Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Ilmuwan Asing: Sistem Peringatan Dini Tsunami Milik Indonesia Buruk

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Palu, IDN Times - Sedikitnya 832 orang dinyatakan tewas akibat gempa dan tsunami yang melanda Palu, Donggala, dan sekitarnya di Sulawesi Tengah yang melanda Jumat (28/9). Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengatakan jumlah tersebut kemungkinan besar bisa bertambah seiring dengan proses search and rescue yang sedang dijalankan.

Ini bukan pertama kalinya Indonesia diterjang badai tsunami. Pada 2004 lalu, sedikitnya 250.000 nyawa melayang karena gempa dan tsunami di Aceh. Namun, rupanya peristiwa itu tidak membuat badan-badan terkait di Indonesia meningkatkan teknologi yang bisa meminimalisir jumlah korban.

1. Ilmuwan dan pakar tsunami asing mengkritik buruknya sistem peringatan dini Indonesia

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Seperti dilaporkan Associated Press, sistem peringatan dini tsunami milik Indonesia hingga saat ini masih berstatus prototipe. Padahal, teknologi yang canggih diyakini mampu menyelamatkan lebih banyak orang ketika tsunami terjadi.

Gempa berkekuatan 7,5 Skala Richter (SR) yang mengguncang Donggala, Palu, dan sekitarnya disusul oleh gelombang tsunami setinggi kurang lebih enam meter yang langsung memporakporandakan daerah sekitar. Badan Meteorologi, Geofisika dan Klimatologi (BMKG) juga disalahkan karena mengakhiri peringatan tsunami justru sesaat sebelum gelombang menerjang.

"Kami mengantisipasi gempa akan menyebabkan tsunami, hanya saja tidak sebesar itu," ujar Jason Patton, seorang ilmuwan geofisika dari Humboldt State University, California, kepada New York Times.

2. Masalah anggaran menghentikan perbaikan teknologi yang dibutuhkan untuk area rawan bencana seperti Indonesia

NTARA FOTO/Muhammad Adimaja
NTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Buruknya sistem peringatan dini tsunami yang tampak nyata usai bencana ini ternyata dilatarbelakangi oleh urusan anggaran. Selama bertahun-tahun sejak tsunami Aceh, Indonesia belum menggunakan pengganti sistem serta perangkat yang oleh para ilmuwan dinilai sudah kuno.

Badan-badan terkait tidak bisa sepakat untuk mengamankan anggaran senilai Rp1 miliar yang dibutuhkan untuk memperbaikinya. "Bagiku ini adalah tragedi di bidang ilmu pengetahuan, bahkan lebih buruk bagi warga Indonesia yang tinggal di Sulawesi sekarang," kata Louise Comfort yang merupakan pakar manajemen bencana dari University of Pittsburgh.

Comfort sendiri adalah bagian dari proyek kerja sama antara Indonesia dan Amerika Serikat untuk pengadaan perangkat sistem peringatan dini tsunami. "Menyedihkan sekali ini bisa terjadi mengingat ada sebuah jaringan sensor yang didesain sangat baik bisa menyediakan informasi penting," tambahnya.

3. BMKG membenarkan ada perangkat pendeteksi tsunami yang hilang karena tidak dijaga dengan baik

ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Menurut keterangan Comfort, Indonesia saat ini memakai seismograf, perangkat GPS serta mareograf untuk mendeteksi tsunami. Ia menegaskan bahwa sistem tersebut sudah tidak efektif lagi. Sementara itu, Amerika Serikat sendiri telah menggunakan hampir 40 sensor yang diletakkan di dasar laut.

Sensor-sensor modern itu berguna untuk mendeteksi perubahan tekanan hingga sekecil mungkin yang bisa menyebabkan tsunami. Comfort mengatakan, Indonesia punya 22 sensor seperti itu, tapi tak lagi berfungsi karena hilang atau rusak.

Juru bicara BNPB, Sutopo Purwo Nugroho juga mengkritik BMKG karena banyak buoy yang rusak padahal itu bisa membantu mendeteksi tsunami. "Sejak 2012, buoy tsunami sudah tidak ada yang beroperasi sampai sekarang," ucapnya.

BMKG pun membenarkan hal ini. "Karena di samudera lepas, gak ada yang mengawasi. Pada kenyataannya hilang semua. Hilang oleh nelayan. Ada yang diambil, ditarik jangkar, digeret pakai kapal," ungkap Rahmat Triyono selaku Kepala Pusat Gempa dan Tsunami BMKG.

Salah satu contohnya ditemukan di Muara Angke berkat GPS yang terpasang pada buoy. Namun, kata Rahmat, begitu BMKG mendatangi nelayan di sana, buoy curian itu sudah berada dalam keadaan tidak utuh.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Ita Lismawati F Malau
Rosa Folia
Ita Lismawati F Malau
EditorIta Lismawati F Malau
Follow Us