Hari Raya Idulfitri, Mengingat Opor Ayam Kreativitas Ibunda

Jakarta, IDN Times - Dari Twitter saya membaca artikel mengenai makna Idulfitri. Alih-alih berarti kembali ke fitrah, kembali suci, menurut Ulil Abshar Hadrawi, yang menuliskannya di laman Islami.co, Idulfitri adalah hari makan-makan.
“Orang-orang Arab menggunakan kata ‘iedul fitri’ untuk menunjukkan bolehnya sarapan kembali setelah sebulan penuh mereka tidak nyarap,” tulis Ulil.
Itu yang saya suka dari ranah Twitter. Ada wisdom of crowd setiap kali ada pengguna mencoba menampilkan sebuah informasi. Ada argumentasi lainnya dari sebuah isu atau peristiwa. Ada cek fakta atas jejak digital sebuah kicauan.
Pada Idulfitri 1 Syawal 1440 H ini, seperti biasa saat Salat Id, saya menerima informasi yang sama, dari tahun ke tahun. Khatib menguraikan makna Idulfitri, sebagai 'hari kemenangan'.
"Jika ada yang dipanggil Allah SWT setelah menjalankan Salat Id, niscaya Tuhan telah mengampuni dosa-dosanya,” demikian khutbah Idulfitri yang disampaikan khatib Murodi. Hikmah lain dari Idulfitri adalah kemenangan dari pengendalian diri yang dilakukan selama berpuasa dan menjauhi larangan di bulan Ramadan.
Bagi saya, dua informasi mengenai Idulfitri, saya terima sebagai sebuah pengingat. A friendly reminder. Termasuk mengingat kembali orang tercinta yang telah meninggalkan kita, termasuk pengalaman di masa kecil, di tempat-tempat di mana kita pernah melewatkan waktu kehidupan.

1. Idulfitri mengingatkan kepada kreativitas opor ayam almarhumah Ibu

Idulfitri tanpa sajian opor ayam bagaikan malam tak berbintang. Ada yang kurang. Bahkan bagi saya yang tidak begitu suka opor ayam, hampir setiap tahun saya membuat menu ini. “Buat syarat, supaya terasa Lebaran-nya,” begitu pendapat saya.
Ini terjadi terutama setelah ibu saya meninggal dunia, lima tahun lalu. Sebelumnya, saya “nebeng” ikut mencicipi masakan ibu. Mama, demikian saya memanggil beliau, jago masak. Semua masakannya enak, tanpa melihat resep.
Setiap kali mencicipi opor ayam yang kuahnya kental dan bumbu yang meresap ke dagingnya, saya teringat cerita mama. Tahun 1970-an, ayah saya baru menjalani masa kerja sebagai calon hakim di Bangil, Pasuruan. Keadaan ekonomi kami sangat pas-pasan. Gaji calon hakim jauh dari cukup kala itu.
Saat Lebaran, Mama pernah berkreasi membuat opor ayam yang tanpa ayam. Yang dijadikan bahan untuk menjadi sejenis ayam suwiran di dalam opor, mama memakai nangka yang dimasak empuk dengan bumbu pekat. Rasanya mirip ayam. Opor “suwiran nangka” rasa ayam adalah kenangan yang tak pernah saya lupakan setiap kali tiba hari Lebaran.
Mama membuka cerita ini bertahun-tahun kemudian kepada saya, saat saya menemaninya masak. Tahun ini saya belum bikin opor ayam saat tulisan ini dibuat. Tapi, bahan membuat opor ada di kulkas. Sekarang, saya membuat tumpeng mini untuk ultah Darrel, anak laki-laki saya.

