Koalisi Sipil Desak Pembentukan TGPF Independen Usut Ledakan Garut

- Koalisi Masyarakat Sipil mendesak pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut tragedi amunisi di Garut yang menelan 13 nyawa.
- Koalisi menyayangkan Komisi I DPR RI yang tidak bertanya pengusutan kasus ini sesuai asas penyelidikan yang jujur, adil, dan benar.
- Koalisi menilai fakta tersebut merupakan temuan penting yang harus ditindaklanjuti melalui investigasi menyeluruh oleh tim independen dari luar tubuh TNI.
Jakarta, IDN Times - Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan mendesak kembali pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) guna mengusut secara tuntas tragedi amunisi di Garut, Jawa Barat. Dalam kasus ini, 13 orang menjadi korban, di mana sembilan di antaranya merupakan warga sipil.
Koalisi sedari awal sudah menyerukan pembentukan TGPF independen yang melibatkan unsur luar TNI pada Komisi 1 DPR RI. Hal ini guna memastikan objektifitas, integritas dan kredibilitas pengusutan tragedi mematikan itu.
"Kami menolak cara-cara penyelidikan atas tragedi mematikan tersebut jika hanya berjalan di lingkungan internal TNI," tulis keterangan resmi koalisi dikutip IDN Times, Minggu (1/6/2025).
"Koalisi mendesak kembali pembentukan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) untuk mengusut tragedi amunisi yang menelan 13 nyawa," lanjutnya.
1. Komisi 1 DPR dinilai tak punya taring

Namun, Koalisi juga menyayangkan Komisi I DPR RI seperti tidak memiliki taring untuk sekadar bertanya pengusutan kasus ini sesuai asas-asas penyelidikan yang jujur, adil, dan benar.
Koalisi berpandangan, pernyataan Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto semestinya dapat mengonfirmasi bahwa investigasi yang mereka lakukan tidak sesuai SOP, khususnya pelibatan warga sipil dalam peledakan amunisi tak layak pakai itu.
Sebab, hasil tim investigasi TNI AD hanya menyoroti dua pokok utama penyebab ledakan, yaitu ketidakstabilan detonator yang hendak dimusnahkan dan keterlibatan warga sipil dalam aktivitas teknis yang semestinya hanya dilakukan personel militer terlatih.
Hasil investigasi TNI AD juga cenderung menimpakan kesalahan kepada salah satu korban jiwa, yaitu Kepala Gudang Pusat Amunisi (Gapusmus), sehingga akhirnya masyarakat ikut dalam pelibatan pemusnahan amunisi tersebut.
Di sisi lain, investigasi TNI AD yang diungkap ke media juga tidak menyebut siapa perwira tinggi di atas Kepala Gapusmus yang turut bertanggung jawab atas kasus tersebut.
"Juga tidak disebutkan adanya akuntabilitas secara hukum terhadap perwira-perwira tinggi di tingkat komando terkait peristiwa itu," tulisnya lagi.
2. Tanpa investigasi menyeluruh, masalah impunitas di TNI memang mengakar

Oleh karena itu, Koalisi menilai fakta tersebut merupakan temuan penting yang harus ditindaklanjuti melalui investigasi menyeluruh oleh tim yang independen dari luar tubuh TNI.
Koalisi juga mendesak pertanggung jawaban hukum mereka yang berada pada level komando dan bertanggung jawab atas tragedi di Garut tersebut.
"Tanpa investigasi menyeluruh, imparsial dan independen dari luar TNI maka tragedi Garut tersebut hanya akan menegaskan kembali masalah impunitas yang telah mengakar di tubuh TNI," tuturnya.
3. Panglima TNI terkesan menyalahi warga sipil

Sebelumnya, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto menyatakan korban warga sipil yang tewas saat peledakan amunisi di Garut merupakan tukang masak dan pegawai yang bekerja di tempat tersebut. Panglima juga mengklaim prosedur untuk peledakan sudah dilaksanakan sesuai SOP.
"Sebenarnya kita tidak melibatkan warga sipil dalam pemusnahan bahan peledak yang sudah expired. Sebenarnya masalah ke sipil itu tukang masak dan pegawai di situ," kata Agus, usai rapat tertutup di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (26/5/2025).
Koalisi berpandangan, sikap ini bertolakbelakang dengan fakta bahwa selama bertahun-tahun warga sipil dilibatkan dalam proses pemusnahan bahan peledak berbahaya tersebut. Ini menyalahi standar internasional pemusnahan bahan peledak berdasarkan International Mine Action Standards .
Selain itu, koalisi menilai, Panglima TNI menunjukkan cara bersikap yang terkesan menyalahkan pihak warga dan lari dari tanggungjawab.
"Klaim Panglima TNI merupakan pernyataan yang tidak sensitif dan terkesan menyangkal kebenaran faktual, termasuk temuan Komnas HAM yang dirilis 23 Mei lalu kepada media bahwa ada 21 warga sipil yang terlibat dalam pemusnahan amunisi sebagai tenaga harian lepas dengan upah Rp150.000 per hari, tanpa pelatihan bersertifikasi dan bekerja tanpa alat pelindung diri," tulisnya.