KPAI Soroti 73 Kasus Anak Jadi Korban Kebijakan Sepanjang 2018

Jakarta, IDN Times - Sebanyak 73 kasus anak menjadi korban kebijakan terjadi sepanjang 2018. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti, mengatakan bahwa kebijakan tersebut dibuat oleh pihak sekolah maupun kebijakan yang ditetapkan pemerintah, pemerintah provinsi dan pemerintah daerah (kota/kabupaten).
"Paling banyak adalah anak korban kebijakan pemerintah provinsi dan pemerintah kota/kabupaten yang mengeluarkan peserta didik ketika anak menjadi pelaku kekerasan, termasuk tawuran antar-pelajar," ujar Retno di Kantor KPAI, Kamis (27/12).
1. Mengeluarkan anak dari sekolah tak serta-merta menghentikan tawuran

Menurut Retno, kebijakan tersebut mengakibatkan anak-anak kehilangan hak atas pendidikan di sekolah, namun juga tidak pernah menghentikan tawuran. Anak didik yang dikeluarkan akan pindah ke sekolah swasta yang lokasinya tidak jauh dari sekolah asal.
Di tempat baru tersebut, anak didik itu akan membentuk komunitas baru. Dengan demikian, tawuran pelajar pun melibatkan lebih banyak sekolah karena di tempat baru bibit-bibit pencetus tawuran ditularkan oleh anak didik yang dikeluarkan tersebut.
"Kebijakan semacam itu tidak menghentikan tawuran pelajar, karena penyelesaiannya hanya memindahkan masalah, bukan mencari akar masalah untuk kemudian diselesaikan," ungkapnya.
2. Banyak anak kehilangan akses ke sekolah negeri akibat kebijakan zonasi sekolah

KPAI juga menyoroti peserta didik yang menjadi korban kebijakan sistem zonasi Penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun 2018. Pada dasarnya, sistem zonasi PPDB bertujuan baik untuk pemerataan kualitas pendidikan dan membuka akses pendidikan di sekolah negeri dengan mempertimbangkan kedekatan tempat tinggal calon siswa dari sekolah.
Namun, faktanya banyak anak calon peserta didik baru yang justru kehilangan akses masuk sekolah negeri. Sebab, pembagian zonasi di daerah tidak mempertimbangkan antara jumlah sekolah negeri di suatu wilayah dengan banyaknya calon peserta didik yang mendaftar.
"Ke depan, pembagian zonasi oleh Dinas Pendidikan di berbagai daerah tersebut harus dilakukan dengan cermat, akurat, dan penuh pertimbangan sehingga tidak merugikan calon peserta didik," ungkap Retno.
3. Pemda minim pengetahuan terkait anak pengidap HIV

Selain itu, KPAI juga menyayangkan kebijakan pemerintah daerah menolak bersekolah di sekolah regular dan menawarkan homeschooling serta ujian kesetaraan untuk anak-anak penyadang HIV di beberapa daerah. Menurut Retno, hal itu menunjukkan minimnya pengetahuan masyarakat dan birokrasi di daerah terkait anak-anak penderita HIV dan cara penularannya. "Kebijakan tersebut juga tidak mencoba melihat dari perspektif anak dan bukan untuk kepentingan terbaik bagi anak-anak penderita HIV," kata Retno.
4. KPAI dorong Kemendikbud buat kurikulum sekolah darurat

Kemudian, KPAI juga menyoroti kejadian bencana yang berturut-turut sepanjang tahun 2018, mulai dari Lombok, Palu, Sigi, Donggala, Lampung, Pandeglang, dan lain-lain. Hal itu berdampak dibutuhkannya sekolah-sekolah darurat di wilayah terdampak bencana.
"KPAI mendorong pemerintah pusat, yakni Kemendikbud untuk menyiapkan kurikulum sekolah darurat untuk sekolah-sekolah tersebut," ungkap Retno.
Menurut dia, dasar pertimbangnnya adalah pembangunan ruang kelas baru membutuhkan waktu lama lantaran bangunan sekolah banyak mengalami kerusakan berat. Sekolah-sekolah terdampak tersebut tidak hanya membutuhkan sekolah darurat, namun juga membutuhkan kurikulum sekolah darurat.