2. Malam Lebaran berkeliling kampung mengusung obor

Tahun ini saya tidak mudik ke Yogyakarta seperti tahun-tahun sebelumnya. Ayah saya kurang sehat, sementara Darrel mau ujian. Meski pun bisa mudik naik pesawat, tetap melelahkan, bukan?
Darrel juga sudah cukup besar. Persis di hari Idulfitri ini, dia berusia 16 tahun, jadi keasyikan mudik yang diwarnai peristiwa tertentu, sudah tak menarik lagi dia. Gen Z seperti dia, kini lebih suka menghabiskan waktu dengan gawainya, mumpung liburan.
Yang saya maksudkan dengan peristiwa tertentu saat Idulfitri adalah ritual keliling kampung di malam Lebaran. Sebagai anak hakim, saya biasa tinggal berpindah-pindah kota. Saya melewatkan masa sekolah dasar di Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat. Jadi, kemeriahan ala kampung di malam Lebaran turut saya rasakan. Pawai obor, misalnya, ini juga terjadi di kota-kota di Pulau Jawa, termasuk di Yogyakarta.
Saat TK sampai SD, Darrel dan saudara sepupunya ikut arak-arakan obor antar-kampung. Anak-anak ini dibimbing para seniornya, remaja masjid setempat. Acara seperti ini disiapkan dengan serius di mana setiap RT biasanya memiliki tema pawai.
Kostumnya pun keren-keren. Sambil pawai, anak-anak berkumpul. Bergembira. Buat anak-anak, boleh memegang obor dari bambu dengan lidah api yang menjulur, sesuatu banget, bukan? Kalau untuk sehari-hari, mana boleh anak-anak bermain dengan api?
Saat itu, Darrel menikmati betul pawai obor malam takbiran. Kami orang tua sibuk mengabadikan, sekaligus bernostalgia. Been there done that. Seru. Banyak kid zaman now yang mungkin tak pernah mengalami pengalaman seperti ini.
3. Libur Idulfitri, kesempatan untuk istirahat dan tidur siang

Jurnalis termasuk profesi yang nyaris tak pernah libur, justru di hari-hari besar, termasuk Lebaran. Peliputan Lebaran dengan arus mudik dan arus baliknya justru menjadi saat yang penting dan melelahkan bagi awak media.
Saat bekerja di media televisi, kantor praktis buka 24 jam sepanjang tahun, bahkan di hari raya Idulfitri Selain ikut turun ke lapangan mengunjungi teman-teman yang bertugas meliput arus mudik, siang hari setelah Salat Id biasanya saya “ngantor”. Berbagi kue Lebaran dan menemani mereka yang bekerja menyajikan informasi terkini.
Di media digital, ada privilege. Editor bisa bekerja dari mana saja, termasuk rumah. Yang penting ada sambungan internet, bisa bekerja. Reporter yang bertugas tetap ke lapangan. Tahun ini, kantor IDN Times tutup sejak 30 Mei 2019. Kami akan masuk kembali pada Senin, 10 Juni 2019.
Tapi, teman-teman tetap bekerja sesuai jadwalnya, sebagian ada yang cuti.
Bulan Mei lalu adalah bulan yang sibuk dan melelahkan bagi semua jurnalis. Sebenarnya delapan bulan terakhir, sejak memasuki masa kampanye Pemilihan Umum (Pemilu) 2019 dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Peliputan yang menguras tenaga dan emosi. Saat kerusuhan 22 Mei, banyak jurnalis yang nyaris tidak istirahat, bekerja siang-malam.
Libur Idulfitri, semoga memberikan kesempatan kepada sebagian dari jurnalis untuk istirahat dan tidur siang. Waspada tetap, siapa tahu ada breaking news. Soalnya H-2 Lebaran kemarin, terjadi ledakan bom di pos polisi Kartasura.
Pagi ini, di grup komunikasi redaksi, saya menuliskan, "Semoga Idulfitri kita damai…"
Saya sungguh-sungguh dengan kalimat tersebut. Ini benar-benar saya harapkan. Supaya Lebaran kali ini bisa cooling down, bersantai sejenak, baca buku, nonton film, menemani anak belajar. Lebaran yang datar-datar saja.
Harapan yang tidak muluk-muluk. Harapan saya yang tinggi semoga segera terealisasi pertemuan antara Pak Jokowi dan Pak Prabowo, agar situasi kebangsaan lekas sejuk. Tugas ini saya percayakan kepada Pak Jusuf Kalla, beliau ahli perdamaian.
Jadi, ini Lebaranku, bagaimana dengan Lebaran kalian?