Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ganjar Khawatir Peristiwa Serupa Kudatuli Dialami Parpol Lain

(IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)
Intinya sih...
  • Ketua DPP PDIP, Ganjar Pranowo, menyebut penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996 bukan hanya peristiwa partainya, tetapi juga mempengaruhi pihak lain.
  • Ganjar menegaskan bahwa Kudatuli dalam bentuk berbeda pada era kekinian bisa diterima partai lain agar mereka tidak bersuara.
  • PDIP sudah menempuh jalur ke Komnas HAM agar peristiwa Kudatuli bisa disebut sebagai pelanggaran HAM berat.

Jakarta, IDN Times - Ketua DPP PDI Perjuangan (PDIP) Ganjar Pranowo menyebut penyerbuan kantor PDI pada 27 Juli 1996 atau Kudatuli bukan hanya menjadi peristiwa parpolnya saja, karena insiden itu juga mempengaruhi pihak lain.

Diketahui, PDI pada 27 Juli 1996 diserang sekelompok orang yang tidak ingin partai berlambang Banteng dipimpin Megawati Soekarnoputri. Belakangan, kejadian itu disebut sebagai Kudatuli.

"Kudatuli bukan peristiwanya PDI Perjuangan saja, tetapi ini peristiwa yang bisa mempengaruhi siapa pun, bahkan dalam bentuk lain, ditindas, tidak boleh bersuara, diciptakan ketakutan, dan harus tunduk," kata Ganjar dalam konferensi setelah peringatan Kudatuli di kantor PDIP, Jakarta Pusat, Sabtu (26/7/2024).

1. Kudatuli dalam bentuk lain bisa saja dialami era saat ini

(IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Ganjar mengatakan, PDI pada 1996 memang mengalami serbuan secara fisik dan tekanan rezim yang berkuasa saat itu, yakni Orde Baru (Orba) era Presiden kedua RI Soeharto. Namun, kata eks Gubernur Jawa Tengah (Jateng) itu, PDI Perjuangan melawan tekanan dan serbuan tadi melalui jalur pengadilan dan bisa menang.

Namun, lanjut Ganjar, Kudatuli dalam bentuk berbeda pada era kekinian, bisa saja diterima partai lain agar mereka tidak bersuara.

"Kami merespons ke pengadilan dan seterusnya sampai kami menang. Namun, ingat dalam bentuk lain Kudatuli bisa terjadi pada parpol apa pun dimana pun. Mereka tidak berani bicara, mereka seperti dicucuk hidungnya dan mengekor saja. Maka, hancur, lah, demokrasi," kata dia.

2. PDIP sudah tempuh jalur ke Komnas HAM

(IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Ganjar memastikan, PDIP sudah menempuh jalur ke Komnas HAM agar peristiwa Kudatuli bisa disebut sebagai pelanggaran HAM berat.

"Kami menyampaikan kepada Komnas HAM agar ini dicatat sebagai pelanggaran HAM berat. Tentu itu butuh perjuangan, butuh dukungan publik agar kemudian tidak terulang. Sudah lama kami ajukan, setiap tahun kami mengajukan, terus menerus, tetapi, kan, itu butuh perjuangan. Sekali lagi ketika kemudian penguasa menolak itu, ya, kami berjuang terus-menerus," katanya.

Sementara itu, Kepala Badan Sejarah Indonesia DPP PDIP Bonnie Triyana menyebut ada tahapan ketika partainya berupaya menjadikan Kudatuli sebagai pelanggaran HAM berat.

"Jadi kemarin Komnas HAM memberi jawaban kepada kami. Jadi, ada tahapannya ketika sebuah kasus pelanggaran HAM itu dinyatakan berat, dia harus ada kajian dahulu. Kajian ini sedang dilakukan dan hampir selesai di Komnas HAM dan akan diplenokan oleh Komnas HAM untuk 27 Juli," katanya.

