Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Kisah Jurnalis Senior Finlandia Melihat Indonesia di Pesantren

IDN Times/Vanny El Rahman

Jakarta, IDN TImes - Selasa (22/1) pagi, langit Ibu Kota tampak kelabu. Matahari seakan malu menunjukkan kehadirannya. Rintik hujan menemani warga Jakarta yang hilir mudik mengais rezeki.

Sejak pukul 08.50 WIB, aku sudah tiba di Kementerian BUMN di bilangan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Rinai hujan membuatku melipir agak sedikit jauh dari lobi gedung, menjaga agar pakaianku tidak basah akibat cipratan air.

Selang 20 menit, terlihat seorang perempuan berkemeja putih dan celana training abu-abu turun dari mobil CRV silver. Ia membawa tas kamera lengkap dengan tripodnya. Tidak lama, pemimpin redaksi IDN Times, Uni Lubis, juga turun dari mobil yang sama.

"Ini Rita Strommer, jurnalis asal Finlandia," Uni memperkenalkan perempuan itu kepadaku. Rencana kedatangannya sudah kuketahui sejak 8 Januari lalu. Melalui email, Uni menjelaskan, Rita akan meliput tentang Islam dan program deradikalisasi di Indonesia.

"Dia merupakan jurnalis video dari MTV Fi, salah satu media terbesar di Finlandia,” ucap Uni.

Kami datang ke Kementerian BUMN untuk menemui Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komjen Pol. Suhardi Alius, yang kantornya berada di lantai 16.

Uni menjelaskan, "dia ketemu gue pas Interfaith dan Intermedia Dialogue antara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Finlandia di Helsinki. Gue cerita tentang program deradikalisasi di Indonesia, salah satunya program deradikalisasi di Tenggulun, Lamongan.”

Siapa sangka, apa yang disampaikan Uni menjadi alasan Rita untuk menginjakkan kaki di bumi khatulistiwa ini.

"Indonesia dikenal dengan pendekatan lunaknya (soft approach) dalam menangani terorisme. Saya ingin mengetahuinya lebih jauh,” ujar perempuan yang telah mendedikasikan hidupnya di dunia jurnalistik selama 25 tahun.   

Sejak turun dari mobil hingga tiba di lantai 16, Rita membawa kamera Sony NX series dengan tripod besarnya seorang diri. Tentu aku menawarkan diri untuk menggotong sebagian bawaannya. Namun ia menolak. Aku perkirakan berat barang yang ditenteng Rita mencapai 9 kilogram.

"Saya sudah terbiasa seperti ini," ujarnya. Tentu Indonesia bukan negara pertama  yang dikunjunginya. Selain Eropa, ia telah mengelilingi berbagai negara, termasuk wilayah konflik. "Di kamp pengungsian saya juga membawa ini sendiri," tambah Rita.

Dalam hati aku bergumam, mungkin ini yang kebanyakan orang Indonesia harus pelajari, menjadi perempuan bukan berarti lemah, bahwa perempuan bisa mandiri dan tidak sepatutnya dipandang lebih rendah dari laki-laki. Salut!

1. Mengenal Suhardi Alius, figur tegas yang baik hati

IDN Times/Uni Lubis

Setibanya di lantai 16, kami disapa oleh jajaran BNPT. Mereka adalah garda terdepan penangkal radikalisme di Indonesia. Dengan sigap Rita mempersiapkan tripod dan kameranya, tidak ketinggalan lampu kamera.

Tepat di depan meja kerja dengan latar belakang logo BNPT, Rita mewawancarai Suhardi sekitar 20 menit. Pemilik bintang tiga itu menjawab segala pertanyaan yang diajukan Rita. Salah satu jawaban yang dianggap menarik oleh Rita adalah bagaimana Indonesia justru menggunakan mantan narapidana terorisme (napiter) sebagai azimat radikalisme.

“Kenapa mereka lebih efektif? Karena kami (pemerintah) dianggap sebagai thagut atau syaitan bagi mereka (pemilik paham radikal). Jadi sampai kapan pun, kami tidak akan didengar oleh mereka. Dan pendekatan ini sangat efektif,” terang Suhardi.

Rita menganggukkan kepalanya. Bagi dia, pendekatan ini unik. Pasalnya, paham radikal yang semakin liar dan kehilangan arah akan selalu muncul ketika ada napiter yang diizinkan menghirup udara bebas. Rita tak menduga bila "memborbardir" hati dan pikiran akan lebih efektif daripada memborbardir fisik pemilik paham radikal.

Menit demi menit berlalu. Wawancara telah berakhir. Sebelum bertolak dari Kementerian BUMN, kami sempat santap siang sembari menikmati segelas kopi.

Jakarta masih didera hujan deras. Kami menikmati obrolan di atas kursi dan meja kayu. "Dia (Suhardi) orang yang sangat baik. Semua orang bisa melihat itu," ungkapnya. Rita yakin kelembutan hati dan keramahan Suhardi adalah kunci keberhasilan BNPT.

