Kasus Juwita dan Luka Femisida yang Terus Terulang di Indonesia
- Kematian tragis jurnalis Juwita memicu aksi Justice for Juwita di Banjarbaru, 3/4/2025.
- Femisida adalah tindakan pembunuhan pada perempuan yang didorong oleh kebencian dan pandangan patriarkis.
- Kasus femisida meningkat, terutama femisida intim, dan sering menimpa jurnalis perempuan.
Jakarta, IDN Times - Kematian tragis menimpa jurnalis perempuan Juwita (23) memantik kembali istilah femisida saat aksi damai bertajuk Justice For Juwita dilaksanakan di kawasan Tugu Nol Kilometer Banjarbaru pada Kamis (3/4/2025)
Juwita meninggal pada 22 Maret 2025 usai diduga dibunuh oleh prajurit TNI AL, Kelasi I Jumran. Pembunuhan Juwita diduga sudah direncanakan oleh Jumran, yang saat ini sudah ditahan oleh Denpom Lanal Banjarmasin. Juwita juga diduga mengalami kekerasan seksual sebanyak dua kali.
Komnas Perempuan mencatat bahwa berdasarkan Sidang Umum Dewan HAM PBB, femisida adalah tindak pembunuhan pada perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan dan pandangan pada perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya. Maka femisida muatannya berbeda dari pembunuhan biasa karena mengandung aspek ketidaksetaraan gender, dominasi, agresi atau opresi.
1. Femisida produk budaya patriarkis dan misoginis

Komnas Perempuan juga mengungkapkan femisida bukan kematian sebagaimana umumnya, namun produk budaya patriarkis dan misoginis. Serta terjadi baik di ranah privat, komunitas maupun negara. Bahkan Komnas Perempuan juga menyoroti ketiadaan data nasional tentang femisida.
Dari pantauan Komnas Perempuan, sasus indikasi femisida yang kuat pada 2020 terpantau 95 kasus, pada 2021 terpantau 237 kasus, pada 2022 terpantau 307 kasus dan pada 2023 terpantau 159 kasus yang indikator berkembang seiring perkembangan pengetahuan tentang femisida. Pantauan setiap tahunnya menempatkan femisida intim yaitu pembunuhan yang dilakukan oleh suami, mantan suami, pacar, mantan pacar atau pasangan kohabitasi sebagai jenis femisida tertinggi.
2. Sembilan jenis femisida yang dicatatkan Komnas Perempuan

Berikut adalah sembilan jenis femisida menurut yang dikutip dari Kajian awal dan kertas kerja:
Femisida Tidak Dikenal: Pengabaian Terhadap Hak Atas Hidup dan Hak Atas Keadilan Perempuan dan Anak Perempuan
- Femisida Intim
Pembunuhan oleh suami/mantan suami, pacar/mantan pacar. - Femisida Budaya
a. Femisida atas nama kehormatan
b. Femisida terkait mahar
c. Femisida terkait ras, suku, dan etnis
d. Femisida karena tuduhan sihir
e. Femisida melalui pelukaan/pemotongan genitalia perempuan (P2GP/FGM/C) - Femisida Bayi
Termasuk aborsi selektif dan pembunuhan bayi perempuan karena dianggap tidak berharga dalam budaya patriarkal. - Femisida dalam Konteks Konflik Bersenjata
Pembunuhan oleh aktor negara atau non-negara dalam situasi konflik, sering disertai kekerasan seksual. - Femisida dalam Industri Seks Komersial
Pembunuhan terhadap pekerja seks karena perselisihan atau kebencian terhadap profesi mereka. - Femisida terhadap Perempuan dengan Disabilitas
Dibunuh karena kondisi disabilitas atau akibat kekerasan seksual sebelumnya. - Femisida karena Orientasi Seksual dan Identitas Gender
Didasarkan pada kebencian terhadap orientasi seksual/non-biner korban. - Femisida di Penjara
Pembunuhan perempuan yang terjadi dalam sistem pemasyarakatan. - Femisida Non-Intim (Sistematis)
Pembunuhan oleh pelaku yang tidak memiliki hubungan personal, termasuk oleh aktor negara/non-negara secara sistematis. - Femisida terhadap Pegiat HAM/ Kemanusiaan
Dibunuh karena peran mereka dalam memperjuangkan hak asasi dan keadilan sosial.
3. Kasus Juwita, pembunuhan terhadap perempuan yang didorong kebencian
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia juga turut menyoroti segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis perempuan termasuk femisida yang menimpa Juwita. Kematian Juwita menggambarkan meningkatnya femisida yakni pembunuhan terhadap perempuan yang didorong oleh kebencian, dendam, penaklukan, penguasaan, penikmatan, dan pandangan terhadap perempuan sebagai kepemilikan sehingga boleh berbuat sesuka hatinya.
Hasil riset AJI dan Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media) pada 2022 mengungkapkan 82 persen jurnalis perempuan pernah alami kekerasan seksual sepanjang mereka menjalankan kerja jurnalistik.
4. Butuh perlindungan khusus dan peningkatan kesadaran
Ketua Aliansi Jurnalis Independen Indonesia, Nany Afrida mengungkapkan jurnalis perempuan sering jadi target serangan dan intimidasi, apalagi ketika meliput isu-isu sensitif seperti konflik, kekerasan seksual, dan hak-hak perempuan. Tak ayal juga ada pengabaiana ancaman pada jurnalis perempuan, seperti pelecehan seksual hingga serangan digital. Nanny mengungkapkan, pengabaian kekerasan pada jurnalis perempuan tak hanya memperburuk ketimpangan di dunia media massa, namun membahayakan kebebasan pers.
“Perlindungan khusus dan peningkatan kesadaran sangat dibutuhkan agar jurnalis perempuan dapat bekerja dengan aman dan tetap menyuarakan isu-isu penting tanpa rasa takut,” kata Nany.