Baca artikel IDN Times lainnya di IDN App
For
You

Komnas Perempuan: Tim Penyelesaian HAM Berat Belum Bekerja Maksimal

Ilustrasi pelanggaran HAM (IDN Times/Aditya Pratama)
Intinya sih...
  • Tragedi Mei 1998 diperingati di akhir masa pemerintahan Jokowi. Komnas Perempuan menganggap penanganan kasus pelanggaran HAM berat belum maksimal. Mereka berharap pelaksanaan rekomendasi penyelesaian PPHAM diperpanjang untuk periode kepemimpinan berikutnya.

Jakarta, IDN Times - Tragedi Mei 1998 kembali diperingati pada 2024. Tahun ini adalah momen terakhir Presiden Joko “Jokowi” Widodo memimpin dan memenuhi janjinya, terkait penanganan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang ada di Indonesia.

Komnas Perempuan memandang penerapan Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2022 tentang Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu, dan Inpres No 2 Tahun 2023 tentang Pelaksanaan Rekomendasi Mekanisme Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat belum maksimal. 

“Ini menjadi momentum krusial di akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mewujudkan janji nawacita, yang salah satunya adalah penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu,” kata Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, dalam keterangannya, dikutip Kamis (16/5/2024).

1. Pelaksanaan PPHAM bisa diperpanjang waktunya

Aksi Kamisan tragedi Semanggi (IDN Times/Margith Juita Damanik)

Diketahui, dua beleid itu ditetapkan pada 15 Maret 2023 dengan anggota tim pemantauan PPHAM sebanyak 46 orang dan masa tugas hingga 31 Desember 2023.

Komnas Perempuan berharap Pelaksanaan Rekomendasi Penyelesaian Non-yudisial Pelanggaran HAM (PPHAM) berat dapat diperpanjang waktunya, termasuk untuk periode kepemimpinan Indonesia berikutnya.

Harapannya, ketersediaan waktu yang panjang, proses penyelesaian tersebut dapat dilakukan tanpa terburu-buru dan lebih banyak ruang untuk melakukan pendekatan pada korban.

2. Komnas Perempuan ingatkan penanganan korban pelanggaran HAM

Aksi Kamisan ke-806 dengan tema Adili Jokowi dan Jenderal Pelanggar HAM di depan Istana Presiden RI, Jakarta Pusat. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Guna menentukan langkah-langkah yang dilakukan negara dalam hal pemulihan korban pelanggaran HAM berat masa lalu, perlu melibatkan semua pihak secara luas, sistematis, dan terstruktur, dan menunjukkan kesungguhan negara dalam selesaikan kasus ini.

Selama proses meminta dan mengumpulkan data korban, diharapkan tidak menimbulkan trauma ulang, memastikan adanya perlindungan saksi dan korban, khususnya memastikan jaminan keamanan bagi korban, utamanya korban kekerasan seksual.

“Sosialisasi atas pelaksanaan pelbagai program pemerintah dalam memberikan restitusi kepada korban dan keluarga korban sangatlah penting. Misalnya bantuan untuk mengakses layanan kesehatan. Sebagian korban masih mengalami kesulitan mengakses layanan kesehatan karena fasilitas kesehatan tidak mengetahui  program bantuan 'khusus' tersebut. Hal ini menghambat proses pemulihan bagi korban dan keluarganya,” ujar Komisioner Komnas Perempuan, Bahrul Fuad.

3. Perempuan korban pikul dampak lebih berat

Aksi Kamisan ke-806 dengan tema Adili Jokowi dan Jenderal Pelanggar HAM di depan Istana Presiden RI, Jakarta Pusat. (IDN Times/Lia Hutasoit)

Sementara itu, dalam beberapa konteks kasus pelanggaran HAM berat, perempuan korban memikul dampak yang lebih berat, seperti pengalaman kekerasan seksual dan kekerasan berbasis gender lainnya, yang membuat kondisi mereka menjadi lebih rentan. 

Maka, Komnas Perempuan memandang kesetaraan substantif diperlukan untuk memastikan agar pemulihan memiliki dampak yang tepat bagi korban. Negara dalam memberikan pemulihan korban perlu didasarkan pada pemahaman penuh tentang sifat gender, konsekuensi dari kerugian yang diderita, serta mempertimbangkan ketidaksetaraan gender yang ada untuk memastikan mekanisme pemulihan yang ada tidak diskriminatif.

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Rochmanudin Wijaya
EditorRochmanudin Wijaya
Follow Us