2. Menginjakkan kaki di Pesantren Darunnajah, menyelami pemahaman Islam generasi muda

IDN Times/Vanny El Rahman

Keesokan harinya, Rabu (23/1), aku bersama Rita melancong ke Pondok Pesantren Darunnajah I.

"Apa itu pesantren?" tanya Rita kepadaku. Aku menjelaskan bahwa pesantren adalah sekolah asrama berbasis Islam. Di sana, setiap santri (sebutan siswa di pesantren) diwajibkan untuk belajar agama dan sains. Meski santriwan dan santriwati hidup di atas lahan yang sama, mereka dilarang berinteraksi. 

"Wah itu sangat menarik, kita harus ke sana," tandas Rita sembari melepas tawa. Kendati ini bukan kali pertama dia berada di Jakarta, kesempatan ke Darunnajah menjadi kali pertama bagi Rita untuk menginjakkan kaki di pesantren.

Sepanjang perjalanan dari DoubleTree Hilton, tempat dia menginap, ke Darunnajah, Rita memiliki segudang pertanyaan yang dilontarkannya kepadaku. Mulai dari bagaimana kurikulum pendidikan, berapa jumlah bayarannya, berapa perbandingan santri dan siswa di Indonesia, hingga apa yang membedakan antara pesantren dengan madrasah.

"Pada intinya, pesantren adalah tempat terbaik dimana Islam, keIndonesiaan, dan modernitas berjalan beriringan,” jawabku. Rita tampak berusaha mencerna apa yang aku jelaskan. Sangat jelas dari raut wajahnya.

"Di Timur Tengah, kamu tidak akan menemukan pesantren. Ini adalah kearifan lokal di Indonesia," aku melanjutkan.

IDN Times/Vanny El Rahman

Kami tiba di pesantren yang berada di Ulujami, Jakarta Selatan itu sekitar pukul 10.30 WIB. Kesan pertama Rita adalah "Waw, ini tempat yang sangat besar dan bagus,".

"Masih banyak yang lebih bagus dan besar," sambutku. Dia hanya berdecak kagum, "Benarkah?"

Di pesantren ini, Rita mewawancarai para santri beserta guru-gurunya. Dia bertanya seputar kehidupan santri sehari-hari. Tak ketinggalan ia bertanya ihwal Islam di mata santri.

"Islam berasal dari kata salam, artinya damai. Bentuk paling mudah adalah ketika kita bertemu sesama muslim, kami mengucapkan salam, yang mana artinya adalah mendoakan keselamatan dan keberkahan," terang Fawwaz, salah seorang santri kelas akhir.

Selepas wawancara, kami keliling pesantren. Tidak ada satu pun sudut yang luput dari kamera Rita. Dia mengabadikan seluruh kegiatan santri, mulai dari mengantre makan sampai persiapan salat.

Dia tersenyum ketika melihat santri berlari saat azan zuhur berkumandang. “Kenapa mereka berlari?” tanya dia.

"Mereka harus ke masjid sebelum iqomah. Bila tidak, mereka terlambat dan harus dihukum,” jelasku.

Rita tertawa kecil. "Ini benar-benar hal yang sangat baru bagiku. Ini sangat bagus untuk melatih kedisiplinan beragama,” sambung Rita.

Rita sempat berbincang dengan Rizma Ilfi, istri pimpinan Pondok Pesantren Darunnajah I. Rita memotret bagaimana muslimah di Indonesia memiliki kesempatan berkarier dan bekerja layaknya laki-laki. Hal itu jarang ia temukan di beberapa negara Islam. Terlebih, ia melihat bagaimana peran Rizma yang begitu dominan dalam mengelola pesantren.

"Walau di sini belajar Islam, tapi siswanya tidak paham radikal. Perempuannya juga memiliki kesempatan belajar yang sama. Pesantrennya juga tidak menganjurkan menggunakan burqa. Saya benar-benar melihat Indonesia sebagaimana yang orang-orang katakan di pesantren,” Rita mengungkapkan kesannya setelah mengelilingi pesantren.

"Saya pernah berada di kamp pengungsian yang mewajibkan pengungsinya mempelajari agama. Tapi berada di pesantren dengan asrama dan sistem pendidikan agama yang tersusun, saya baru pertama kali dan ini luar biasa. Ini tempat belajar Islam yang sangat baik,” tutup dia sembari mengakhiri perjalanan kami siang itu.

3. Diskusi Islam dengan segelas kopi, memahami kehidupan beragama di Indonesia

IDN Times/Vanny El Rahman

Jumat (25/1) pagi, Jakarta kembali diguyur hujan. Derasnya air langit pagi itu membuat lalu lintas terhambat. Butuh waktu dua jam bagiku untuk menempuh perjalanan Ciputat-DoubleTree Hilton. Rencananya, kami akan berdiskusi soal Islam dan deradikalisasi dengan Sidney Jones, Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC). Salah satu ahli terorisme.

