Kemen PPPA dan UNFPA Perkuat Layanan Cegah Kekerasan Gender

- Kementerian PPPA dan UNFPA bekerjasama mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender di 11 daerah percontohan.
- Empat pilar kegiatan yang dilakukan, termasuk penguatan layanan UPTD PPA dan penyusunan kebijakan tingkat nasional dan daerah.
Jakarta, IDN Times - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) telah bekerjasama dengan United Nation Population Fund (UNFPA) sejak 2021 hingga 2024, melakukan kegiatan mendukung pencegahan dan penanganan kekerasan berbasis gender (KBG) di 11 daerah. Kegiatan ini dilakukan untuk mendukung dan memperkuat layanan komprehensif terhadap perempuan korban kekerasan.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati menjelaskan, ada empat pilar yang dilakukan selama ini oleh Kemen PPPA dan UNFPA, mulai dari ketersediaan dan data kekerasan berbasis gender dan praktik berbahaya lainnya. Kemudian pencegahan segala bentuk KBG dan praktek berbahaya melalui kegiatan peribadatan komunitas dalam pencegahan dan respons KBG, serta praktik berbahaya untuk mendorong korban mendapatkan akses layanan.
“Yang ketiga, penanganan kekerasan berbasis gender melalui penguatan layanan UPTD PPA dan komunitas berbasis masyarakat, dan keempat penyusunan kebijakan tingkat nasional dan daerah termasuk dukungan penguatan untuk perencanaan anggaran dalam pencegahan KGB dan praktek berbahaya lainnya,” kata dia dalam agenda Dialog Nasional Penguatan Layanan PPA di Jakarta, Kamis (14/11/2024)
1. Memastikan capaian proses pembelajaran di 11 daerah percontohan

Sebanyak 11 daerah itu, yakni DKI Jakarta, Cirebon, Bogor, Tangerang, Sigi, Serang, Brebes, Garut, Jember, Lotim, dan Kota Palu. Untuk membangun Dialog dan koordinasi berkelanjutan, maka Kemen PPPA bersama UNFPA melaksanakan Dialog Nasional Penguatan Layanan PPA yang berlangsung sejak Kamis hingga Jumat, 15 November 2024.
Kegiatan ini, kata Ratna, bertujuan untuk bisa memastikan capaian proses pembelajaran yang dihasilkan, strategi keberlanjutannya yang disusun bersama-sama dengan daerah.
“Sekaligus memastikan komitmen pemerintah daerah untuk mendukung dari sisi kebijakan, anggaran dan sumber daya lainnya yang dimiliki oleh daerah untuk memastikan layanan bagi perempuan korban kekerasan di 11 daerah piloting,” kata dia.
2. Masyarakat mulai berani melaporkan kasus kekerasan

Sementara UNFPA Indonesia Assistant Representative Verania Andria menjelaskan, 50 persen populasi masyarakat di bumi pertiwi ini adalah perempuan. Maka jika masyarakat dan berbagai pihak bisa mendukung perempuan memenuhi potensinya dan berkontribusi tanpa ada rasa takut serta kekerasan yang menghambat, maka bisa dibayangkan Indonesia bisa maju dengan 100 persen potensial penuh yang seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Dia melaporkan, dari 11 daerah percontohan ini, mulai banyak laporan yang masuk. Masyarakat, kata dia, mulai berani melaporkan kasus kekerasan seksual di sekitar mereka.
“Is a first step kalau tidak kita bilang tidak ada kekerasan di Indonesia, padahal karena tidak terlaporkan sampai kemudian, misalnya muncul viral, tapi itu hanya satu kasus kita ingin menangkap. Semua berhak untuk melaporkan karena tidak seorang pun boleh mendapatkan kekerasan, baik itu secara fisik, psikologis maupun seksual,” tutur dia.
3. Dukungan payung hukum serta petunjuk teknis pelaksanaan UPTD PPA

Selain itu, perlu adanya dukungan kepada Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) dalam kemampuan layanan. Saat ini, dari 11 kabupaten/kota percontohan, sudah ada sembilan UPTD PPA yang terbentuk, sedangkan lainnya sedang menyusun.
Maka butuh dukungan berupa payung hukum serta petunjuk teknis pelaksanaan atau arahan bagaimana cara mendirikan UPTD PPA, apalagi ada 514 kabupaten/kota di Indonesia. Sejauh ini, ada 333 unit UPTD PPA di seluruh Indonesia, sehingga hal itu tak bisa berhenti dan perlu dilanjutkan.
“Harus ada payung petunjuk, payung hukum yang memberikan guideline bagaimana kabupaten/kota lain mau mendirikan UPTD PPA, payung hukum yang juga memberikan arahan. Bagaimana pelayanan minimum yang harus dilakukan dapat disediakan oleh UPTD PPA nantinya? Bagaimana UPTD PPA merekrut dan melatih para fasilitator daerah? Bagaimana berjejaring aturan-aturan tersebut menjadi sangat penting,” tutur dia.