3. Korban ungkap bagaimana menyeramkannya peristiwa Kudatuli

(IDN Times/Yosafat Diva Bayu Wisesa)

Dalam kesempatan yang sama, salah satu korban Kudatuli, David MC mengungkap bagaimana menyeramkannya peristiwa yang terjadi pada 28 tahun lalu.

“Kita bisa dapat merasakan bagaimana mereka menyerang. Di situ (kantor DPP PDI) kita bertahan, kita bergelimpangan di sini. Lalu kemudian di luar sana chaos terjadilah bakaran di mana-mana,” ungkap David.

David pun menceritakan, para aktivis sampai mahasiswa terus turun ke jalan, bahkan sebelum peristiwa Kudatuli ada tragedi di Gambir.

“Kita long march, kita ke Gambir, kita diserbu aparat, lalu kita mundur ke sini lalu kemudian kita buat mimbar bebas, tepatnya di sini (DPP PDI). Yel-yel yang sangat menggema saat itu adalah Mega pasti Menang. ‘Mega pasti menang, pasti menang, pasti menang. Mega, Mega, Mega, yes’,” cerita dia.

Hal senada juga diceritakan oleh korban lainnya yang kini juga menjabat sebagai Ketua DPP PDIP Ribka Tjiptaning.

“Peristiwa Gambir itu kita mau ke Depdagri tapi kita dihadang di Gambir semua kita diserbu. Saya sempat diselamatkan Ketua DPC Jakarta Barat. Saya mendapatkan tugas dari ibu ketua umum, karena saya dokter untuk menjaga kesehatan siapa yang hadir di tempat di sini. Dari semua kelompok-kelompok, ada mahasiswa, PIJAR, ALDERA, FORKOT, ada PRD, juga PDI Segi Lima,” tutur Ribka.

Ribka mengungkapkan, sebenarnya sudah jauh-jauh hari mendengar kabar penyerbuan, yang kemudian jatuh pada 27 Juli 1996.

“Akhirnya jadi sabtu kelabu. Makanya, 28 tahun ini luar biasa, pas jatuh di hari sabtu. Sabtu jam 05.00 pagi, belum ada handphone, adanya pager ‘DPP sudah diserbu’,” tutur dia.

Ribka yang mendengar kabar tersebut, langsung lari dari Ciledug dan hanya bisa sampai di YLBHI. “Di YLBHI saya merawat orang dan menjahit. Klinik saya di sini (DPP PDI) sudah hangus. Saya suruh teman di PRD ke klinik, saya menjahit benang jahit baju tanpa bius. Termasuk Munir kelingking sebelah kiri dihantam, dia remuk,” cerita dia.

Meski tanpa bius, dan benang jahit baju, menurut Ribka tak ada infeksi. “Karena itulah setiap tahun saya mendisiplinkan diri untuk selalu memperingati dan hadir,” tuturnya.

Pasalnya, 27 Juli 1996 adalah tonggak reformasi. Di mana menurutnya, tanpa reformasi, tidak ada anak buruh bisa jadi gubernur. “Tidak ada petani bisa jadi bupati wali kota, tidak ada anak tukang kayu jadi presiden,” tutur Ribka.

Ribka juga mengungkapkan, 27 Juli bukanlah hanya milik PDIP, tapi juga sejarah bangsa Indonesia. Sehingga tak boleh ada pihak uang mengkerdilkan Kudatuli, karena itu adalah simbol perlawanan terhadap rezim yang mencoba membungkam suara rakyat.

“Kalau dulu pakai penculikan. Kalau sekarang pakai perangkat hukum kalau tidak sejalan sama pemerintah, pakai perangkat hukum dicari-dicari. Harapannya korban 27 juli supaya ini terselesaikan. Dorongan kita harus masuk ktiteria pelanggaran HAM berat,” jelasnya.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Anata Siregar
Yosafat Diva Bayu Wisesa
Anata Siregar
EditorAnata Siregar
Follow Us