Wawancara berlangsung di kamar 507. Masih dengan awan yang kelabu. Salah satu pertanyaan yang kala itu diajukan kepada Sidney adalah relasi Islam dan politik. Tidak bisa dipungkiri, kebangkitan Islam konservatif yang dimotori oleh Rizieq Shihab dengan berjilid-jilid aksi damai, berhasil merebut perhatian dunia. Walau aksi dihadiri jutaan massa, tidak ada satupun kerusuhan bahkan minim sampah yang disisakan oleh peserta aksi.

"Islam di Indonesia  bermacam-macam, begitu pula dengan afiliasi politiknya. Seperti di Pakistan dan Yordania, Islam di Indonesia juga moderat. Tapi, akan selalu ada Islam radikal. Fenomena global yang terjadi adalah kebangkitan Islam konservatif. Terlebih, di Indonesia, mereka memiliki kemampuan untuk mempengaruhi politik. Bahkan mereka menjadi komoditi yang diperebutkan oleh para politisi,” bebernya dengan jelas.

Selepas 20 menit berdiskusi dengan Sidney, ada satu kalimat yang terngiang dengan jelas di kepala Rita. “Saya suka ketika Sidney mengatakan bahwa tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan. Saya sangat setuju dengan itu,” Rita menceritakan.

Tidak lama selepas wawancara, Sidney dengan segera meninggalkan hotel. Aku bersama Rita menyempatkan diri untuk berbincang singkat. Aku memesan kopi hitam Uganda dan Rita memesan fruit punch. Dia menceritakan betapa Islam di Indonesia adalah hal yang unik. Sekitar 20 tahun lalu ketika ia pertama kali ke Jakarta, dia tidak mendapati Islam seperti yang dilihatnya hari ini.

Sesaat pesanan kami tiba, aku juga membuka laptopku. Aku menunjukkan bahwa Indonesia memiliki segudang ulama kontemporer yang berperan aktif melawan paham-paham radikal. Hal semacam itu aku jelaskan karena ia pernah melihat orang dalam kondisi kelaparan dan sekarat, tidak mendapat pertolongan karena mementingkan urusan agama.

“Menurut saya kemanusiaan di atas segala-galanya. Saya pernah melihat orang kelaparan, tapi bantuan yang diberikan justru pembangunan masjid dan rumah ibadah. Saya tidak mempermasalahkan, namun yang ia butuhkan saat itu adalah kebutuhan dasar. Mereka butuh makan, minum. Mereka kelaparan bahkan sekarat,” ia membagi pengalamannya.

Sesekali dia menyeruput minuman yang dipesannya. Bagi seorang jurnalis yang masih seumur jagung, apa yang dia ceritakan menjadi kisah berharga bagiku.

Salah satu ulama kontemporer yang aku sebutkan adalah Quraish Shihab. Ia pernah berkata bahwa umrah adalah suatu kebaikan bahkan dianjurkan dalam Islam. Tapi, hal itu menjadi kurang baik apabila umrah dilakukan berulang kali dan kita membiarkan tetangga kita kelaparan. Mengumpulkan pahala adalah kebaikan. Tapi, menolong sesama manusia adalah kebaikan yang lebih dianjurkan.

4. Keunikan Islam di Indonesia

IDN Times/Uni Lubis

Percakapan kami pagi itu dipisahkan oleh waktu. Jarum jam menunjukkan pukul 11.00 WIB. Aku hendak mempersiapkan diri untuk salat Jumat dan dia ingin menyelesaikan laporannya. Sebelum kami berpisah, Rita sempat mengajukan pertanyaan yang membuatku tertawa, "hari ini Jumat, bukankah perkantoran seharusnya libur?"

Ketika mahasiswa, aku sempat membaca catatan Nurcholis Madjid mengenai keunikan Indonesia. Walau Islam menjadi agama mayoritas, tapi Indonesia tidak menggunakan aksara Arab dalam penulisannya.

Begitu pula dengan bahasanya. Bahkan, budaya Hindu lebih erat dengan Islam di Indonesia daripada budaya Arab itu sendiri. Islam bukan Arab dan Indonesia tidak terarabisasi.

"Di Indonesia kami libur hari Minggu. Hari Jumat kami bekerja seperti biasa, tapi kami diizinkan untuk ibadah Jumat," sahutku dengan tersenyum. Rita tampak tertawa malu.

Pertemuan pagi itu sekaligus mengakhiri tiga hari perjalanan kami. Sebab, pada Sabtu (26/1), ia bertolak ke Tenggulun, Lamongan, untuk bertemu dengan Ali Fauzi. Ali merupakan salah satu mantan napiter yang aktif menggalakan program deradikalisasi. Bersama Yayasan Lingkar Perdamaian, adik Amrozi itu berusaha menghilangkan stigma Lamongan yang dikenal sebagai kota teroris.

"Saya menantikan pertemuan kita di lain waktu. Sangat senang bisa bertukar pikiran dengan para jurnalis. Kamu masih muda, saya menantikan pertemuan di forum-forum internasional. Tentu kamu akan menjadi jurnalis hebat," tutup Rita dengan jabat tangan. Kalimat itu mengakhiri pertemuan kami.     

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Sunariyah
Vanny El Rahman
Sunariyah
EditorSunariyah
Follow Us