Di Balik May Day: Buruh Perempuan Diimpit Krisis dan Diskriminasi

Jakarta, IDN Times - Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) juga menjadi catatan bagi pekerja perempuan di Indonesia. Kalyanamitra dan International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) menyoroti semakin parahnya kondisi buruh perempuan di tengah krisis ekonomi global dan ancaman PHK massal.
"Perang dagang dan ketidakpastian ekonomi global mendorong negara-negara seperti Indonesia untuk menurunkan biaya produksi dengan cara deregulasi tenaga kerja. Akibatnya, banyak perusahaan beralih ke bentuk pekerjaan tidak tetap, kontrak jangka pendek, atau alih daya tenaga kerja (outsourcing), sehingga menyebabkan informalisasi sistem ketenagakerjaan," kata Direktur Eksekutif Kalyanamitra, Ika Agustina dalam keterangannya kepada IDN Times, Jumat (2/5/2025).
Ika menjelaksan di kondisi itu buruh perempuan menjadi kelompok yang paling rentan, karena sering kali ditempatkan di posisi marjinal, tanpa perlindungan hukum maupun jaminan sosial.
1. Ada 59,59 persen buruh informal mayoritas adalah perempuan

Perusahaan cenderung mengurangi buruh perempuan karena stereotip perempuan memiliki tanggung jawab pada kerja-kerja domestik. Gelombang PHK, kata Ika, menghasilkan peningkatan jumlah buruh perempuan yang beralih ke sektor informal. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), pada Februari 2024, dari 59,59 persen buruh informal mayoritas adalah perempuan.
MeskipunTingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) nasional mencapai 68,73 persen pada Februari 2024, angka tersebut masih didominasi oleh partisipasi laki-laki. Sedangkan perempuan atau TPAKP ada di level sekitar 55–57 persen,
"Ini bukan karena perempuan tidak produktif, melainkan karena mayoritas dari mereka tidak tercatat sebagai "angkatan kerja" karena bekerja di sektor informal atau menjalankan kerja perawatan tak berbayar," kata dia.
2. Pekerjaan formal terbatas, prasyarat dan kualifikasi kadang mendiskriminasi

Dia menjelaskan, peluang untuk pekerjaan formal bagi perempuan sangat terbatas, meskipun ada kerap kali prasyarat dan kualifikasi secara tidak langsung mendiskriminasikan perempuan. Hal ini kemudian memaksa perempuan untuk masuk pada sektor informal, seperti buruh harian lepas, pekerja rumahan, pekerja rumah tangga bahkan melakukan pekerjaan yang tidak hasilkan upah dengan melakukan kerja perawatan tidak berbayar di keluarga.
Data BPS pada 2022 menunjukkan rata-rata perempuan di Indonesia
menghabiskan empat sampai lima jam per hari untuk pekerjaan domestik dan perawatan, sementara laki-laki hanya sekitar satu sampai dua jam per hari.
"Padahal, kerja perawatan adalah fondasi dari reproduksi tenaga kerja dan
keberlangsungan hidup ekonomi nasional. Tanpa ada yang melakukan kerja perawatan maka tidak ada buruh, tidak ada produsen, tidak ada pembangunan," kata dia.
3. Pemerintah didesak akui dan lindungi kerja perawatan domestik

Dalam momentum Hari Buruh Sedunia, pemerintah didesak untuk segera mengakui kerja perawatan sebagai bentuk pekerjaan yang memiliki kontribusi besar terhadap pembangunan sosial dan ekonomi. Selain itu, negara diminta menjamin regulasi yang mendorong penyediaan fasilitas serta layanan kesehatan universal guna mendistribusikan beban kerja domestik secara adil.
Pemerintah juga harus mempercepat pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga sebagai dasar hukum perlindungan mereka. Tak kalah penting, penghargaan layak perlu diberikan kepada care giver komunitas yang selama ini berperan penting dalam merawat kelompok rentan di masyarakat.