presiden (Keppres) Pemindahan Ibu Kota Nusantara (IKN).
Ia lantas berbicara bahwa pemindahan ibu kota itu bukan hanya terkait urusan fisik saja, tapi ekosistemnya harus jadi terlebih dahulu.
"Sekali lagi saya sampaikan, memindahkan ibu kota itu tidak hanya urusan fisiknya saja, tapi membangun ekosistemnya itu yang perlu, ekosistem itu harus jadi," ujar Jokowi.
Di ujung pemerintahannya, Jokowi sempat merasakan bermalam di IKN. Pada Minggu, 27 Juli 2024 lalu, menjadi kali pertama bagi dirinya bermalam di Istana Kepresidenan IKN. Namun, Jokowi mengakui saat pertama kali bermalam di IKN, ia mengaku tidurnya tidak nyenyak.
"Tadi malam saya tidur di sini, enggak nyenyak. Saya ngomong apa adanya," kata Kepala Negara berseloroh.
Nasib pemindahan IKN pun kini berada di tangan Presiden Terpilih Prabowo Subianto yang baru secara resmi akan mengucapkan sumpah janji jabatan di hadapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Republik Indonesia pada 20 Oktober 2024.
3. Wacana perpanjangan masa jabatan tiga periode

Salah satu kontroversi terbesar lainnya yang mencuat menjelang akhir periode kedua Jokowi adalah wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi tiga periode.
Jokowi sempat secara tegas menolak ide tersebut, namun wacana ini tetap berkembang di kalangan pendukung politik dan elit tertentu.
Munculnya wacana ini juga memicu perdebatan luas di masyarakat. Banyak yang khawatir wacana ini berpotensi mengganggu prinsip demokrasi dan pembatasan kekuasaan di Indonesia.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan kala itu sempat menuturkan, Presiden Jokowi tak berminat untuk menjabat sebagai presiden selama tiga periode.
Namun jika banyak pihak yang mendorong Jokowi untuk kembali maju dalam pemilihan presiden, kata Irfan, keputusan akan diserahkan kembali kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
"Itu kembali lagi kepada MPR. Nanti teman-teman di MPR yang menyerap aspirasi itu," kata Irfan.
Penolakan terhadap wacana tersebut terus bermunculan. Presiden Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Ahmad Syaikhu sempat menyatakan, masa jabatan Presiden RI tiga periode tidak sesuai fitrah demokrasi. Menurutnya, demokrasi akan semakin tidak sehat dan mundur ke belakang dengan kebijakan tersebut.
"Dua periode sudah cukup untuk presiden. Ini adalah amanat reformasi dan konstitusi yang harus kita jaga. Wacana jabatan presiden tiga periode tidak sesuai dengan fitrah demokrasi," ujar Syaikhu.
Setelah berbagai penolakan yang terus bermuara di permukaan publik, Presiden Jokowi sempat memberikan pernyataan bahwa ia tidak setuju dengan usulan mengubah jabatan presiden menjadi tiga periode dalam amandemen UUD 1945. Menurut Jokowi, usulan tersebut sama saja dengan menampar wajahnya.
"Ada yang ngomong presiden dipilih tiga periode. Itu ada tiga (maknanya) menurut saya. Satu, ingin menampar muka saya, yang kedua, ingin cari muka. Padahal saya sudah punya muka, yang ketiga ingin menjerumuskan," kata Jokowi.
Meski banyak kontroversi yang menyertai masa kepemimpinannya, Jokowi tetap menjadi sosok yang populer dan mendapat dukungan luas di kalangan akar rumput.
Jajak pendapat Lembaga Survei Indikator Politik mencatat, sekitar 75 persen masyarakat Indonesia masih merasa puas dengan kinerja Jokowi menjelang masa jabatannya.
"Mayoritas merasa puas dengan kinerja Presiden Jokowi 75 persen," kata Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi.